Lihat ke Halaman Asli

Monopoli Kekuasaan, Kooptasi dan Ego Politik Ala Wak-Waw

Diperbarui: 17 Juni 2015   15:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Budaya mendinastikan pemerintahan dan kekuasaan dengan menciptakan pragmatisme politik mendorong keturunan untuk berkuasa. Dinasti politik yang didasarkan secara murni pada hubungan darah langsung dalam keluarga yang biasanya memiliki romantisme nama besar keluarga menjamin suatu dinasti politik dapat eksis secara terus-menerus.

Hal ini dikarenakan regenerasi kekuasaan tidak dilakukan secara matang, melainkan hanya mengejar pragmatisme dan ego politik belaka. Asumsi lainnya dari tren keturunan yang aksidental ini untuk dicalonkan menjadi kepala daerah, biasanya fenomena ini si calon belum memiliki kapabilitas kuat dalam membangun daerahnya.

Jika dilihat dari fenomena sekarang, tidak hanya di Banten, dan daerah-daerah lainnya, Provinsi Jambi yang merupakan daerah  pertama kali melaksanakan Pilkada langsung dengan terpilihnya pasangan Cagub Incumbent Zulkifli Nurdin yang merupakan orang tua dari Zumi Zola pejabat bupati Tanjung Jabung Timur saat ini , danbtidak hanya itu, politisi yang satu keluarga besar ini turun temurun menguasai partai berlambang matahari dengan mendistribusikan secara Familyisme untuk  berkuasa seperti di kota jambi, tanjabtimur dan Provinsi Jambi.

Berakhirnya dua periode Zulkifli Nurdin sebagai Gubernur Jambi pada tahun 2009 lalu, dilanjutkan dengan melanggengkan Zumi Zola sebagai Bupati di Tanjung Jabung Timur dan akan maju menjadi Calon Gubernur Jambi untuk periode 2015-2020. Politik by Design yang mengkooptasi partai dan memonopoli kehendak politik yang dikuasai secara keluarga, sehingga apapun agenda politik tentulah interest secara ego politik kekeluargaan pun yang diutamakan untuk  melanjutkan tampuk kekuasaan.

Turun langsungnya Zulkifli Nurdin dalam mengendalikan pemenangan anaknya Zumi Zola untuk merebut kembali kekuasaan, mengindikasikan ingin mengembalikan sebuah Dinasti kekuasaan sebagai bentuk eksistensi dalam memonoppoli kekuasaan politik,  dengan syahwat berkuasa apalagi secara histori adanya ketersinggungan politik yang memicu timbulnya ego dalam upaya merebut kekuasaan, asumsinya jika itu terjadi, hanya akan  menimbulkan kepemimpinan bayangan bagi sebuah pemerintahan, walau secara kapabilitas dan kompetensi baik secara leadership, maupun track record bukan menjadi faktor yang utama melainkan sebuah regenerasi kekuasaan yang harus di kuasai oleh keluarga walaupun kaderisasi di partai banyak menghadirkan orang-orang yang berkompten akan tetapi kendali dalam memonopoli kekuasaan berpolitik dan mengkooptasi sebuah partai yang dikuasainya, kemungkinan besar, rakyat hanya akan disuguhkan aktor-aktor politik yang itu-itu saja yang berasal dari satu keluarga dan tidak jarang, aktor-aktor tersebut menerapkan pola kelakuan politik yang sama mengingat berasal dari sebuah keluarga yang sama. Bahayanya hasrat untuk mengekalkan diri dan melembagakannya dalam kepolitikan dan kekuasaan politik hendak dijalankan secara turun-temurun di atas garis trah keturunan, bukan didasarkan pada kualitas kepemimpinan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline