Saat beberapa calon peserta Pilgub DKI Jakarta menggunakan cara lama yang menghabiskan dana milyaran rupiah dalam kontestasi, Ahok memutuskan maju melalui jalur independen yang minim pendanaan itu. Fenomena apakah ini?
Seperti yang sudah kita ketahui bersama bahwa umumnya setiap kontestan Pileg, Pilpres maupun Pilkada akan menggunakan kendaraan politik pilihannya untuk maju dalam kompetisi Pemilihan Umum (Pemilu). Melalui kendaraan politik ini tentu dalam menggerakkan mesinnya akan mengeluarkan banyak dana dalam rangka memenangkan pemilihan, mulai dari pra kampanye sampai pasca pemilu. Tidak perlu heran jika untuk ukuran DKI Jakarta, misalnya, akan membutuhkan dana sekitar seratus milyar rupiah, seperti yang dilansir Gubernur DKI Jakarta beberapa hari lalu. Ini baru pembiayaan dari proses internal yang berjalan normal dari sebuah mesin politik partai, ya. Belum termasuk biaya lain-lain, seperti katabelece, lobi-lobi eksternal dan sebagainya.
Bayangkan berapa banyak dana yang harus dikembalikan oleh seorang pemenang pemilu? Dalam jangka waktu lima tahun selama masa jabatan aktifnya, apa yang harus dia lakukan untuk mengembalikan modal yang sudah terbuang sekian banyak itu? Belum lagi kalau mau memperhitungkan keuntungan yang seharusnya dicapai seperti target awalnya sebelum terjun dalam kontestasi. Kan katanya mana ada makan siang gratis...hehehe. Ini baru masa jabatan aktif lima tahun tanpa pemakzulan atau pemecatan karena melanggar sumpah jabatan dan undang-undang, lho. Bagaimana kalau di tengah jalan harus berhenti dari jabatan karena sesuatu dan lain hal, seperti terjerat kasus hukum, pertarungan politik, dan sebagainya. Bisa-bisa di masa awal jabatan harus segera menarik ‘upeti’ sebanyak-banyaknya dari semua proyek yang ada dalam wilayah ‘kekuasaan’nya itu. Tapi memang belum tentu semua politisi seperti itu, sih. Yang jelas, alam politik kita sampai saat ini masih termasuk high cost politic.
Nah, kalau sudah begini, bagaimana mungkin para pemimpin potensial di level bawah yang tidak punya modal kuat, baik keuangan maupun koneksi politik, untuk bisa ikut berpartisipasi mewarnai kepemimpinan nasional? Padahal tidak sedikit pemimpin di daerah-daerah yang mumpuni namun belum berkesempatan ikut dalam kontestasi kepemimpinan nasional yang memang belum ‘ramah kantong’dan ‘ramah status’itu.
Apa yang saya sebut sebagai ‘ramah kantong’, saya kira sudah cukup jelaslah ya. Bagaimana dengan ‘ramah status’? Tentu yang dimaksud dalam hal ini adalah ‘status’ si calon peserta Pileg, Pilpres maupun Pilkada itu. Begitu ada yang maju sebagai peserta pemilu tanpa melalui jalur partai alias lewat jalur independen maka ada saja pihak-pihak yang ‘gerah’ dan cenderung melakukan upaya penjegalan dengan segala cara. Mengapa? Karena dia bukan kader partai tertentu? Atau karena dia tidak mau terima persyaratan yang diajukan oleh calon partai pengusung? Atau memang karena ternyata kesadarannya sendiri untuk memilih jalur independen? Kalau bicara tentang tidak ramah status, secara de facto, memang demikian adanya. Tidak mudah bagi seseorang untuk maju sebagai calon independen dalam setiap kontestasi politik di negeri ini. Sebenarnya cukup wajar jika dari pihak partai-partai merasa seperti dipecundangi oleh orang-orang yang berani maju pemilu sebagai calon independen. Seolah kurang menghargai keberadaan partai, sebagai mesin politik yang sudah berjalan puluhan tahun sejak negara ini berdiri, yang menjadi pemain utama dalam semua kontestasi politik baik di level daerah maupun nasional. Namun, saya kira ini juga merupakan sikap atau pandangan yang terlalu absurd. Apalagi jika dikaitkan dengan era sekarang ini yang lebih dikenal sebagai Era Informasi. Masyarakat dengan mudahnya mengetahui perkembangan politik yang berjalan dari pusat hingga ke daerah. Setiap aktifitas dari setiap pelaku politik bahkan hingga kepada setiap orang warga biasa saja dapat terekspos dengan cepat di seluruh media cetak, elektronik dan internet. Ini era keterbukaan informasi, bung.
Masyarakat Indonesia telah berubah dan berkembang menjadi masyarakat yang kritis seiring perkembangan teknologi informasi. Rakyat bergerak seiring kesadaran akan kebutuhan hidup, kemerdekaan dan kualitas kehidupan yang lebih baik di segala bidang. Rakyat ingin hidup lebih baik. Mereka tidak mau ‘diperdaya’ lagi. Jika ada seorang atau sekelompok orang yang ternyata dirasa tidak mampu mengakomodir ketiga hal yang menjadi kebutuhan dasar masyarakat itu maka mereka akan meninggalkannya. Apalagi setelah sekian lama diberi kesempatan ternyata orang atau sekelompok orang itu malah sibuk dengan urusannya sendiri. Jarang yang bisa langsung mengakomodir rakyat yang menjadi konstituennya. Apalagi yang bukan konstituennya. Semua perubahan ini akan berjalan secara natural.
Tentunya hal ini akan dirasa menjadi ancaman bagi para pelaku oligarki atau para elit partai politik yang sudah nyaman dengan sistem oligarki dan cenderung berpraktek politik dagang sapi itu. Dengan kata lain politik cukup dikuasai oleh mereka, kalangan partai, saja. Rakyat hanya jadi penggembira alias peramai suasana pada saat-saat tertentu seperti pemilu, jika kurang elok disebut sebagai massa yang diperalat demi kepentingan kaum elit politik dan partai. Sekali lagi ini bicara tentang sistem politik yang sedang berjalan bukan menyinggung individunya. Tentu, tidak semua individu politisinya terlibat dalam praktek sistem politik yang masih rentan korupsi ini. Paling banter politisi yang baik hanya terjebak dalam sistem dengan 'back up' yang kurang memadai untuk bersuara apalagi untuk bergerak melawan sistem yang korup. Masyarakat menyaksikan fenomena ini.
Namun jika mereka bijak, mau belajar dan mau berubah maka sebenarnya ini adalah momentum terbaik bagi partai untuk membangun suatu sistem politik yang benar-benar mengakar hingga di level grass root alias akar rumput. Membuat terobosan mulai dari sistem pembangunan mental-spiritual kader, sistem rekrutmen, sistem keuangan, sistem pengembangan organisasi dan sistem pembuatan program-program nyata yang pro rakyat di lapangan. Program kerja nyata yang akan lebih bisa dirasakan keberpihakannya kepada rakyat. Bukan malah sibuk menunjukkan taring dan menabuh genderang perang kepada mereka yang maju sebagai calon independen.
Fenomena Ahok yang akhirnya memutuskan maju sebagai calon independen untuk Pilgub DKI Jakarta tahun 2017 sebenarnya adalah bagian dari berkembangnya sindrom independen (Independent Syndrome) di tengah masyarakat yang sudah jengah dengan retorika kaum elit politik dengan segala kompleksitas dan prahara perang kepentingannya yang tak kunjung usai dan seolah berseri-seri itu. Rakyat sudah bosan dengan tontonan serial sinetron atau drama politik yang tak berkesudahan serta jauh dari mendidik dan memotivasi untuk maju bersama.
Negeri ini dengan rakyatnya lalu bergerak sendiri untuk mencari pemimpin yang layak sesuai dengan keinginan mereka dan cita-cita luhur pendiri bangsa ini, yaitu pemimpin yang siap bekerja independen demi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Pemimpin independen yang siap bekerja sebagai field service (pelayan lapangan) atau public service (pelayan masyarakat) bukan yang sekedarlip-service alias OMDO (omong doang). Rakyat yang independen akan terus bergerak dengan komunitas independennya dengan semangat independen mencari pemimpin independen.Bahkan sebenarnya tidak menutup kemungkinan bahwa di dalam partai pun ada saja calon-calon pemimpin yang independen. Contohnya adalah Ahok. Selama partainya mampu mengimbangi perkembangan zaman dan mampu mengakomodir kemampuan kader-kadernya yang bisa berpikir dan bekerja out of the boxdan independen, maka itulah saatnya partai itu akan bertumbuh dan berkembang secara mental-spiritual maturity, konstruktif, efektif, public-orienteddan up to date.
Selamat berkarya Komunitas Independen Indonesia demi kemajuan bangsa, seperti Teman Ahok dan yang lainnya. Selamat bertekad baja para Calon Pemimpin Independen Indonesia. Rakyat yang independen, yang merdeka ada di belakangmu. Tuhan yang independen itu pun ada di depanmu. Welcome Independent Syndrome in Our Motherland, Indonesia.