Lihat ke Halaman Asli

Ani Berta

TERVERIFIKASI

Blogger

Mudik Lebaran, Ventilasi bagi Pikiran dan Jiwa Selama di Rantau

Diperbarui: 24 Juni 2015   09:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kisah mudik di kampung halaman dengan ritual kumpul bersama keluarga besar, reuni dengan teman lama dan melakukan kebiasaan-kebiasaan seru bersama teman sekampung adalah suatu hal biasa yang pasti terjadi. Dan momen menyenangkan itu wajib hukumnya saat mudik.

Bagi saya, ketika mudik ada sesuatu yang selalu saya tunggu, yaitu napak tilas ke beberapa tempat dimana saya sekolah, kursus, kuliah, tempat bekerja pertama dan ke beberapa titik tempat yang menyimpan banyak kenangan. Yang menorehkan sejarah sampai membuat saya berada di rantau. Napak tilas ini perlu buat saya. Karena bisa jadi pengingat atas perjuangan yang telah dilakukan. Agar saya tak menyia-nyiakan kesempatan dan pencapaian yang telah diraih sekarang, walau skala kecil.

Kampung halaman saya di Bandung, sudah sebelas tahun saya tinggal di Jakarta dan Tangerang Selatan. Pada saat mudik, libur lumayan panjang. Jadi melakukan ritual napak tilas ini sempatnya dilakukan pada saat mudik.

Yang biasa saya lakukan pada napak tilas ini adalah mengunjungi tempat sekolah, sambil merenung, disana saya membayangkan dulu sempat bercita-cita ingin menjadi pekerja kantoran, sederhana sekali ya cita-citanya . Sudah tercapaidan ada kepuasan tersendiri karena mendapat kerja hasil mencari sendiri dan melalui test, bukan karena orang dalam atau menyuap. Sungguh bangga saya walau dalam pencapaian sederhana tapi diraih dengan sebuah perjuangan. Hal ini diungkapkan oleh salah satu guru yang tinggal di sekitar sekolah saya itu. Dengan berbincang kisah lama dan dihubungkan dengan kehidupan sekarang yang mandiri di rantau. Membuat saya terpacu untuk meraih tangga selanjutnya. Guru saya yang sudah membimbing dahulu memancing pemikiran-pemikiran yang saya punya ketika di rantau, dengan derasnya meluncur curahan hati yang selama ini mengumpul dalam benak. Karena semasa di rantau sedikit sekali orang yang tepat untuk diajak bertukar pikiran.

Percakapan bersama saudara-saudara juga sama, sering mengingatkan apa yang pernah dicita-citakan, ketika melihat saya berhasil hidup mandiri di rantau, dengan segudang aktivitas dan bisa menyesuaikann diri. Tak jarang mengundang decak kagum saudara dan tetangga di kampung halaman. Meskipun hanya sebagai karyawan. Kalau sudah begini, segala pikiran negatif dan berbagai keluhan saat di rantau terobati. Dan merasa tak ada alasan untuk tidak mensyukuri. “Hambatan itu pasti ada, namanya orang hidup” Kata Paman ketika berkumpul.

Apalagi saat berkumpul dan ngobrol dengan teman lama, sambil asyik menyantap kue lebaran dan merecoki orangtua teman yang sedang siapkan hidangan, sibuk bercerita. Si ini sudah jadi gini, si anu sekarang begini dan si itu kasian dan lain-lain. Melihat berbagai hal yang terjadi pada kondisi teman-teman seangkatan membuat saya review terhadap pencapaian diri sendiri. Syukur alhamdulillah ketika melihat teman yang nasibnya dibawah saya, merasa masih beruntung walau dengan pencapaian kecil, di rantau pula. Tapi masih bisa survive dan menjalani hidup dengan berbagai essensi yang harus dijalani. Ketika melihat nasib teman yang lebih bagus dari saya, tentunya menjadi motivasi tersendiri untuk memacu prestasi dan karya yang lebih baik lagi.

Pada intinya, Mudik adalah saat paling berharga. Di hari kemenangan yang bertujuan untuk silaturahim dan saling memaafkan kesalahan, punya makna dan nilai lebih. Karena diselingi dengan rajutan kasih sayang bersama orang-orang yang ada di sektar kita di masa lalu. Yang mengingatkan perjuangan masa lalu. Dan memberi celah-celah untuk mengeluarkan segala pikiran dan unek-unek ketika di rantau. Dari percakapan bersama orangtua, guru, saudara, teman lama di kampung halaman, melahirkan ide, kesadaran dan sebuah evaluasi diri. Semua pikiran yang menjadi beban semua keluar berganti energi yang menjadi semangat baru. Bagai sebuah ventilasi udara, bertukarnya udara lama dengan udara segar yang menyegarkan ruangan.

Sangat wajar, ketika sebagian orang bela-belain bergumul dengan kemacetan yang mengular, naik bis berdiri sambil desak-desakan, melewati jalanan yang padat merayap dan rela membayar tiket pesawat atau kereta dengan harga Peak Season. Karena ada yang dituju, yaitu menemukan ventilasi pikiran dan jiwa di kampung halaman. Dan sempat dilakukan pada momen Mudik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline