Lihat ke Halaman Asli

Saat Editor Sekedar Menjiplak Berita

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13988260181602018127


Semalam saya membaca berita Kompas.com di bagian rubrik Travel dengan judul :“Museum Radya Pustaka Kembali Berikan Layanan "Pakuwon". Awalnya saya menikmati saja berita itu tetapi akhirnya saya tersenyum geli ketika menyadari ada sesuatu yang salah dari berita tersebut. Saya kira yang salah hanya judulnya saja tetapi nyatanya isi beritanya juga salah. Kemudian saya cek siapa reporternya, tidak ada. Yang ada hanya nama editornya yaitu I Made Asdhana. Ah, maklum bukan orang Jawa jadi wajar salah, begitu pikir saya. Eh…tunggu dulu di Bali juga ada soal itu karena saya juga pernah tinggal di Bali.

Kemudian saya cek sumber beritanya yang tertera dibawah nama editor yang tertulis “Antara” tetapi ketika saya klik yang muncul halaman beritayang sama, bukan halaman dari situs Antara. Kemudian saya cari beritanya di situs Antara ternyata beritanya sama seperti yang dimuat di Kompas.com cuma ada sedikiteditan di judul dengan ditambahi kata “berikan” dan selebihnya tidak ada editan yang berarti. Saya tidak tahu apakah pencantuman sumber berita tetapi ketika di-klik ternyata bukan halaman sumber berita aslinya itu melanggar kode etik jurnalistik atau tidak. Tetapi bagi saya sudah lumayan karena dengan mencantumkan sumber beritanya saya bisa melacak berita aslinya.

Sumber senyum geli saya adalah penyebutan kata “pakuwon” karena setahu saya yang dimaksud dalam berita tersebut seharusnya adalah “pawukon”. Dua kata dalam bahasa Jawa tersebut sangatlah berbeda arti. Pakuwon berasal dari bahasa Jawa Kawi yang berarti pemondokan atau rumah. Sedang pawukon berasal dari kata wuku yang merupakan nama sebuah siklus waktu yang berlangsung selama 30 pekan. Satu pekan atau minggu terdiri dari tujuh hari sehingga satu siklus wuku terdiri dari 210 hari. Jadi pawukon itu perhitungan kalender Jawa bagi seseorang berdasarkan tanggal dan wuku kelahirannya. Perhitungan pawukon biasanya digunakan orang Jawa untuk menentukan hari baik guna melaksanakan pernikahan, khitanan, pindah rumah, membangun rumah dan lainnya. Intinya pawukon itu semacam ilmu horoskop versi budaya Jawa dan ada juga di budaya Bali.

Lebih lucu lagi – kalau tidak bisa dibilang memprihatinkan – ternyata reporter yang menulis berita aslinya di Antara bernama Joko Widodo – tentu bukan nama capres yang dijagokan PDIP - yang dari namanya saja kita bisa mengasumsikan sebagai orang Jawa. Dalam hati saya bertanya, masa iya sih orang Jawa nggak pernah dengar istilah pawukon? Saya tidak tahu pasti apakah penyebutan kata tersebut akibat ketidakmengertian arti kata atau sekedar salah ketik. Tetapi dari kejadian tersebut kita bisa menarik setidaknya dua pelajaran berharga.

Pertama, editor Kompas.com harus lebih cermat dalam menyadur dan mengedit berita. Jangan sampai editor terkesan hanya sekedar menjiplak berita tanpa melakukan cek dan ricek muatan berita karena hal ini menyangkut kredibilitas media apalagi sekelas Kompas.com. Kedua, semakin terpinggirnya budaya lokal akibat semakin tidak tertariknya masyarakat terhadap budaya lokal. Hal ini menjadi tantangan kita bersama untuk kembali nguri-nguri atau setidaknya mengerti budaya lokal sebagai kekuatan identitas kita sebagai bangsa berbudaya.

Sekian.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline