Lihat ke Halaman Asli

Angra Bramagara

Orang Biasa

Apakah Semua Masalah Harus diselesaikan di Ranah Hukum?

Diperbarui: 13 Juli 2015   23:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kasus pencemaran nama baik melalui media, mulai menghenyak publik sejak diberlakukannya UU ITE tahun 2008. Tahun 2008, saat itu seorang ibu PM berkicau melalui media internet mengenai keluhan penanganan kesehatan yang dialaminya di suatu rumah sakit swasta internasional. Saat itu pihak rumah sakit melaporkan kicauan keluhan yang tersebar di media forum online dimana keluhan itu tersebar kepada polisi, dengan menggunakan pasal pencemaran nama baik. Ibu PM dengan terpaksa harus meninggalkan keluarga di rumah karena harus merasakan tinggal di Lapas selama beberapa waktu,  walaupun pada akhirnya melalui perjuangan serta dukungan masyarakat, ibu PM dibebaskan dari tuntutan hukum tahun 2012 oleh putusan Makhamah Agung RI.

Setelah kasus ibu PM, pasal pencemaran nama baik mulai banyak digunakan oleh banyak orang yang merasa tidak senang dengan perkataan seseorang yang disampaikan di media publik. Sebagaimana kita tahu, sejak media konvensional bahkan online membuka kesempatan bagi masyarakat yang bukan berprofesi sebagai jurnalis untuk menulis menyampaikan fakta, pendapat atau opini, bahkan keluhan mereka tentang sesuatu di media publik, semakin banyak masyarakat yang tertarik untuk berkicau, akibatnya semakin banyak pula kita dengar orang-orang melaporkan seseorang yang menulis sesuatu yang dirasa mencemarkan atau melecehkan nama baiknya atau pihak tertentu kepada kepolisian. Banyak juga yang menentang hadirnya pasal ini, dianggap pasal karet, karena dapat digunakan untuk menjerat seseorang dengan seenaknya sebagaimana sifat karet yang bisa diarahkan kemana saja. Ukuran pencemaran nama baik pun belum dapat dijelaskan secara detail, apa-apa yang dikategorikan pencemaran nama baik masih belum jelas, karena masih mengandalkan persepsi, prasangka, ada sebagian orang menilai perkataan seseorang tersebut merupakan hal yang biasa, namun bagi orang lain perkataan seperti itu merupakan perkataan yang dapat mencemarkan diri seseorang. 

Ntah kenapa, mungkin memang sifat orang Indonesia yang suka berpendapat atau berkicau, mulai dari lingkungan terkecil keluarga, warung hingga dunia maya, apapun bisa dijadikan bahan perbincangan dari mulai membicarakan masalah orang lain hingga membicarakan masalah negara, namun kadangkala penyampaian ekspresi seseorang tentang masalah yang dibicarakan seringkali secara sadar maupun tidak sadar dapat menyinggung perasaan orang lain. Jika hal ini sampai masuk ke ranah publik, apalagi tercatat atau terekam, ditambah hadirnya pasal pencemaran nama baik, maka semakin memudahkan orang untuk melaporkan atau menjerat orang lain ke ranah hukum.   

Juga, terkadang media melalui jurnalis nya pun menyiarkan atau menuliskan kembali perkataan seseorang, padahal perkataan itu bisa menimbulkan rasa tidak senang pada pihak lain, hal sepertii ini seakan membuat media menjadi sarana pengadu domba beberapa pihak. Bagaimana tidak, walaupun yang disampaikan oleh media itu adalah fakta sesuai dengan apa yang telah dikatakan oleh seseorang, namun para jurnalis media terkadang seakan tidak peduli dengan dampak dari penyampaian fakta perkataan itu.

Baru-baru ini anggota komisioner KY pun terjerat kasus pencemaran nama baik, akibat perkataan mereka yang ditulis di media massa menyinggung perasaan seorang hakim yang menangani praperadilan suatu kasus. Polisi pun mentersangkakan anggota komisioner KY. Republik ini kembali mengalami kegegeran. Sebagaimana kita tahu bahwa Komisi Yudisial adalah salah satu lembaga yang strategis di republik ini, karena tugas mereka sebagai pengawas para hakim. Seorang hakim merupakan pengadil pemutus sesorang bersalah atau tidak dalam penegakan hukum di Indonesia. Suksesnya suatu negara sangat tergantung dari para penegak hukumnya, terutama para hakim. Para hakim harus menjaga kinerjanya supaya baik agar negara ini semakin baik, pengawasan harus dilakukan, dan pengawasan terhadap kinerja para hakim ini dilakukan oleh lembaga negara yang bernama Komisi Yudisial. Jika anggota pengawas para hakim tersebut terkena kasus seperti ini, dampaknya dengan peraturan yang ada untuk menyelesaikan kasus ini saat sekrang adalah kinerja pengawas pada hakim bisa terganggu. Akibatnya, ada yang berpendapat presiden harus turun tangan. Jika sudah masuk ke ranah hukum, sebenarnya presiden tidak boleh mengintervensi selama proses hukum berlangsung. 

Jika dipandang dari sisi hukum, barangkali tidak ada yang salah, karena pastinya kepolisian bertindak sebagai penegak hukum yang basis kerjanya berdasarkan bukti-bukti hukum dan berpedoman pada peraturan perundangan yang ada. Kalau segala sesuatu itu sudah sesuai dan bisa menjadikan seseorang berstatus tersangka, kenapa harus dibantah, polisi mau tidak mau wajib mentersangkakan seseorang kalau memang sudah pantas dijadikan tersangka siapapun dia.

Oleh karena itu, barangkali, peraturan perundangan di negeri ini perlu diperbaiki, terutama terkait pasal pencemaran nama baik. Niat hadirnya pasal ini barangkali untuk tujuan baik, agar masyarakat kalau berkata-kata terutama di ranah publik supaya memperhatikan etika dan perasaan orang lain. kalaupun mengeluh atau menkritik seseorang, sebaiknya langsung disampaikan pada orang yang hendak dikelukan atau dikritisi. Pencemaran nama baik, rasanya bisa digolongkan sebagai kasus yang patokannya adalah persepsi seseorang atau bersifat subjektif. Bisa saja timbulnya kasus ini karena kesalahpahaman dalam berkomunikasi sehingga ada gap dari makna yang hendak disampaikan dengan yang ditangkap oleh pihak tertentu. Ketika sesorang yang tidak lepas dari kekhilafan kecolongan secara sadar atau tidak sadar dianggap menyinggung perasaan orang lain di depan publik, sebaiknya sebelum penegak hukum memasukkan kasus seperti ini sebagai kasus yang harus memenjarakan, mengganggu kehidupan bahkan lembaga dimana seseorang itu berkarier, penegak hukum sebaiknya berperan sebagai fasilitator atau mediator antara sesama pihak yang berkonflik. Cara musyawarahnya pun bukan dalam bentuk ruang persidangan, namun dilakukan secara dan suasana kekeluargaan dalam satu forum yang di dalamnya ada para penengah. Karena jika dilakukan dalam ruang persidangan, maka hanya ada salah dan benar di sana, sehingga bisa menimbulkan pentajaman konflik. Bahkan kalau perlu presiden pun bisa jadi penengah, karena kasus belum masuk dalam proses di ranah hukum. Jika kesepakatan dan permintaan maaf telah tercapai di forum musyawarah tersebut, maka kemudian ada prosedur pelurusan nama baik untuk menormal kan lagi nama baik atau pihak tertentu.   

Untuk kasus-kasus tertentu, apalagi yang patokannya masih mengandalkan alat ukur persepsi, alangkah baiknya jangan buru-buru dimasukkan dalam ke ranah hukum pidana atau harus memaksa seseorang dipenjara dan mengganggu kehidupan mereka. Alangkah baiknya,utamakan lah dulu musyawarah.

 

 

                 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline