Dalam pengesahan UU Pilkada oleh DPR RI telah terjadi perampasan daulat rakyat oleh daulat DPR. Jadi ini tidak sesuai dengan pernyataan kedaulatan ditangan rakyat. UU Pilkada disusun dengan semangat daulat DPR, bukan lagi berdasarkan daulat rakyat.
Menjaga keutuhan negara ini tidak dapat dinilai dengan uang. Maka berapapun besarnya biaya Pilkada, itu adalah resiko menjadi bagian dari pencegahan konflik vertikal. Bila terjadi konflik horizontal dengan adanya Pilkada, itu bisa diatasi dengan cara-cara khusus. Misalnya dengan mengikut sertakan Komnasham membuat spanduk-spanduk yang sifatnya menyadarkan rakyat, agar tidak berkonflik karena Pilkada. Selama ini belum pernah saya dengar Komnasham diberi peran untuk ini.
Walaupun SBY sudah menandatangi Perppu tentang Pilkada yang membatalkan Undang-Undang Pilkada, belum berarti Undang-Undang Pilkada sudah tamat, sebab Perppu ini menjadi efektif harus persetujuan DPR. Bisa saja DPR menolak Perppu yang dibuat Presiden.
Maka nanti bila ada yang menguji materikan UU Pilkada ini ke MK, MK sebaiknya membatalkan UU Pilkada ini. Untuk menentukan Pilkada dipilih oleh DPRD atau tidak sebaiknya dilakukan referendum tentang pemilihan Pilkada, dengan 2 pilihan:
Pilihan Pertama Pilkada dipilih langsung oleh rakyat
Pilihan Kedua Pilkada diilih oleh DPRD
Bukan ditentukan oleh DPR RI. Kalau nanti rakyat memilih dilakukan oleh DPRD ya sudah sah, Pilkada melalui DPRD.
Kenyataanya anggota DPR itu tidak lagi menjadi wakil rakyat, tetapi sudah menjadi wakil Parpol. Maka apapun yang dilakukannya atas nama Parpol pengusungnya (daulat DPR/Parol), bukan atas nama rakyat (Daulat Rakyat), walau selalu didengung-dengungkan atas nama rakyat. Seolah-olah daulat rakyat, walau kenyataannya daulat DPR/Parpol.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H