Pada 27 Maret 2019 saya antusias menghadiri acara peringatan "Sewindu ISPO" yang mengalami kemajuan dengan pencapaian 502 Sertifikat sekuas 4,115 ha dengan produksi CPO 11,567 juta ton/tahun.
Saya merasa antusias dengan acara ini, karena sering melihat dan membaca berita yang kurang mengenakkan tentang kelapa sawit dan perkebunan sawit selama ini. Selalu menjadi perdebatan tiada ujung dan akhirnya saling menyalahkan. Bahkan image negatif terhadap perkebunan sawit ini sudah sangat melekat kuat di masyarakat.
Padahal, banyak yang harus ditelusuri, digali kebenarannya dan dicari tahu akar permasalahanya, bukan hanya memvonis langsung dengan nada sinis tetapi tidak mau mencari tahu, kenapa sawit berdampak seperti yang banyak dibicarakan? Ada apa yang salah?
Maka dari itu, saya senang saat diundang pihak Media Perkebunan di bawah Kementerian Pertanian ini, karena saya ingin tahu apa sebenarnya yang terjadi.
Sebelum lebih jauh lagi, saya mau memperkenalkan ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) merujuk pada Buku "Think Palm Oil With a Cup of Coffee Karya Ir.Gamal Nasir, MS bahwa ISPO merupakan inisiatif pemerintah sebagai bentuk komitmen bagi seluruh stakeholder perkebunan sawit, baik pemerintah atau pelaku usaha dari sektor perusahaan dan petani hingga industri produk turunan kelapa sawit.
ISPO dibentuk sebagai upaya menguatkan kedaulatan perekonomian yang bersumber dari sumber kekayaan alam berada sepenuhnya dalam kendali pemerintah Indonesia.
ISPO dibentuk atas latar belakang desakan pihak asing yang gerah akan massifnya pergeseran minyak nabati dari minyak jagung, kedelai dan bunga matahari ke minyak kelapa sawit. Pihak asing ingin Indonesia membudidayakan kelapa sawit secara sustainable. Maka lahirlah ISPO.
Sebenarnya sudah ada RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) yang sifatnya sukarela dalam arti kata tidak mewajibkan para pemangku kepentingan untuk mematuhi aturan sedangkan ISPO mempunyai ketegasan terhadap hal krusial dalam perkebunan sawit yang berkelanjutan.
Untuk mendapatkan sertifikat ISPO sendiri, tak mudah karena melalui berbagai penilaian. Untuk perkebunan sedikitnya harus punya nilai I hingga III kalau IV sampai V berarti harus ada evaluasi hingga mencapai nilai standar yang ditentukan. Belum lagi verifikasi - verifikasi lainnya.
ISPO sendiri telah memenuhi standar internasional ISO juga teruji di Badan Standardisasi Nasional dan diaudit oleh Komite Akeditasi Nasional.
Intinya, perjalanan ISPO yang sempat menuai pro dan kontra serta melalui jalan terjal, kini mengalami perkembangan dengan bukti pada Tanggal 27 Maret 2019 ada penyerahan sertifikat ISPO sebanyak 45 yang terdiri dari 43 Perusahaan dan 2 koperasi swadaya. Dengan luas areal 287.19 Ha, tanaman menghasilkan seluas 215,463 Ha, Produksi TBS 2,987,522 ton/tahun dan produksi CPO 550,920 ton/tahun.