Lihat ke Halaman Asli

Kebijakan Pencabutan Status Tanggap Darurat Bencana Gunung Agung, Untuk Siapa?

Diperbarui: 26 Desember 2017   15:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Google

Kebijakan publik menurut Thomas R. Dye adalah "apa yang dilakukan dan tidak ingin dilakukan oleh pemerintah".

Jumat malam 22/12/2017 Jokowi resmi mencabut status tanggap darurat bencana Gunung Agung. Meski demikian, pemerintah tetap akan mengurus dan menyediakan bantuan logistik untuk para pengungsi. Dicabutnya status tersebut  demi menggenjot kembali pariwisata Bali yang lesu karena adanya travel warning dari beberapa negara sehingga banyak wisatawan, khususnya wisatawan mancanegara, yang batal menghabiskan waktunya di pulau dewata tersebut.

Lesunya pariwisata Bali tentu berdampak bagi perekonomian yang bertumpu pada sektor tersebut (perhotelan, restaurant, dll). Selain itu turunnya jumlah wisatawan mancanegara tentu mempengaruhi pendapatan devisa negara. Kerugian dari dampak erupsi Gunung Agung terhadap pariwisata Bali dilansir dari detiktravel mencapai angka 9 Triliun. Para pengusaha pariwisata yang tergabung dalam Perhimpuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bali pun hingga menyurati presiden untuk dapat melobi negara-negara lain agar mencabut travel warningnya.

Namun disisi lain, pencabutan status tanggap darurat bencana Gunung Agung yang dilakukan pemerintah seakan memperlihatkan bagaimana wajah pemerintah dalam menentukan standing pointnya. Fungsi dari adanya status tanggap darurat bencana memang lebih bersifat administratif, salah satunya untuk dapat mencairkan dana Belanja Tidak Terduga (BTT) pada APBD.  Jika status tersebut dicabut, lalu bagaimana mekanisme pencairan dana BTT jika sewaktu-waktu Gunung Agung kembali erupsi? Jika dilihat dari aktivitas terakhir Gunung Agung memang tidak berdampak langsung pada Pulau Bali sehingga apa yang dijargonkan pemerintah yaitu "Bali Aman" memang benar. Bahkan sumber bencana sendiri berada pada Kabupaten Karangasem yang berjarak 71,9 km dari Pantai Kuta. Namun jika erupsi yang terjadi eksplosif, tentu akan berdampak pada Pulau Bali bahkan sampai pulau-pulau sekitarnya.

Kebijakan yang diambil pemerintah dengan alih-alih menyelamatkan pariwisata Bali malah dapat menambah citra buruk pemerintah sendiri. Bisa dibayangkan, dengan dicabutnya status ini (diharapkan) akan mendatangkan kembali wisatawan mancanegara untuk kembali menikmati indahnya Pulau Bali. Namun dengan tingginya aktivitas vulkanis Gunung Agung menyiratkan bahwa masih adanya potensi erupsi yang sewaktu-waktu dapat kembali mengganggu aktivitas pariwisata di Bali salah satunya dari sisi penerbangan. Jika hal tersebut terjadi, bukankah malah memperlihatkan bahwa pemerintah kita seakan- akan tidak mampu untuk menilai kondisi yang terjadi pada daerahnya sendiri dimata negara-negara lain? 

Memang pemerintah dihadapkan pada dua pilihan yang saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Satu sisi apakah pemerintah fokus pada tanggap bencana yang dapat mengakibatkan adanya statement "negatif" tentang kondisi Bali dan dapat menganggu wajah pariwisata Bali ? Atau pemerintah fokus untuk menggembalikan laju pariwisata di Bali demi mendapatkan devisa dan menyelamatkan para pengusaha (pada sektor pariwisata) dengan menunjukkan kepada dunia internasional bahwa Bali sedang baik-baik saja ? 

Pada akhirnya pemerintah memilih untuk mengembalikan stabilitas pariwisata di Bali dengan mencabut status tanggap darurat bencana, sehingga menimbulkan kesan bahwa "pariwisata pertama, tanggap bencana setelahnya".




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline