Remaja belia bernama Darin Mumtazah (DM) menjadi perhatian publik dalam minggu-minggu terakhir ini. DM yang baru lulus sekolah kejuruan di Jakarta Timur itu sudah dua kali dipanggil KPK tetapi mangkir. Pelimpahan kasus dugaan suap pengurusan kuota impor daging sapi yang melibatkan Luthfi Hasan Ishaaq (LHI) ke Pengailan Tipikor tertunda untuk menunggu hasil pemeriksaan DM yang diduga menerima aliran dana dari LHI. Sosok DM akhirnya terkuak ke publik setelah berbagai media memberitakan secara gencar. Bunga-bunga berita pun bermunculan tentang hubungan DM dengan LHI. Entah benar atau salah, bunga-bunga berita tentang DM sudah mengisi benak masyarakat awam.
Reaksi keras dari kalangan PKS diwakili oleh Fahri Hamzah (FH) yang menyebut KPK telah melakukan festivalisasi terhadap kasus yang menjerat LHI. Setelah para perempuan di sekitar Ahmad Fathanah (AF) diungkap ke publik, kini giliran perempuan di sekitar LHI diungkap ke publik. Pada satu kesempatan bahkan FH meminta DM untuk tidak mengindahkan panggilan KPK yang ketiga. Sebuah pernyataan yang dapat dikategorikan menghalang-halangi penyidikan kasus korupsi. Mengapa FH begitu gelisah dengan pengungkapan para perempuan yang mengiringi kasus LHI dan AF?
Kasus dugaan suap pengurusan impor daging sapi yang melibatkan LHI belum memiliki keputusan hukum dan masih debatable. Pihak PKS pun menyatakan bahwa kasus yang menjerat LHI adalah kasus pribadi dan tidak ada kaitannya dengan PKS sebagai institusi. Kalau seandainya nanti LHI divonis bersalah maka itu adalah tanggung jawab pribadi LHI bukan tanggung jawab PKS. PKS ingin terlepas dari beban politis dan moral terhadap kasus yang menimpa LHI. Selain itu, kasus korupsi bukan saja menimpa oknum PKS tetapi juga menimpa oknum-oknum partai lain. Sehingga beban politik dan moral dari masyarakat tidak hanya dibebankan ke PKS tetapi juga ke partai-partai lainnya.
Namun baru kali ini kasus korupsi yang melibatkan oknum partai politik diwarnai kehadiran para perempuan, dari kalangan artis, mahasiswi sampai siswi sebuah sekolah menengah kejuruan. Meskipun PKS sudah membantah bahwa AF adalah kader PKS namun kedekatan AF dengan elit PKS tidak dapat dipungkiri. Persepsi publik terhadap perilaku AF yang gemar “berderma” dengan banyak perempuan akan dijadikan bahan rujukan publik terhadap perilaku tersembunyi elit PKS. Persepsi publik semakin mendapat pembenar ketika hubungan tersembunyi DM dan LHI terpapar ke publik.
Sudah jamak diketahui bahwa elit PKS banyak yang mempraktekan poligami dalam kehidupan perkawinan mereka. Terlepas dari diskursus poligami dalam perspektif agama, pada kenyataannya masyarakat awam memandang poligami sebagai perilaku yang tabu dan tidak disukai utamanya oleh kaum perempuan. Tentu kita masih ingat meredupnya pesona da’iAa Gym setelah mengumumkan dirinya telah berpoligami. Atau enggannya kaum Ibu diajak makan di Ayam Bakar Wong Solo karena pemiliknya adalah penerima Poligami Award. Yang terbaru adalah olok-olok awam terhadap praktek poligami yang dilakukan Eyang Subur. Perilaku poligami yang dianggap sah saja mendapat perlawanan negatif dari masyarakat apalagi perilaku “main” perempuan diluar pernikahan, tentu akan mendapat perlawanan negatif yang lebih dari masyarakat.
Sosok DM yang masih belia menjadi keprihatinan tersendiri bagi masyarakat apabila benar bahwa LHI punya hubungan “pernikahan” rahasia dengan DM. Masyarakat tidak dapat menerima hubungan janggal antara LHI yang berusia 52 tahun dengan DM yang waktu itu masih duduk di bangku SMK. Apalagi ditengarai bahwa hubungan itu lebih bermotif ekonomi bagi keluarga DM dan lebih bermotif birahi bagi LHI karena senyatanya LHI sudah memiliki beberapa istri. Keprihatinan masyarakat diwakili oleh BKKBN yang prihatin dengan kecenderungan trendy-nya perilaku pejabat publik yang “menikahi” remaja yang dapat memberi contoh buruk bagi remaja lainnya.
Kenyataan ukuran moralitas masyarakat yang tidak dapat menerima perilaku AF dan LHI menyangkut masalah perempuan inilah yang menggelisahkan FH. Sehingga FH perlu untuk bereaksi keras terhadap apa yang dia sebut sebagai festivalisasi KPK. Memang, dalam kasus suap daging sapi, PKS telah mengisolasi sebagai kasus pribadi LHI tetapi figur LHI sebagai Presiden PKS - waktu itu - akan dipertanyakan moralnya oleh awam terkait hubungannya dengan DM. Sebagai pucuk pimpinan partai, LHI adalah puncak pengkaderan PKS dan wakil tampilan PKS ke publik. Tentu akan sangat merugikan PKS kalau moralitas LHI dijadikan tolok ukur masyarakat dalam menilai moral elit PKS lainnya dan PKS sebagai institusi.
Suka tidak suka, PKS akan terimbas negatif dari bunga-bunga pemberitaan terkait hubungan LHI dengan DM. Model pembelaan seperti menampilkan foto LHI dengan foto Saut Situmorang untuk mencari kambing hitam atau pembelaan seperti FH yang meledak-ledak dengan menyudutkan KPK, justru tidak memperbaiki citra moral PKS. Kalau cara-cara pembelaan untuk menjernihkan masalah ini tidak diperbaiki dengan mempertimbangan ukuran moral masyarakat, jangan berharap badai PKS akan cepat berlalu.
Sumber tulisan :
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H