Lihat ke Halaman Asli

Dari Dongkelan Hingga Jolosutra

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13933060581301777921

Wakil Menteri Agama Nasaruddin Umar dalam sebuah kesempatan ceramah di UIN Sunan Kalijaga pernah menyatakan sungguh sayang jika kita hanya memiliki guru-guru yang masih hidup. Justru mereka, para kyai dan ulama yang telah lama wafat, adalah guru sejati kita. Sebab, menurut Nasaruddin, mereka yang telah sumare kini tak memiliki kepentingan lagi. Dan baik buruknya seseorang hanya dapat diketahui saat ia telah tiada.

Pemikiran Nasaruddin di atas, juga banyak ulama yang mengatakan hal senada yang membuat kami memutuskan untuk menziarahi para guru, ulama, dan kyai. Memanfaatkan hari libur, Kamis (26/12), kami memulai ziarah tepat Pukul 08.00. Aroma basah jalanan sisa hujan semalam masih kuat terasa. Dari Krapyak kami berlima langsung menuju makam Dongkelan. Di sana makam KH Moenawwir, KH Ali Maksum, dan keluarga besar Pondok Pesantren Krapyak, Bantul. Bacaan tahlil kami lakukan sekitar 20 menit dan perjalanan dimulai lagi. Tepat Pukul 09.15 kami sampai di makam KH Nur Iman atau sering disebut BPH Sandiyo. Makam ini terletak di Mlangi, sekitar 200 meter dari ring road barat. Makam Mbah Kyai Nur Iman tepat berada di barat Masjid Pathok Negara Mlangi. Saat kami masuk, ada dua orang santri perempuan sedang khusyuk mengaji. Kedatangan kami tampaknya tak mengganggu mereka, terbukti bacaan Qur’an tetap nyaring, stabil dan terus mereka lantunkan.

Sunan Pandanaran

Pukul 10.00 kami lantas meninggalkan Mlangi, kemudian bergegas menuju Bayat, Klaten. Maklum, momentum akhir tahun dan kendaraan luar kota mulai padat memasuki Yogyakarta membuat kami mesti tepat estimasikan waktu. Tujuan kami adalah Makam Sunan Pandanaran, atau Sunan Padang Aran, atau dikenal juga Sunan Bayat. Arah menuju makam cukup gampang. Anda tinggal menuju Klaten dan dari arah Yogya sudah ada papan plang penunjuk jalan menuju makam. Masuk sekitar 8 km dari jalan utama Yogya-Solo.

Makam Sunan Pandanaran terletak di Gunung Cokrokembang. Tak heran Anda mesti menaiki sekitar 250 anak tangga. Bagi yang jarang olahraga, pasti cukup tersengal. Tapi Anda tak perlu khawatir, bagi yang tidak kuat ojek motor siap mengantar Anda sampai atas dengan tarif Rp 7.000 sekali naik. Di samping kiri-kanan tangga terdapat para penjual cinderamata, pakaian, makanan khas, dan sarung termasuk aneka tasbih, cincin akik bahkan alat masak tradisional. Lengkap. Semuanya laris dilihat dari banyaknya peziarah yang memborong. “Kyai besar itu sudah wafat saja masih menghidupi banyak orang, sedang kita yang masih hidup justru selalu mencelakakan orang,” tukas teman yang ikut ziarah.

Sejak pintu kedatangan ada beberapa gapura yang langsung menyambut kedatangan kita. Dimulai dari Gapura Segara Muncar di depan parkiran, Gapura Dhuda yang menyapa di depan anak tangga pertama, Gapura Pangrantungan hingga Gapura Panemut, Pamuncar, Balekencur, Prabayeksa yang keempatnya berada di kompleks makam.

Di samping Gapura Dhuda Anda diwajibkan membayar retribusi masuk Rp 1.000/orang. Sedang di Gapura Pangrantungan Anda akan disambut abdi dalem diminta untuk mendaftarkan diri. Kata seorang abdi dalem yang berjaga, tiap hari ada 1.000 pengunjung yang datang ke sana. “Apalagi kalau bulan Ruwah dan Rejeb, bisa sampai 2.000 orang yang ziarah,” katanya lagi. Di gapura ini, terdapat masjid yang disediakan bagi peziarah sekadar melepas lelah dan untuk menegakkan sholat. Rasa lelah setelah naik tangga akan terbayar dengan pemandangan kota Klaten dan Yogya dari atas yang sungguh elok rupa. Jajaran pegunungan seribu juga terlihat dan inilah yang disebut Jolosutra. Tempat di mana Sunan Kalijaga ‘menanam’ murid-muridnya untuk menyebarkan agama Islam, sekaligus membentengi masyarakat dari gangguan dari luar.

Kompleks Makam Sunan Bayat cukup eksotis. Bangunannya mirip pura atau Kerajaan Hindu. Didukung dengan masyarakat sekitar yang tampaknya sadar akan potensi ini, maka jadilah ziarah di Makam Sunan Bayat mampu menjadi magnet siapapun yang melakukan perjalanan wisata spiritual.

Saat kami tiba di makam, ternyata ratusan peziarah sedang melafalkan kalimat tahlil. Mereka datang dari Cilacap, Tuban dan Rembang. Pukul 13.30 kami akhiri dan bersegera menuntaskan ziarah hari itu. Keasyikan ziarah dan mengenang kembali jasa serta ajaran mereka yang telah sumare membuat kami lupa untuk santap siang. Kami memilih sebuah restoran di pinggir Jalan Raya Solo-Yogya.

Tampaknya arus kendaraan yang berjejal ingin masuk ke Yogya sangat padat sekali. Rencana untuk ziarah ke makam KH Zainal Muttaqin, salah seorang putra Sunan Kalijaga yang berada di selatan Bong Supit Bogem terpaksa kami urungkan. Kami berbelok ke selatan menuju Dusun Jolosutro. Di sana terdapat makam Sunan Geseng, murid Sunan Kalijaga lainnya.

Sekitar Pukul 16.00 kami sampai di Dusun Jolosutro yang terelak 5 km di selatan Jalan Yogya-Wonosari km 14. Kami sholat ashar di Masjid Sunan Geseng dan naik menuju makam. Setelah memarkir kendaraan kami hendak jalan kaki menuju makam. Seorang penduduk mengingatkan kami, jalan kaki menuju makam menempuh jarak 1 km dan menghabiskan 30-40 menit. Terjal, naik dan siapapun yang tidak terbiasa akan kewalahan. Untungnya ada penduduk lainnya yang memberitahu, jalan menuju makam relatif mulus dan dapat dilalui kendaraan asal lewat jalur Patuk Gunungkidul. Kami menurut saja. Perkiraan waktu pulang dari makam selepas maghrib tentu tak nyaman jika harus menuruni bukit.

Putar haluan, kami menuju Patuk. Tepat di pos polisi Patuk kami ke selatan, ikuti jalan hingga ada bak air raksasa. Ambil kiri dan menapaki jalan hotmix yang berdasarkan papan keterangan dibangun oleh Pemkab Bantul, sampailah kami di makam Sunan Geseng. Benar, kendaraan dapat dibawa sampai kompleks makam. Di sana ada musholla kecil dan kamar mandi dengan air melimpah.

Sunan Geseng atau Pangeran Panggung adalah satu satu putra Brawijaya V yang menjadi murid Sunan Kalijaga. Konon ada 99 makam Sunan Geseng di seluruh nusantara, tapi yang diyakini benar sebagai makamnya ada di tiga tempat: Tuban, Grabag, dan Jolosutro Piyungan. Gus Dur sendiri pernah ziarah di sini dan mengatakan yang paling tepat dari kemungkinan yang ada hanyalah yang di Jolosutro Piyungan.

Tak terasa waktu menunjukkan Pukul 19.00 dan kami memutuskan untuk pulang. Seharian ziarah di kawasan DIY-Jateng tentu menguras tenaga. Namun, kami percaya bahwa mereka yang telah sumare itu memiliki kedekatan dengan Allah SWT. Dan sepantasnya bagi kita untuk mendoakan mereka.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline