Lihat ke Halaman Asli

Politik Oh Politik, Agama Oh Agama

Diperbarui: 18 Juni 2015   05:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ucapan SELAMAT utk JOKOWI atas terpilihnya menjadi PRESIDEN RI …

Selamat buat kaum nasrani karena betul" kompak mematuhi pemimpin kalian sedangkan ummat islam di Indonesia mengacuhkan perintah para ulamanya …

Selamat buat ummat islam yng memilih Jokowi karena anda membuka kembali jalan PDI-P menolak Perda dan UU syariat agama kalian......!!!!

(Dikutip dari potongan status/postingan seorang kawan di Facebook)

Aneh. Jujur saya kaget dan kecewa ketika membaca kedua kalimat setelah pernyataan selamat di atas. Keterkejutan saya adalah karena dalam ungkapan kekecewaannya itu, ia nampak MENGAITKAN rasa kekecewaan akan kekalahan jagoannya di Pilpres kemarin dengan menyindir umat Islam. Penafsiran yang saya dapat dari membaca kedua kalimat ‘berbahaya’ tersebut adalah bahwa umat Islam yang ‘mengacuhkan’ perintah para ulamanya untuk memilih (dalam konteks Pilpres ini) salah satu calon yang ditunjuk, adalah SALAH. Setidaknya itu menurut ia dan kelompoknya. Dan pada kalimat terakhir, jelas terlihat bahwa ia amat MENDUKUNG adanya Perda dan UU yang didasari oleh ajaran dan ketetapan satu agama tertentu, untuk direalisasikan dalam kehidupan bernegara.

Kali ini saya mau menulis bukan sebagai pendukung salah satu ‘kubu’.

Mungkin saya Golput.

Kali ini, saya mau menulis sebagai anggota masyarakat dari NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA, negara yang susah payah dibentuk sebagai negara republik oleh para pendirinya untuk bisa mencapai tujuan bersama dalam bernegara. Negara yang mandiri, yang bisa memenuhi dan menjamin hak dan pencapaian kepentingan setiap anggota kelompok masyarakatnya, baik itu di ruang publik maupun ruang privatnya.

Sebagai umat muslim, kekecewaan saya dari membaca tulisan kawan saya itu adalah bahwa umat Islam di Indonesia terkesan HARUS MEMATUHI PERINTAH PARA ULAMA yang dimaksudnya itu. Di sini saya melihat bahwa ia mencoba menghubungkan urusan politik, yaitu urusan yang juga menyangkut SELURUH ANGGOTA MASYARAKAT INDONESIA, dengan urusan agama, di mana agama merupakan hal privat bagi tiap individu yang dijamin oleh undang-undang. Apalagi Indonesia adalah negara yang masyarakatnya memiliki keberagaman (heterogenitas), termasuk juga dalam hal memilih kepercayaan atau agama. Parahnya lagi, saya menafsirkan bahwa dalam kalimatnya itu, ia MELEGITIMASIKAN KEBENARAN berada pada PARA ULAMA yang ada di Indonesia.

Kebenaran?

Kekecewaan saya berikutnya adalah pada kalimat terakhirnya. Di situ jelas secara tak langsung ia setuju adanya Perda dan UU yang didasarkan ajaran dan ketetapan satu agama tertentu. Bagi saya, ini jelas tidak masuk akal untuk diterapkan di Indonesia yang notabene masyarakatnya memiliki keberagaman (heterogenitas), termasuk juga dalam hal kepercayaan atau agama.

Bagaimana mungkin ajaran dan ketetapan satu agama bisa diterapkan sebagai Undang-Undang, atau bahkan Peraturan daerah di negara republik yang masyarakatnya heterogen ini?

Ngomong-ngomong soal kebenaran, para ulama, dan agama, dengan penyampaian kalimat semacam itu jelas ia nampak secara tak langsung memberi penafsiran bahwa KEBENARAN adalah jika UMAT ISLAM MEMATUHI PERINTAH PARA ULAMANYA. Jujur, saya amat tidak setuju.

Seiring perkembangan zaman dan perluasan agama Islam di dunia, banyak ajaran-ajaran Islam yang bagi saya dimaknai dengan salah tafsir. Saat ini, hal itu menyebabkan ‘terbaginya’ Islam menjadi beberapa ajaran dan kelompok tertentu berdasarkan penafsiran dari masing-masing pemimpin kelompok ajaran tersebut. Tak ayal, Islam TERPECAH-BELAH. Parahnya lagi, bahkan terdapat kelompok ajaran yang dengan berani menyatakan mereka BENAR dan kelompok yang lain adalah SALAH. Ego! Mengerikan! Padahal masih sesama pemeluk agama Islam, tapi bisa saling mendiskriminasi, menindas, bahkan ‘menganggap halal darah’ sesama pemeluk umat Tuhannya.

Menurut saya, ‘sindiran’ untuk ‘mematuhi perintah para ulama’ semacam itu adalah PEMBENARAN terhadap PARA ULAMA. Bagi saya, kalimat tersebut melegitimasikan bahwa PARA ULAMA patut disetarakan dengan TUHAN, MALAIKAT, atau NABI yang perintahnya harus dipatuhi dan tidak diragukan penafsiran dan objektivitasnya demi KEBENARAN. Bagi saya pemahaman semacam itu merupakan pemahaman yang salah tafsir. PARA ULAMA juga adalah manusia yang tak luput dari kesalahan penafsiran, apalagi jika penafsiran tersebut sudah terkontaminasi dengan EGO dan KEPENTINGAN. Bentuk penyampaian semacam itu cukup menjelaskan bahwa baginya PARA ULAMA dianggap harus selalu dipatuhi tanpa membiarkan kita mengkritisi KEBENARAN VERSI MEREKA itu bahkan apabila perintah tersebut menyangkut (bahkan bisa jadi merugikan atau merampas) hak, atau khususnya kehidupan individu dan umat agama lain.

Melihat fenomena 'minor' yang kerap terjadi soal keberagaman agama di Indonesia sepuluh tahun terakhir ini, justru apa yang kita anggap sebagai PARA ULAMA dan KEBENARAN itu malah menimbulkan diskrimninasi, penindasan, dan perampasan hak saudara sebangsa sendiri. Hanya karena KATA KEBENARAN dari SANG (beberapa) ULAMA, banyak saudara sebangsa kita yang kehilangan mata pencaharian untuk menyambung hidupnya. Ada juga yang sampai kehilangan nyawanya. Bahkan hingga saat ini, masih banyak sudara sebangsa kita yang bingung dan sulit beribadah karena dilarang melakukan peribadatan dan tempat peribadatannya disegel.

Mengenai Perda atau UU yang dibuat berdasarkan satu ajaran (syariat) agama tertentu dalam negara republik yang masyarakatnya heterogen ini, saya amat menolak hal tersebut. Menurut saya, hal itu berbahaya, sangat berbahaya. Dalam masyarakat heterogen seperti Indonesia ini terdapat bermacam kepercayaan yang dianut oleh tiap-tiap individu di dalamnya, dan memeluk satu kepercayaan atau agama adalah hak individu dan dijamin oleh UUD. Jadi apabila terdapat satu Perda atau UU yang didasari satu ajaran (syariat) agama atau kepercayaan tertentu, bagaimana nasib individu yang memeluk kepercayaan atau agama yang lainnya? Mereka jelas akan teralienasi. Mereka bahkan mungkin terdiskriminasi. Akan mungkin timbul nantinya pembedaan dan dominasi antara yang ’seragam’ dengan yang ‘belang minoritas’. Dan semua itu kembali mengisyaratkan pada nihilnya kesetaraan dan keadilan.

Saya sangat tidak setuju akan hal itu. Mana kesetaraan? Mana keadilan? Mana saling menghargai dan menghormati adanya perbedaan?

Ke mana kaburnya sang ‘tenggang rasa’?

Dari ‘segambreng’ pemikiran kritis saya terhadap ungkapan kekecewaan kawan saya itu, saya hanya ingin menyampaikan bahwa sebaiknya hal-hal krusial sperti agama tidak dibawa-bawa ke dalam ruang politik kita. Ini bukan soal MANA YANG BENAR dan MANA YANG SALAH. Ini bukan soal dosa atau pahala, ini bukan soal surga atau neraka, tapi ini adalah soal bagaimana kita rakyat Indonesia bisa setara dan merasakan keadilan yang sama meskipun berbeda-beda. Ini adalah soal bagaimana hidup damai dan rukun secara berdampingan di negara republik yang amat besar ini. Semua demi mencapai kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.

Mengutip sedikit ajaran Siti Jenar, “Perbedaan tidaklah perlu dipermasalahkan, selama perbedaan tersebut tidak merugikan, mendiskriminasi, dan merampas hak yang lain”.

Salam persatuan.

Salam perdamaian.

Jah blesses us.

: )




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline