Baru saja usai memiliki anggota DPR, DPD, DPRD serta presiden baru, rakyat Indonesia akan segera kembali menggunakan hak politiknya untuk memilih kepala daerah; yaitu gubernur, bupati/walikota. Ini merupakan konsekwensi dari sistem politik demokrasi langsung, yang telah disepakati sebagaimana mekanisme rakyat Indonesia dalam menentukan wakil-wakil mereka dalam lembaga pemerintahan.
Pada tanggal 27 November 2024 nanti, seluruh rakyat Indonesia di seluruh provinsi, kabupaten/kota, serta telah memenuhi persyaratan akan dapat menggunakan hak politiknya sebagai warga negara untuk menentukan pemimpin daerah. Terdapat beberapa perkembangan/perubahan menarik dalam perjalanan demokrasi Indonesia, khususnya dalam mekanisme rekrutmen para elit politik pada cabang eksekutif dan legislatif pada era reformasi.
Perubahan pertama, adalah proses rekrutmen oleh partai politik sebagai kendaraan politik seseorang dalam meraih jabatan politik menjadi relatif lebih terbuka. Pada era sebelum reformasi, para elit cenderung berada dalam lingkungan partai politik itu saja. Artinya hanya seseorang yang telah menjadi anggota partai politik itu, dan telah "mengabdi", menunjukkan loyalitasnya kepada partai yang bisa masuk dalam mekanisme, baik itu menjadi anggota DPR, DPRD atau kepala daerah.
Sisi positif dari mekanisme rekrutmen secara internal ini adalah para kader partai yang akan berkompetisi umumnya adalah sosok yang ideologis, karena telah ditempa dalam jangka waktu yang cukup panjang oleh partai tempatnya bernaung, sebelum turun gunung berkompetisi dalam pemilihan umum.
Kini, di era reformasi, mekanisme rekrutmen elit politik oleh partai telah berubah drastis, menjadi jauh lebih cair dan terbuka. Partai tidak selalu mengusung kadernya, yang telah menjadi anggota beberapa waktu.
Partai politik telah pula merekrut tokoh masyarakat (adat, agama), pengusaha, selebriti, pensiunan TNI/Polri/PNS, tokoh organisasi masyarakat (ormas) maupun figur publik lainnya. Hal ini merupakan konsekwensi yang harus mereka tempuh, mengingat kader yang dimiliki tidak selalu menjanjikan raihan suara. Mungkin saja kader yang ada memiliki kapabilitas, namun karena sebelumnya tidak banyak mendapatkan "panggung", maka tidak banyak dikenal oleh masyarakat.
Mekanisme rekrutmen dari kalangan eksternal ini berdampak positif, karena partai politik yang sebelumnya cenderung tertutup, yang membuat ruang-ruang politik terlalu elitis, kini telah dapat diakses banyak ragam khalayak. Setiap komponen masyarakat, sepanjang memiliki kapabilitas tertentu, bisa mengakses mekanisme politik oleh partai sehingga berpeluang menduduki jabatan publik.
Tidak jarang justru figur publik itulah yang "dipinang" oleh partai politik, karena dinilai menjanjikan untuk "menjaring" suara. Tahapan yang ditempuh tidak perlu terlalu panjang, bertahun-tahun dan melelahkan, karena umumnya para figur publik ini baru masuk ke dalam mekanisme partai tidak lama menjelang pelaksanaan pemilu.
Oleh sebab itulah cabang-cabang eksekutif dan legislatif di pusat dan daerah saat ini telah banyak diisi oleh insan-insan dengan latar belakang yang amat beragam. Para anggota DPR, DPRD dan kepala daerah tidak hanya diisi oleh anggota loyal partai yang telah cukup lama berkarir di partai, namun diperkaya pula dengan para new comer, kader baru yang berasal dari kalangan pengusaha, artis, selebritis, pensiunan TNI/Polri/PNS, tokoh ormas dan sebagainya.
Di satu sisi, khususnya di jangka pendek, perubahan mekanisme rekrutmen politik ini memang berdampak positif, karena memberi akses bagi siapa pun untuk dapat berkontribusi dalam politik di Indonesia. Partai juga diuntungkan, karena figur-figur dari beragam latar tersebut lebih mampu menjual, dan turut pula berkontribusi membesarkan partai secara finansial.
Proses rekrutmen itu nampaknya tidaklah gratis. Pastinya ada biaya-biaya yang diperlukan, karena partai amat membutuhkannya untuk menjalankan roda organisasi. Para kader-kader baru inilah yang diperlukan kontribusinya untuk memberikan suntikan segar bagi partai baik dari dimensi kekuatan politik maupun kekuatan ekonomi.