Jakarta, AnggaBratadharma (25/08/2012) - Sebenarnya cerita ini berawal ketika penulis menggunakan jasa pijat di daerah Poris, Pondok Melati, Bekasi. Saat itu, tukang pijat yang cukup terkenal dikawasan itu memijit penulis. Cukup beruntung, soalnya jarang beliau memijit, dikarenakan adanya karyawan lain yang memijit.
[caption id="" align="aligncenter" width="268" caption="Sumber: samarinda.indonetwork.co.id"][/caption] Awal mula cerita pada sore itu, penulis dan kakak ipar berangkat dari rumah dan menuju tukang pijat. Penulis dan kakak ipar berkienginan memijit karena tubuh sudah mulai terasa pegal-pegal karena sehabis berjalan-jalan jauh menggunakan mobil bersama keluarga besar. Tukang pijat yang dimaksud penulis dan kakak ipar sambangi adalah Pak Oso. Tukang pijat berijazah, dan menyandang tunanetra sejak lama. Pak Oso sudah cukup lama menjadi tukang pijat. Lokasi tukang pijat Pak Oso tidak jauh dari kediaman penulis, yakni di pertengahan perumahan Patria Jaya dan Poris, di Pondok Melati, Bekasi.
Pak Oso, panggilan akrabnya, merupakan tukang pijat yang cukup berpengalaman. Pria yang berlogat sunda ini sangat banyak pelanggan yang menggunakan jasa pijatnya. Maklum, beliau mengerti dan paham betul mana anggota tubuh yang keras serta perlu dipijat. Bahkan, banyak para pekerja mendatangi rumah beliau untuk memijit setelah seharian bekerja di kantor.
Di rumah kontrakanya, yang diruang tamunya dijadikan tempat pijit. Tersedia dua kasur sederhana, dan pemisah menggunakan kain. Kipas angin mungil berada diatas pemisah untuk memberi sedikit angin dari kepengapan udara diruang tamu itu. Di setiap ruang pijat itu tersedia satu meja kecil, satu cermin kecil, dan satu gantungan baju, yang disediakan untuk menaruh barang-barang pelanggan ketika dipijit. Tidak lama, Pak Oso datang dan berjalan dengan lancar mendatangi penulis. Dengan keterbatasanya itu, Pak Oso terbilang lincah dirumahnya. Hanya sedikit meraba, dirinya mengetahui dia sedang berada dimana. Seakan Pak Oso memiliki mata normal pada umumnya. Dengan memakai celana panjang bahan berwarna gelap, dan memakai baju polo putih. Pak Oso menyapa penulis, dan menyuruh tiduran dengan posisi telungkup. Tanganya yang kuat mulai memijit penulis. Sesekali tangan itu memberi minyak pijit ke anggota tubuh penulis Ketika penulis dipijit Pak Oso, sesekali penulis kesakitan. Otot-otot yang kaku serasa perih manakala tangan kuatnya memijit penulis. Namun, badan serasa lebih baik ketika dipijit oleh Pak Oso. Punggung yang awalnya seperti terjepit terasa lebih lega, dan tidak seperti sebelumnya Selang beberapa waktu, obrolan dimulai antara Pak Oso dan penulis. Pada awalnya Pak Oso hanya bercerita hal-hal yang ringan, penulis pun hanya bertanya hal-hal seputar pijat-memijat. Tidak ada pembicaraan serius dan semacamnya Namun, tidak lama kemudian, perbincangan mulai berpindah. Pak Oso mulai berbicara masalah hukum, tentu bukan hukum secara keilmuan pasti dari pendidikan formal. Tapi, Pak Oso berbicara bagaimana orang tua mampu menegakan hukum keadilan kepada anaknya. Awalnya, penulis sedikit bingung ketika Pak Oso berbicara hal itu. Namun, Pak Oso berbicara panjang lebar mengenai pernyataan itu. Dan, ditemukan bahwa pada bulan Ramdhan, banyak anak-anak kecil yang melakukan tawuran. Tapi, tawuran yang dimaksud Pak Oso tidak hanya terjadi pada Ramadhan saja, pun diluar Ramadhan. Menurut Pak Oso, tawuran yang dilakukan anak kecil sangat disayangkan. Pasalnya, hal itu bukanlah tindakan terpuji, dan tidak mendidik sama sekali. Dirinya menyayangkan tidak adanya tindakan tegas dari warga setempat, atau Pak RT setempat. "Anak-anak sering tawuran Mas. Padahal, itu kan tidak baik. Saya sih menyayangkan kenapa RT dan warga setempat tidak bertindak. Kalau saya ini pendatang (tinggal di rumah kontrakan). Suka tidak didengarkan. Waktu itu saya pernah tindak, eh saya malah dibilang "pendatang aja berisik". Susah", kata Pak Oso kepada penulis, di Bekasi, Jumat, 24 Agustus 2012. Bahkan, pernah dirinya ketika tengah memijit pelanggan dirumahnya, dinding rumahnya ditimpuk batu oleh sejumlah anak. Rolling door yang ada dimuka rumah tidak juga luput oleh kejahilan anak-anak yang tawuran. Pelanggan yang saat itu dipijit juga terkejut, dan tenang kembali ketika ditenangkan Pak Oso "Sampai kaget pelanggan. Saya keluar waktu itu. Saya bilang jangan berisik. Ini ada orang lagi dipijit. Tapi, ya gitu. Mereka tidak mendengarkan", ujarnya seraya memijit Pak Oso menyayangkan sikap anak-anak itu. Bahkan, dirinya. Sempat mengungkapkan bahwa pihak kepolisian seharusnya menindak hal tersebut. Bukan karena emosi dan main tangkap. Tapi, lebih kepada memberikan efek jera kepada anak-anak yang tawuran. "Seharusnya orang tua juga berperan. Ini malah tidak. Mereka malah mendiamkan. Kan baik tidaknya anak orang tua yang kena. Kayak saya misalnya mas, kalau anak saya tidak benar, kan nanti saya yang kena. Nanti jadi gini, pantes anaknya tidak benar. Bapaknya juga buta. Kan gitu mas", tuturnya "Saya juga pernah begini mas. Di depan rumah tetangga ada pohon cabai. Sudah banyak buahnya. Tapi, belum matang. Nah, saya lihat itu anak dari yang punya pohon cabai metikin terus pergi begitu saja. Eh, Ibunya marah-marah. Nanya siapa yang metikin. Saya bilang itu yang metikin anak ibu. Eh saya yang diomelin. Katanya, saya ini tau anak saya seperti apa. Saya bingung, udah salah kok dibelain. Pantas aja anak-anaknya pada tawuran malah didemin", cerita Pak Oso Menurutnya, pihak kepolisian perlu menangkap anak-anak yang terlibat tawuran dilingkungan warga. Selain memberi efek jera, juga melibatkan orang tua untuk mendidik anak-anaknya agar tidak keterusan melakukan tindakan tawuran. Bahkan, dirinya menafsirkan bahwa banyaknya anak-anak yang tertangkap kepolisian dengan kasus mencuri sendal, mencuri buah mangga, dan semacamnya memang perlu dilakukan. Karena, hukum perlu dibudayakan. Tidak hanya ditegakan. Awalnya, penulis tidak sepakat dengan perkataan itu, namun penulis mencoba melihat sisi positif. Memang benar hukum perlu ada dari lini atas hingga lini bawah. Penulis sadari bahwa hukum yang diutarakan Pak Oso benar. Karena, tidak memandang bulu. Siapapun dia ketika bersalah perlu ditindak sesuai dengan kapasitas.
[caption id="" align="aligncenter" width="216" caption="Sumber: hukum.kompasiana.com"][/caption] Hanya saja penulis sangat menyayangkan bahwa para pemimpin kita tidak bisa bertindak tegas dalam menindak secara hukum mereka yang bersalah. Kebanyakan dari mereka hanya berani menindak tegas orang kecil dibandingkan orang besar. Tidak semua salah, dan tidak semua benar. Yang salah memang perlu ditindak. Meski mencuri hal kecil, namun ternyata salah secara pasti, perlu ditindak. Namun, yang perlu digarisbawahi adalah hukum jangan pernah dibeli. Bila dibeli, maka hukum tidak akan seimbang, dan hanya berpihak kepada mereka yang memiliki uang. "Kalau memang salah ya ditindak donk. Hukum itu jangan hanya ditegakan. Harusnya dibudayakan. Jadi, kita memang tertib hukum", tutup Pak Oso
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H