Tiga orang dokter obsgyn diputuskan bersalah oleh Mahkamah Agung karena pasiennya meninggal akibat mengalami emboli udara saat melahirkan. Tidak tahukah kalian para penegak hukum, bahwa faktanya, kasus emboli itu kontrolnya di luar kekuasaan manusia? Tidak ada seorang dokter pun di muka bumi ini yang dapat dengan cepat mendeteksi nya. Mereka semua telat dalam mendeteksi kasus yang satu ini. Kasus-kasus emboli yang kemudian terdeteksi biasanya sudah sampai pada titik “point of no return” alias pasti mati. Keilmuan dan tehnologi kedokteran kita belum sampai untuk mendeteksi dan mengatasinya agar pasien tetap selamat. Selagi para dokter sudah melakukan tindakan sesuai standard prosedur kerja mereka, tidak sepantasnya mereka dihukum. Kalau sudah sesuai standar kerja saja mereka masih dihukum, jadi apa sebenarnya patokan mereka bersalah atau tidak? Apa sih yang dipakai bapak-bapak penegak hukum ini dalam menegakkan keadilan? Apa Patokannya dalam menjatuhkan keputusan bersalah atau tidak? Hitungan kancing? benar-benar Zaman edan! Yang benar jadi salah, yang salah dibenar-benarkan. Semua bisa diatur menurut mereka yang lebih berkuasa. Seperti hukum rimba saja !!
Dokter Dewa Ayu Sasiary Prawani, dr. Hendy Siagian dan dr.Hendry Simanjuntak adalah satu team jaga yang menerima pasien tersebut. Pasien hendak melahirkan dan kemudian didiagonosa sebagai gawat janin, karena itu kehamilannya harus segera diakhiri dengan Sectio Secaria. Tidak ada yang salah, pasien langsung ditangani dengan cepat, tepat dan cermat. Kalau ternyata beberapa waktu kemudian pasien sesak napas dan tidak bisa ditolong, meskipun usaha resusitasi telah dilaksanakan, itu berarti ada sesuatu di luar kekuatan dokter yang menghambat alat-alat medis bekerja di tubuh si pasien. Akankah dokter disalahkan juga karena itu? Sesuatu di luar kekuatan dokter dalam kasus ini adalah emboli. Emboli bisa berupa udara atau air ketuban. Emboli udara menyebabkan berhentinya aliran darah ke jantung, sehingga pasien kemudian sesak napas dan meninggal secara mendadak. Sedangkan emboli air ketuban , dimana komponen air ketuban yang masuk ke dalam sistem pembuluh darah pasien ada yang tidak larut air, hal ini yang berakibat fatal jika kemudian membuat sumbatan di pembuluh darah daerah paru-paru atau jantung. Sekali lagi, susah dideteksi dan kalo bisa dideteksi pasti penanganan apapun saat ini belum bisa menolong nyawa pasien.
Pak Jaksa dan Pak hakim, dokter itu masih manusia! Bukan Tuhan, kalo merekaTuhan, tentu saja bisa mencegah kematian yang belum saatnya. Dan kalo mereka Tuhan, sudah pasti Pak Hakim dan Pak Jaksa tidak akan bisa melecehkan mereka dengan kekuasaan bapak.
Ketiga dokter ini diputuskan bersalah di tingkat Mahkamah Agung pada tanggal 18 September 2012, dan dijatuhkan hukuman 10 bulan penjara. Bahkan dr, Dewa Ayu saat ini sudah dimasukkan ke dalam tahanan. Sedangkan dr. Hendy Siagian dan dr. Hendry Simanjuntak masih buron. Besar kemungkinan kasus ini dipaksakan naik ke Mahkamah Agung karena adanya hasutan-hasutan. Padahal sebelumnya di tingkat Pengadilan Negeri, kasus ini sudah diputuskan “bebas murni”. Dari hasil autopsi juga dilaporkan bahwa pasien tersebut yang bernama Ny. Julia Fransiska Makatey meninggal dunia karena sebab emboli udara! Suatu masalah yang sampai saat ini dokter belum bisa mengatasinya jika dihadapkan pada kasus tersebut, Seperti Halnya dengan TBC beberapa puluh tahun yang lalu, yang pada saat itu belum ada obatnya, begitu juga dengan pasien-pasien kanker yang saat ini sebagian terapinya belum tuntas mengembalikan kehidupan pasien. Akan kah para dokter Indonesia dihukum karena hal yang di luar kuasanya? Akankah mereka juga dihukum karena bekerja sesuai prosedur? ?? Aneh !!!
Bahkan berdasarkan keterangan seorang staf rumah sakit umum menado, tempat terjadinya perkara, Mahkamah Agung meminta dana 5 milyar jika ingin kasus ini diselesaikan dengan damai. Sudah begitu carut marutnya kah dunia hukum di negeri kita ini. Wahai para penegak hukum tidak takutkah kalian jika Tuhan turun tangan? Atau mungkin kalian semua tidak percaya adanya Tuhan...mungkin sekali!
Wahai para dokter, cukupkah hanya dengan pita hitam, doa dan aksi mogok kerja? Cukupkah aksi solidaritas seperti itu bagi sejawat yang sedang dizalimi? Sehingga karir dan masa depannya menjadi suram? Bukankah tidak mungkin suatu saat para dokter-dokter lain yang saat ini hanya jadi penonton kemudian dizalimi juga oleh mereka? Kenapa tidak memakai aksi hukum rimba saja? Seperti yang mereka lakukan terhadap dr. Dewa Ayu dan teman-temannya. Bagaimana kalau memboikot mereka! Boikot semua Jaksa dan Hakim yang terkait dengan kasus ini. Kalau mereka berobat, cepat-cepat saja dirujuk ke perawat, bidan, mantri, atau dirujuk ke luar negeri saja, bukankah mereka orang-orang yang sangat berkuasa dan powerfull di negeri Brutus ini. Wahai para dokter, tolaklah pelayanan kesehatan untuk mereka. Biarkan mereka mencari jalur alternatif yang tidak tersentuh ranah hukum. Jika para penegak hukum tidak bisa memakai kacamata yang normal dalam menegakkan hukum, sebaiknya para dokter juga memakai kacamata yang tidak normal menghadapi mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H