Lihat ke Halaman Asli

Tanpa Melihat Prestasi, Masyarakat Jadi Korban Prestise

Diperbarui: 18 Juni 2015   01:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14217313332020870163

14097385971875913032

Pencitraan dan popularitas merupakan modal awal bila ingin menjadi Legislator maupun menjadi pejabat eksekutif  baik itu mencalonkan diri sebagai Bupati, Walikota , Gubernur sampai menjadi Presiden di negeri ini. Prinsip kepemimpinan mulai di kesampingkan, rekam jejak tidak jadi pijakan, publik di butakan dengan iklan pencitraan yang gencar di tayangkan menjadi strategi untuk mendulang suara dan dukungan.

Maraknya politik pencitraan  yang diterapkan para kandidat calon yang memiliki kepentingan baik dari Pemilihan Legislatif  hingga beberapa Pemilukada di beberapa daerah, seperti halnya di Jambi yang sebentar lagi akan menyelenggarakan  pemilihan Gubernur ,beberapa calon mulai bermunculan dari yang incumbent hingga beberapa bupati ingin mencalonkan diri ikut bertarung menjadi orang nomor satu di Provinsi Jambi. Namun ada yang menarik dari pemilihan Gubernur kali ini, munculnya nama salah satu Bupati yang pernah mencuat namanya di berbagai infotaiment, sebagai " Artis"  yang  di gugat atas kasus skandal perselingkuhan,  calon satu ini juga merupakan anak dari mantan Gubernur sebelumnya, selain sedang menjabat sebagai Bupati, untuk bersosialisasi dan sebagai mantan selebritis asal Jambi, tentu sangat mudah untuk menggaet dukungan terutama bagi kalangan muda yang secara fisikologis masih acuh tak acuh serta  masih apatis terhadap kelangsungan pembangunan, rendahnya pengetahuan politik dan arti pentingnya good governance, sehingga partisipasi politik kaum muda untuk memilih bersumber dari konsumsi sebuah prestise tanpa melihat sebuah prestasi.

Bergesernya paradigma dalam menentukan pemimpin,   faktor leadership sudah tidak lagi  menjadi dasar pilihan rakyat,  tanpa melihat track record, masyarakat kita di kelabuhi dengan pencitraan ,  akhirnya bukan dengan hati nurani, suara rakyat di kuasai oleh emosi yang di politisasi sehingga bagaimana idolanya terpilih. Peran partai politik pun tidak lagi menjadi wadah dalam memberikan pendidikan politik buat rakyat , hanya hasrat berkuasa, sehingga Demokrasi hari ini hanya sebatas kelabuh-mengelabuhi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline