Lihat ke Halaman Asli

Surat untuk Adik

Diperbarui: 18 Juni 2015   07:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dik !

Aku masih ingusan ketika 1998 Soeharto lengser. Duduk di bangku SMP, masih lomba adu kencing, siapa jarak terjauh  dengan teman-teman sekelas di semak belukar belakang sekolah . Namun bukan berarti waktu itu aku tak kenal Soeharto.

Adalah bapak yang bercerita, ketika aku meceritakan kisah Soeharto, hasil membaca buku Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) di Sekolah Dasar Tahun 1992, Kalimat yang di ingat ingat dari pelajaran itu, Soeharto pahlawan kemudian Soekarno itu komunis dan jahat. Akibat cerita dari buku itu dan kadang ditambahkan oleh Pak Guru, aku  membenci Soekarno.

“ Soeharto itu hebat ya Pak ! dia berani menyelamatkan Indonesia, dia pahlawan bangsa, aku ingin seperti Soeharto”.

Mendengar kalimat itu, Bapak tampak menyeruput kopinya lebih cepat, kemudian ia keluar memeriksa sekeliling rumah, setelah dipastikan tak ada pengintip, bapak menutup pintu dapur dan dirasa situasi mulai nyaman, ia mulai bercerita, Soeharto itu siapa. Cerita bapak soal Soeharto, berbeda dengan apa yang aku baca di sekolah dan kudengar dari cerita Pak Guru.

Setelah dengar cerita bapak, aku tak percaya begitu saja, dan mulai curiga sama bapak.

Namun cerita bapak terkonfirmasi, ketika ia mengibarkan bendera partai selain Golkar. Suatu malam, ketika kami berdua menonton orkes dangdut, kau masih bayi Dik ! ketika bapak kibarkan bendera itu dipanggung sambil joget dengan artis, bendera hanya berkibar sekelabat itu diramapas, Bapak tak bertahan lama di panggung, ia keburu rubuh digebugi hansip dan babinsa.

“ Ada goromolan ! ada D.I ! rasakan nih bogem hei antek Kartosuwiryo !.”,

Kerumunan yang berteriak itu memaki bapak dengan bahasa sunda kasar. Bapak dihajar hingga di seret ke kantor koramil,  Waktu itu bapak terselamatkan, karena kebetulan salah satu babinsa ada yang tahu bahwa Bapak menantu seorang komandan Koramil, bahwa bapak menantu komandan mereka, Kalau tidak, entah apa yang terjadi.

Dan ketika tiba dirumah, bapak hanya menggerutu.

“. Orang disini penjilat Soeharto”.

Sejak itu bapak menjadi pendiam, tetangga pun mencibir. Seluruh keluarga memperingatkan agar bapak jangan terlalu depan dalam berpolitik. Tapi ada juga yang mendukung, sembunyi-sembunyi nengok dan berdiskusi dengan Bapak tengah malam, seperti Pak Ujo Surjo, alm Aki Elin dan lain-lain memberi semangat. Aku hanya mendengar perbincangan dari bilik kamar.

Entah darimana relasinya, kemudian bapak sesekali mulai bekerja menjadi pesuruh seorang Purnawirawan TNI berpangkat Mayjen. Pak Mayjen itu kebetulan orang Golkar (kini almarhum), sebagai angggota MPR-RI menikahi saudara bapak. Mungkin dari istrinya itu bapak mendapat relasi. Bapak dipercaya  bekerja menjadi penjaga kolamnya, penjaga kebun dan sesekali pergi mengawal sopir ke daerah medan dan Jakarta.

Apa yang didapat dari kerjanya ? hanya keluhan. Bapak pedih menceritakan kemewahan pejabat, dalam waktu krisis pun kata Bapak, mereka masih sempat beli celana dalam seharga Rp 300.000 / potong.

Dan banyak lagi cerita lain soal Suharto, termasuk cerita  Bibi yang waktu kuliah di Unpad bercerita kepada nenek, bagiamana kehidupan kampus kala itu.

“Reformasi itu ga tiba-tiba, bertahun-tahun mahasiswa konsolidasi sembunyi-sembunyi, kalau Bibi ketauan bisa diculik”.  Kata Bibi waktu itu.

Dik !

Cerita itu hanya sepengal dari apa yang kuingat, tiba-tiba Reformasi bergulir, aku masih ingusan, tapi aku tahu bapak gembira sekali melihat momentum itu. Bapak mulai bisa berbicara bebas, bahkan dengan sang mayjen yang menjadi tuannya. Dan sejak itu, aku menjadi teman baiknya, diskusi soal politik, padahal dikampung dan keluarga, hal itu masih menjadi tabu.

Dan dalam perjalanan sekian tahun kemudian, aku menyaksi sisa kekezian Orba itu di proyek PLG-Kalimantan Tengah, masayarakat dayak setempat menyebutnya sebagai proyek sejuta sengsara. Orba memang tiada dua kejamnya.

Dik !

Kemudian Belum lama ini di daerah Depok, terpampang Baligho, komunitas Piyee Kabare bergambar Soeharto mendukung salah satu pasangan Capres dan Cawapres. Sejak melihat tulisan baligho itu, aku gundah, ga lagi netral, ga lagi diam untuk tidak mengajak dan menjelaskan.

Begidik rasanya kembali mengenang masa lalu, mengenang bapak digebugi. Kini kata Soeharto, Komunis, kembali nyaring terdengar dari kubu salah satu pendukung Capres. Dan aku tak bisa diam kepada pembangkit semangat Orde Baru, aku teringat Bapak ! dan teringat kamu yang kelak tak bisa lagi kritis di serikat buruh, organisasimu. Jika pendukung Orba itu memimpin negeri ini.

Ajakan ini bukan berarti yang satunya sempurna, tidak ! tidak ada yang sempurna, namun diantara dua, kali ini aku harus putuskan, tahun ini tahun titik balik perjalanan  demokrasi bangsa ini. Tahun ini penentuan.

Cerita ini pengalaman pribadi penulis

BJ-JS-3 Juli 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline