Lihat ke Halaman Asli

Ani Berta

TERVERIFIKASI

Blogger

Menanamkan Kejujuran dan Memutus Rantai Budaya Suap pada Anak Saat Memasukkan Mereka ke Sekolah

Diperbarui: 22 Juli 2018   09:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Euforia tahun ajaran baru masih terasa hirukpikuknya dari desa hingga ke kota. Di sosial media pun tak kalah hebohnya. Para orang tua sejak dilaksanakan Ujian Nasional sudah merasa gelisah. Berharap anak-anaknya masuk ke SMP, SMA maupun Universitas negeri yang unggul dan terfavorit.

Sangat wajar harapan orang tua bersikap demikian. Saya pun yang mempunyai anak remaja masuk SMA tahun ini, punya harapan yang sama dengan orang tua lain. Bedanya, saya tidak bersikap tegang atau merasa takut berlebihan. Pun tidak ada ambisi telalu tinggi mengharuskan anak masuk ke SMA negeri favorit.

Sejak ujian nasional selesai, saya sudah memberi pengertian ke anak, "Nak, berapapun NEM kamu, ibu harap kamu berbesar hati ya dan lapang dada. Mengingat KTP dan Kartu Keluarga kita masih Bandung semetara kita tinggal di Tangerang Selatan. Jadi, sudah pasti kita tidak masuk zonasi. Tak apa ya, masuk swasta. Di sana pun kamu akan tetap mendapatkan pelajaran yang terbaik dan fasilitas yang lengkap pula."

Sistem zonasi masuk sekolah negeri dibuat oleh pemerintah daerah agar sistem pendidikan berkualitas merata dan menghapuskan sekolah favorit. Hal ini ada dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 14 Tahun 2018. Protes-protes saja menurut saya kurang baik juga terhadap sistem zonasi ini, mengapa tidak melihat tujuan dan sisi positifnya, bukan?

Awalnya, anak saya agak kecewa dan sedikit menyalahkan saya yang tak pindah KTP dan KK ke Tangerang Selatan. Saya maklumi dan saya dapat merasakan kekecewaan itu. Saya peluk anak dan memberikan pengertian lagi. Bahwa Ibu adalah single parent, di Tangerang Selatan hanya merantau dan jika KTP pindah, seandainya terjadi sesuatu yang tidak diinginkan (berharap hal itu tidak terjadi tentunya), akan susah orang lain menghubungi siapa. Jika masih KTP Bandung, ada apapun pasti akan terhubung dengan saudara dan kakek nenek di Bandung.

Dengan alasan yang saya utarakan, anak saya langsung paham dan mau menerima kenyataan. Akhirnya, saat hasil kelulusan dan NEM dibagikan dan alhamdulillah, walau tidak terlalu tinggi, NEM anak saya masih bisa masuk ke SMA Negeri. Benar saja, ketika hasil PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru) online masuk negeri diumumkan, jika saat itu kami ikut mendaftar PPDB online, anak saya bisa masuk ke salah satu SMA Negeri dekat Serpong Tangerang Selatan. Kami berdua hanya menghela napas dan merelakan hal itu.

Yap! Kami tak mencoba daftar PPDB online tersebut karena sudah daftar ke swasta sejak awal dan buat apa coba-coba daftar negeri kalau tidak mau masuk negeri? Hanya membuat susah orang lain yang mau masuk saja dan menuhin kuota.

PPDB, SKTM dan Sogok Menyogok

Beruntung kami berdua tidak se-tertekan orang lain, tidak pusing mengurus PPDB online dan harap cemas menanti hasil, tergeser atau tidak. Karena kami berdua sejak menerima NEM tak mencoba dulu PPDB tapi langsung mendaftar ke sekolah swasta terbaik yang ada di Pamulang. Dengan pertimbangan, zonasi yang jauh sehingga tak memungkinkan masuk negeri, swasta yang diambil tempatnya dekat dari rumah, fasilitas sekolah baik, cara mendidik siswa siswi dengan lingkungan yang cocok dan itu adalah sekolah Islam yang banyak menjuarai segala prestasi. Serta mempunyai basis organisasi yang luas dan besar.

Harga lumayan tapi sebanding dengan kualitas. Dari pada uang sebanyak itu dipakai nyogok ke SMA negeri favorit? Mending untuk daftar sekolah ke swasta yang berkualitas sekalian. Sistem didikannya lebih baik dan prosesnya melalui kejujuran. Apa adanya. Tanpa manipulasi SKTM (Surat Keterangan Tidak Mampu) naudzubillahhimindzalik! Jika kita masih mampu, tinggal di rumah yang layak, apalagi mempunyai kendaraan dan pakai smartphone canggih mengapa harus menggunakan hak orang lain yang jelas lebih membutuhkannya?

Bagi yang menggunakan SKTM tetapi sebenarnya mampu, sama saja dengan mendoakan dirinya untuk tidak mampu, semoga saya tidak salah mengartikan. Saya hanya merasa kasihan terhadap orang yang benar-benar patut menerima fasilitas SKTM, kuotanya berkurang karena ulah orang-orang mampu ini. Seperti dalam Permendikbud No 14 Tahun 2018 dijelaskan bahwa kuota untuk yang tidak mampu adalah besarannya 20%. Nah, jika yang 20% ini dipenuhi oleh yang memanipulasi, bukankah itu memakan hak mereka?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline