Lihat ke Halaman Asli

I Made Bram Sarjana

Analis Kebijakan

Kesederhanaan yang Mahal

Diperbarui: 3 Oktober 2024   15:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagi rakyat yang hidup dalam kesederhanaan, kenaikan harga makanan sedikit pun amat berarti (dok.pribadi)

Sederhana menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti bersajaha, tidak berlebih-lebihan. Belakangan ini wacana tentang kesederhanaan menjadi isu hangat. Mengemukanya wacana kesederhaan, gaya hidup bersahaja, tidak berlebih-lebihan, bukan tanpa sebab. Kesederhanaan muncul menjadi wacana publik karena kegundahan, kemuakan masyarakat terhadap aksi pamer, parade, jor-joran kekayaan/gemilang kemewahan oleh para artis, selebriti, pengusaha, pejabat publik/penyelenggara negara, politisi, bahkan penceramah agama, atau anak, istri, hingga menantu para tokoh/figur publik tersebut. Media sosial menjadi sarana ampuh para "sultan" atau crazy rich itu untuk menunjukkan dan mengukuhkan "kuasa" mereka atas berbagai jenis barang-barang keduniawian itu.

Rasanya belum luntur dari ingatan kita betapa rakyat Indonesia merindukan, mengagumi dan mendukung sosok figur publik yang menganut kesederhanaan dalam kesehariannya. Kesederhanaan dalam tutur kata, kesederhanaan dalam penampilan. Kesederhanaan karena bersedia menyatu dan membaur dengan rakyat Indonesia yang berdasarkan data BPS mencapai 9,36 persen atau sekitar 25,8 juta jiwa masih berada di bawah garis kemiskinan.

Kesederhanaan karena rela masuk ke selokan, belanja di pasar tradisional, ke rumah-rumah kumuh, untuk berempati dan merasakan apa yang rakyat miskin rasakan. Dukungan besar itu terhadap sosok yang bisa menjalani kesederhanaan terjadi karena bagi rakyat, itulah kondisi mereka. Kesederhanaan itulah kehidupan mereka.

Persoalan perilaku kesederhanaan itu hanya sekadar pencitraan, bukan sesuatu yang orisinal dalam dirinya, itu tentunya wallahualam, hanya yang Maha Kuasa yang mengetahui kesejatiannya. Kesederhanaan menjadi "jurus" yang amat sangat bermanfaat bila dimaksudkan untuk sekadar mendongkrak citra dan popularitas seseorang, agar mendapatkan stempel sebagai sosok yang merakyat.

Di kutub yang lain, masih belum luntur pula dalam ingatan publik ihwal perilaku selebriti, artis, pengusaha, pejabat, penyelenggara negara, politisi, pengacara  atau keluarganya (anak, istri, menantu, mungkin juga cucu) yang amat sangat aktif "berkontribusi" memajukan platform media sosial yang notabene adalah milik para kapitalis asing. Mereka menjadi kaum selebriti di "media sosial", mengisi ruang-ruang digital dengan berbagai konten yang sarat akan parade kemewahan. 

Parade kekayaan ini ditunjukkan dengan berbagai postingan yang serba "wah", seperti pakaian mewah, perhiasan mahal, mobil mewah, rumah mewah, makan makanan mewah, rumah mewah,  jalan-jalan ke luar negeri, hingga bepergian dengan pesawat jet. Bila seorang pengusaha kakap, yang namanya kerap muncul sebagai pengusaha kelas wahid versi majalah Forbes, mungkin saja ini gaya hidup mewah itu bisa dimaklumi.

Akan menjadi menarik apabila terverifikasi ihwal asal-muasal kekayaan yang berlimpah dan senantiasa diparadekan para figur publik itu. Tentunya tidak mudah pula mengetahui apakah kekayaan itu diperoleh secara  legal, bukan dari bisnis abal-abal, penyelundupan, money laundering, gratifikasi, korupsi, industri yang mencemari lingkungan, pabrik yang melanggar HAM, pembalakan hutan dan tambang ilegal, usaha monopoli yang mematikan UMKM, dan segudang cara-cara ilegal lainnya. Sebagian kecil ada yang bernasib apes, karena perilakunya terpantau sebagai aktivitas ilegal, terindikasi ada pelanggaran pajak atau bahkan penggelapan, sehingga pelaku pamer kemewahan, pasangan atau orang tuanya harus kehilangan jabatan atau bahkan berurusan dengan hukum.

Tidak puas dengan "kekayaan fisik" tadi, masih ada dahaga lain yang juga masih harus dipenuhi. Dahaga itu baru dapat terpenuhi melalui keberhasilan memperoleh gelar "berbau" akademik. Oleh sebab itu cukup banyak pula figur publik yang terobsesi dengan gelar "berbau" akademik langsung mencapai level yang tertinggi, yaitu jenjang "doktor". Berbagai urusan yang menyertai peserta didik jenjang doktoral seperti membaca, memahami, me-review dan menuliskan kembali hasil elaborasi atas puluhan atau ratusan artikel ilmiah hasil riset terdahulu yang terkait dengan penelitiannya, tidak masalah. 

Demikian pula urusan kewajiban publikasi di jurnal internasional bereputasi dan kewajiban memaparkan hasil penelitiannya pada konferensi internasional, itu tidak menjadi persoalan. Semuanya bisa diselesaikan dengan dukungan penuh "tim sukses" di belakang layar. Memang tidak tertutup kemungkinan ada pula sebagian figur publik yang menjalani proses pendidikan tinggi hingga meraih gelar akademik tertinggi ini melalui proses yang benar dan tanpa kesulitan, karena sejak awal memang telah memiliki tacit knowledge serta kemampuan akademik yang mumpuni dan telah tertempa bertahun-tahun dalam perjalanan hidup dan karirnya.

Bagi yang tidak mau direpotkan dengan berbagai kewajiban yang "menantang" tersebut, ada yang berupaya menempuh jalur lain, yaitu Doktor Honoris Causa (Dr.HC). Gelar ini konon merupakan pemberian dari suatu lembaga pendidikan tinggi kepada seseorang atas kontribusi nyata terhadap pencapaian suatu bidang pembangunan selama bertahun-tahun, bukan karena keberhasilan menjalani proses pendidikan akademik jenjang doktoral yang demikian ketat. Ini pula masih menjadi kontroversi, apa memang benar pemberian gelar itu memang berdasarkan proses yang ketat, atau di belakang layar ada kewajiban melakukan pembayaran kepada lembaga perguruan tinggi bila ingin memperoleh gelar kehormatan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline