Kasus-kasus perusakan lingkungan yang dilakukan sebagian oknum masyarakat maupun oknum korporasi, masih banyak yang menggantung proses hukumnya, bahkan lolos begitu saja. Ini disebabkan kurang kuatnya regulasi yang dibuat pemerintah yang bersifat mengikat. Termasuk ada oknum pejabat dalam lembaga hukum itu sendiri yang menyalahgunakan wewenangnya.
Ternyata memang tak cukup mengandalkan pejabat di lembaga hukum dalam pengawasannya, sebagai masyarakat sipil juga harus terlibat dan berpartisipasi dalam melakukan pengawasan dan pelaporan.
Bagian dari edukasi dan sosialisasi terhadap hal ini, diperkuat dalam diskusi bersama Asia Foundation melalui program SETAPAK (Selamatkan Hutan dan Lahan Melalui Perbaikan Tata Kelola) yang didukung oleh KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan)
Berdiskusi dan berbincang bersama Ibu Sukma Violetta, SH., LL.M ( Wakil Ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia) dan Bapak Indro Sugianto, SH., MH ( Komisioner Kejaksaan Republik Indonesia) Melihat dua narasumber ini, sudah pasti materi yang diberikan cukup berat dicerna karena sebagian peserta tidak berlatar belakang pendidikan hukum. Namun kebutuhan pengawasan yang membutuhkan semua pihak terlibat, membuat kami merasa butuh mendapatkan wawasan dari dua narasumber kompeten ini.
Ibu Violetta dan Bapak Indro mengungkapkan realita bahwa di Indonesia masih banyak praktik suap, bekerja kurang ikhlas dan tidak profesional dalam menjalani profesi yang disandang, sehingga cenderung banyak hal yang lolos dari perhatian, semua ini akibat dari ketidakpahaman atas regulasi yang ada, akibatnya tidak ada implementasi dari regulasi yang sudah dibuat.
Terutama untuk masalah lingkungan, masih ingat kebakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan selama Juni hingga Oktober 2015 yang merenggut banyak korban jiwa, baik yang meninggal dunia maupun yang kena penyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) tercatat kerugian secara materi mencapai 120 triliun dalam melakukan kegiatan tersebut.
Kelalaian tersebut akibat dari tidak kukuhnya peraturan yang dijalankan. Sehingga dimanfaatkan oleh korporasi dalam melakukan kegiatan yang di luar batasan. Kadang, petani kecil atau masyarakat awam di sekitaran lahan dimanfaatkan sebesar-besarnya oleh korporasi dengan memberi upah rendah atau harga jual hasil panen yang jauh dari standar semenara lahan yang dimilikinya menghasilkan banyak keuntungan. Tentu saja ini sangat ironis.
Seperti yang dinyatakan dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2009 yang menyatakan soal pemeliharaan dan perlindungan lingkungan, hanya memberikan izin pembakaran lahan maksimal 1-2 hektar untuk masyarakat lokal yang memenuhi syarat dan ketentuan. Dan tetap menjalankan kearifan lokal yang fokus pada pemeliharaan dan perlindungan lingkungan.
Aturan dalam undang-undang tersebut bukan untuk korporasi, selama ini masih banyak korporasi yang memanfaatkannya dengan campur tangan oknum pemerintah daerah dan pejabat dalam institusi hukum melalui praktik suap.
Jadi, masalahnya di sini tak hanya korporasi yang melakukan pelanggaran saja yang bersalah namun akar permasalahan yang utama adalah mengontrol pemerintah daerah dan pejabat dari institusi hukum yang menangani kasus lingkungan.
Sebagai warga negara tentunya kita berhak tahu kegiatan apapun atau mengetahui dokumen yang berisi tentang kebijakan lingkungan daerahnya. Ini merupakan langkah transparansi dan kewenangan masyarakat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi berhak tahu apa saja selagi dapat dipertanggungjawabkan.