Lihat ke Halaman Asli

Kenapa PNS Mesti Menulis?

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

PEKERJAAN sebagai abdi negara pegawai negeri sipil (PNS) barangkali memang menjadi impian bagi sebagian besar orang. Sebab kondang katanya pekerjaan ini mudah dilakoni dengan gaji ajeg, hidup nyaman dan tentram. Jauh dari gugup cemas hadapi masa depan. Tapi apakah seorang PNS ya cuma sekadar masuk kantor, kerjakan rutinitas dan pulang ke rumah? Itu saja? Saya rasa tidak. Kita dapat berbuat lebih. Apa itu? M.E.N.U.L.I.S.

Tentu arti menulis di sini tidak hanya menulis pesan singkat (sms), bikin status di facebook atawa twitter, dan mengerjakan laporan semata. Menulis lebih luas, yang lebih ‘menghasilkan’. Menulis untuk media massa.

Media massa hari ini tampil sebagai kekuatan dominan yang memengaruhi dunia kita. Kita dapat setuju dan sepakat dengan si A karena media. Kita dapat menolak kehadiran si B karena media. Kita percaya dengan informasi yang disajikan media X karena kita membaca. Sebaliknya kita tolak mentah-mentah sebuah informasi, karena penolakan media. Inilah kekuatan media abad ini. Ia dapat membentuk dan melahirkan tokoh, from zero to hero.


Pertanyaannya kini: apakah kita cukup memosisikan diri sebagai pembaca setia atau kita mau ikut andil di dalamnya? Terus terang saya memilih yang kedua. Bagaimana caranya? Ya dengan jalan menulis. Ikut meramaikan jagad ‘persilatan’ media massa.

Menulis Bukan Bakat

Hemat saya, menulis bukanlah soal bakat. Kalau memang bakat harus dimasukkan tak lebih 5 persen. Sisanya kemauan dan keinginan kuat untuk belajar dan mencoba. Learning by doing. Ingat ketika kita belajar naik sepeda kali pertama, kita mencoba kayuh dan jatuh. Coba lagi, jatuh lagi. Begitu seterusnya, bukan? Dan akhirnya kita berhasil. Pun begitu dengan menulis. Coba menulis, kirim ke media massa, gagal, coba lagi. Tulis, kirim, dan gagal. Itu biasa. Itu proses. Dan harus kita nikmati.

Karena jangankan kita, antar-wartawan saja bersaing satu sama lain agar beritanya muncul apalagi kita—penulis luar. Harap maklum jika tiap hari ada 25 artikel opini masuk ke meja/email redaksi SKH Kedaulatan Rakyat. Yang mencengangkan: 100 artikel masuk di desk opini Harian Kompas. Yang dimuat paling hanya 2-5 artikel saban harinya. Bukankah persaingan untuk MENEMBUS KORAN (ini judul buku saya, he5) perlu perjuangan keras?

Lalu kenapa banyak orang yang menginginkan tulisannya dimuat? Prestise, ada kebanggaan tersendiri ketika membaca nama kita terpampang di media massa (tentunya bukan di rubrik Hukum Kriminal ya?). Kebanggaan yang barangkali tak dapat dinominalkan dalam rupiah berapapun. Alsan kedua, honor. Menulis opini di SKH KR kita bakal mendapat Rp 250 ribu. Di Jawa Pos Rp 800 ribu. Bagaimana dengan Kompas? Bisa capai Rp 1,5 juta. Wooww.. menarik bukan? Hanya 3-4 halaman kwarto kita mencurahkan ide dan pikiran kita mendapat uang segitu.

Ketiga, dengan menulis kita dapat menyebarkan ide dan gagasan kita kepada khalayak luas. Pembaca KR mencapai 600 ribu orang; Jawa Pos 1,3 juta; Kompas 2,3 juta, dan seterusnya. Bandingkan saat kita orasi di dalam ruangan, paling banter hanya kisaran ratusan orang. Keempat, ini bagi PNS—terlebih mereka yang memiliki jabatan fungsional: aktivitas menulis mampu mendongkrak angka kredit secara cepat, kilat dan menakjubkan.

Data yang saya dapat, PNS yang mampu menulis karya ilmiah dalam bentuk buku dan diedarkan secara nasional dihargai angka kredit 12,5. Menulis di majalah yang diakui Kementerian diganjar 6; menulis dalam bentuk buku biasa dapat 8; tampil bentuk makalah 3,5; dan menulis artikel di mass media dapat angka kredit 2. Bandingkan dengan seorang penghulu yang menikahkan pasangan pengantin hanya mendapat angka kredit 0,01-0,03.

Tentu kita akan memilih: melaksanakan tupoksi kita sehari-hari dengan penuh tanggung jawab karena itu memang kontrak kerja kita, ditambah rajin menulis di media massa. Itulah PNS jempolan. Lagipula, dengan menulis kita dapat mengabarkan tentang semua program kerja yang telah, sedang dan akan kita laksanakan. Pro-kontra tentang penghulu yang sepakat menolak menikahkan di luar hari dan jam kerja, sebagai contoh, akan dimenangkan oleh mereka yang menguasai media. Dia akan berhasil memengaruhi massa, dan massa akan berpihak padanya. Itulah kekuatan sebuah tulisan yang konon memiliki daya magis tertentu. Ini bukan klenik tapi fakta berbicara.

Bagaimana Caranya?

Pertama, anda harus suka membaca dulu. Tak sempat, sibuk dengan pekerjaan dan urusan lain boleh jadi alasan bagi anda. Apakah dalam 24 jam anda sama sekali tak memiliki waktu untuk membaca satu koran saja? Kita persempit satu headline berita saja? Atau satu opini saja? Apa yang mau kita tuangkan kalau membaca media massa saja enggan, apalagi kalau menyangkut disuruh baca buku.

Kedua, rajinlah baca opini orang lain yang terpampang di media massa. Ketiga, angkat tema atau isu yang menarik. Keempat, cobalah untuk menulis, menulis dan menulis. Anda kesulitan? Cari 2 atau 3 opini orang lain yang memilik tema sama, baca sampai tuntas, tutup korannya dan tulislah dengan gaya bahasa anda sendiri. Mengapa demikian? Agar anda memiliki bekal cukup untuk menuangkan gagasan. Setidaknya anda sudah meminjam pemikiran orang lain. Bukankah ini namanya plagiat? Oh, tentu tidak, karena anda menulis dengan gaya bahasa anda sendiri. Tidak meniru persis plek.

Saya masih sangat percaya, bahwa tidak ada resep untuk bisa menulis kecuali: MENULIS SEKARANG JUGA. Tidak ada kata TERLAMBAT untuk MEMULAI. Yakinlah. Itu saja. Terima kasih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline