Lihat ke Halaman Asli

Wawan Oat

Penulis

Masih Stabilkah Nilai Rupiah?

Diperbarui: 4 Juli 2018   17:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Lemahnya rupiah akhir-akhir ini akibat depresiasi dari dollar amerika serikar (USD), telah membuat publik merasa khawatir, khususnya para pelaku pasar. Keresahan publik akan meningkat jika stabilitas rupiah tidak membaik, betapapun telah dilakukan upaya pemulihan, baik dari sisi fiskal maupun moneter. Namun keadaan ini masih dianggap terkendali oleh pemerintah dengan melihat varian ekonomi makro, bukan berarti rupiah (Rp) berada dalam kondisi stabil secara ekonomi.

Nilai tukar rupiah belakangan ini ada pada kisaran Rp 13.500 - Rp 14.400, bahkan berpotensi mencapai angka Rp 14.500. Berdasarkan data dari Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), nilai tukar rupiah hari ini (4/7) ada pada angka Rp 14.343. Keadaan ini menjelaskan bahwa eskalasi rupiah semakin melemah. Pelemahan ini tidak semata berasal dari sentimen ekonomi domestik (dalam negeri) tapi lebih dipengaruhi oleh sentimen luar negeri, khususnya naiknya suku bunga the fed (USA) dan implikasi dari terjadinya perang dagang amerika serikat dengan china.

Fakta kondisi rupiah yang terjadi di pasar keuangan membuat pemerintah selaku regulator mengambil langkah. Langkah umum dan pertama yang diambil pemerintah tentu menaikan suku bunga acuan (BI 7 - Day Repo Rate). Sepanjang tahun ini, bank indonesia (BI) sudah tiga kali menaikan suku bunga acuan, dengan total kenaikan sampai 100 basis poin. Kini suku bunga acuan sebesar 5,25%, hal ini dilakukan semata untuk menarik investor asing.

Selain itu, pemerintah juga melakukan bauran kebijakan antar stakeholder terkait, mendorong ekspor untuk menambah cadangan devisa, membatasi impor dengan memperkuat sektor UMKM, melakukan intervensi melalui kebijakan BI untuk menjaga ketersediaan likuiditas, baik valuta asing maupun rupiah, serta membeli surat berharga negara (SBN). Beberapa langkah ini telah ditempuh oleh pemerintah, sembari melihat implikasinya dengan menyiapkan langkah korektif atas sentimen kondisional yang akan terjadi lagi.

Walaupun suku bunga acuan sebagai stimulus awal pemulihan telah dinaikan, namun belum menguatkan posisi rupiah terhadap dollar. Rupiah telah melemah 5,6% dari awal tahun hingga juni (year to date). Hal ini tidak semata kinerja rupiah yang buruk, namun akibat perang dagang yang kian memanas antara amerika serikat dengan china, serta penanaman modal di US Treasury oleh investor asing, yang mengakibatkan arus modal keluar dari indonesia cukup besar. Implikasi ini tidak hanya dirasakan oleh indonesia saja, namun juga oleh negara-negara berkembang lainnya, turut serta china merasakan dampak serupa.

Dalam jangka pendek, pemerintah menjaga stabilitas nilai tukar, khususnya untuk melindungi perdagangan ekspor - impor dengan menggunakan instrumen hedging agar terjaga dari risiko keuangan. Instrumen hedging lebih difokuskan pada BUMN - BUMN yang melakukan ekspor - impor, dengan tetap menguatkan BUMN yang concern ekspor untuk mendapatkan tambahan cadangan devisa. Problemnya adalah, jika keadaan rupiah makin tak terkendali, sampai kapan instrumen hedging akan digunakan, karena akan menggerus cadangan devisa yang kian menipis.

Walaupun rupiah dianggap masih manageable, namun harus segera distabilkan, karena nilai tukar rupiah yang tidak begitu stabil akan berimplikasi pada ekonomi nasional secara umum, mulai dari naiknya suku bunga acuan yang bisa menghambat laju pertumbuhan ekonomi, sampai pada turunnya net interest margin (NIM) pada sektor perbankan yang akan menghambat laju pertumbuhan kredit.

Walaupun negeri ini telah berlakukan sistem floating, yakni membiarkan nilai tukar rupiah ditentukan oleh pasar dengan tetap mengawasi dengan langkah - langkah intervensi, namun harus tetap menjaga stabilitas nilai tukar dengan melakukan upaya preventif dan protektif. Soal nilai tukar rupiah tidak semata problem moneter, namun juga bagian dari problem fiskal, sehingga penyelesaiannya dilakukan secara integral, yakni dengan menjaga stabilitas kurs secara moneter, serta memberikan insentif terhadap sektor - sektor penambah devisa secara fiskal, dengan tetap menjaga fundamental ekonomi nasional.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline