Lihat ke Halaman Asli

Mengenal Jurnalisme Presisi di Indonesia

Diperbarui: 17 Juni 2015   09:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14262660531970460008

[caption id="attachment_402663" align="aligncenter" width="560" caption="Ilustrasi/Kompasiana(print.kompas.com)"][/caption]

AnggaBratadharma, Bekasi (13/3) - Secara dasar pemahaman tentang jurnalistik sudah banyak dijabarkan oleh banyak ahli, termasuk ahli komunikasi karena kegiatan jurnalistik erat kaitannya dengan penggunaan komunikasi massa. Kegiatan jurnalistik sendiri meliputi mencari berita, mengimpun informasi, mengolah informasi, dan nantinya dikomunikaskan kepada masyarakat dalam bentuk karya jurnalistik. Definisi jurnalistik inilah yang mungkin paling dasar untuk bisa dipahami siapapun.

Tak dipungkiri kegiatan jurnalistik telah mengalami banyak perkembangan seiring dengan berkembangnya jaman, terutama ketika dunia digital merasuki kehidupan masyarakat. Keberadaan media online membuat beberapa ketetentuan dalam kegiatan jurnalistik berubah secara signifikan. Namun, inti dari kegiatan jurnalistik masih tetap ada, yakni mencari berita, mengimpun informasi, dan memberitakan.

Media massa mengalami perubahan begitu signifikan ketika media massa masuk ke ranah industri, yang artinya masuk ke dalam ranah mencari keuntungan secara finansial karena berkaitan dengan memberikan upah kepada mereka yang mencari berita atau lazim disebut pewarta atau wartawan. Karakteristik media massa di jaman ini dengan karakteristik media massa di jaman perjuangan tentu berbeda. Di jaman perjuangan, media massa menjadi alat perjuangan.

Terlepas dari itu, konsep jurnalistik telah banyak melahirkan aliran-aliran. Memang pengembangan konsep jurnalistik menjadi perlu karena jurnalistik adalah sub bagian dari ilmu, utamanya ilmu komunikasi. Artinya, berbagai teori yang mendasari perlu terus dievaluasi untuk menjadi dasar memperbaharui atau menyempurnakan konsep jurnalistik di aliran-aliran pengembang.

Misalkan saja mengenai jurnalis bencana. Pada konsep ini, banyak dari pewarta yang memberitakan sebuah bencana dengan mengedepankan fakta dan data yang ada di lapangan secara bulat-bulat, tanpa ada pemilahan. Maksudnya adalah tidak memperhatikan dampak jangka panjang bagi pembaca atau pemirsa yang diterpa oleh tayangan berita tersebut. Dampaknya bisa sangat parah, yakni secara psikologis masyarakat memadang biasa bencana yang terjadi.

Pada konteks tersebut, konsep jurnalisme bencana memang menjadi penting untuk terus dikembangkan. Bahkan, tidak ada salahnya perusahaan media massa di Indonesia mulai menerapkan berbagai konsep jurnalistik dengan kepentingan yang disesuaikan dengan agenda masing-masing media massa. Pun perlu diperhatikan bahwa tujuan media massa dimanapun negaranya adalah memberikan pemahaman yang mampu meningkatkan kesejahteraan dan mengangkat derajat dan martabat. Tentu baik atau tidaknya suatu negara tercermin dari media massa di negara itu.

Sementara itu, penggunaan jurnalisme presisi di Indonesia masih menuai pro dan kontra. Biar bagaimanapun seorang pewarta harus memberitakan sebuah fakta di lapangan ketika fakta itu sudah terjadi. Tentu tidak diperkenankan pewarta membuat fakta itu terjadi dan menggiring masyarakat dengan kepentingan tersendiri, apalagi kepentingan politik. Hal yang ditakutkan dari jurnalisme presisi adalah adanya ketidaksengajaan ataupun kesengajaan dari pewarta atau perusahaan media massa menggiring opini dari fakta yang dibuat, bukan ditemukan dilapangan.

Jurnalisme presisi pertama kali dikemukakan oleh Philip Meyer pada tahun 1969-1970. Meyer mengaplikasikan konsep tersebut untuk mengulas huru-hara Detroit dengan membuat manuskrip berjudul The Appliation of Social and Behavioral Science Research Methods to the Practice of Journalism”. Pada musim dingin tahun 1971, Everertte E. Dennis dari Kansas State University mengajar “The New Journalism” di University of Oregon. Dia mengatakan tentang apa yang telah dikerjakannya di Detroit. Dennis menyebutnya sebagai salah satu embrio jurnalisme baru yang selanjutnya dikenal dengan sebutan jurnalisme presisi.

Salah satu contoh dari jurnalisme presisi adalah ketika sebuah media massa menampilkan poling dari suatu pemilihan presiden, dan semacamnya. Ketika pemilihan presiden 2014 ada beberapa media yang melakukan penghitungan cepat yang dilakukan beberapa media TV. Hasilnya antara satu media dengan media lain berbeda, dan tentu memenangkan masing-masing 'jagoannya'. Tentu ini sudah masuk ke arah penggiringan opini masyarakat.  Hasil hitung cepat tersebut tentu tidak mewakili pilihan rakyat Indonesia secara keseluruhan, namun hanya sebagai gambaran hasil resmi pemilu dari KPU.

Nicholas Von Hoffman dalam tulisannya berjudul “Public Opinion Polls: Newspapers Making Their Own News?” mengatakan, seharusnya jurnalis menunggu sampai orang mengerjakan sesuatu, kemudian baru melaporkannya. Dari peryataan ini bisa ditarik sebuah kesimpulan bahwa poling yang dilakukan oleh media dianggap telah melanggar pakem dunia jurnalistik selama ini. Harusnya pewarta menunggu fakta itu terjadi dan bukan membuat fakta itu sendiri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline