Lihat ke Halaman Asli

Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) 2015: Apakabar Dokter Indonesia?

Diperbarui: 17 Juni 2015   18:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)  akan diberlakukan mulai per 1 Januari 2015.  Jadi tinggal menunggu hitungan minggu saja. Masyarakat Ekonomi Asean tidak hanya membuka  arus perdagangan barang atau jasa, tetapi juga pasar tenaga kerja profesional, seperti dokter, pengacara, akuntan, dan lainnya. Maka diperkirakan persaingan  bursa  tenaga kerja akan semakin KOMPETITIF DAN meningkat. Tenaga kerja yang dibutuhkan pada  Masyarakat Ekonomi ASEAN tenaga kerja yang  keahlian khusus

Pertanyaan yang muncul  bagaimana Dokter Indonesia  Apakah Sebagai Penonton Atau Pemain?

Tanpa adanya Masyarakat Ekonomi ASEAN pun dikabarkan, diperkirakan sekitar 1,2 juta warga Indonesia berobat ke luar negeri. Mereka berobat ke Singapura, China, Australia dan Amerika Serikat.  Pengeluarannya setara dengan hampir Rp 12 triliun per tahun, kata  Mochtar Riady  saat peresmian Rumah Sakit Khusus Kanker Siloam, pada tahun 2011 yang lalu. Suatu nilai uang yang cukup besar.

Di Medan saja, ada warga Medan, bersin saja dia memeriksakan diri  ke Penang (Malaysia). Ini pertanda produk Fakultas Kedokteran di Indonesia (Sumatera Utara) kalah bersaing dengan Malaysia, walau dokter yang bekerja di Malaysia banyak juga tamatan Indonesia.

Beberapa kasus yang mendorong  pasien dari Sumatera Utara (Medan) berobat ke  Penang (Malaysia) adalah kasus salah diagnosa terhadap penyakit pasien oleh dokter di Medan. Diagnosa dokter d Medan, dikatakan kanker usus, dibawa ke Penang (Malaysia) diberi obat murahan, sembuh. Demikian juga dengan kasus penyakit mata, berobat ke rumah sakit terkenal di Medan, bukan malah sembuh, tetapi malah pandangan menjadi kabur, dibawa ke Penang, diberikan obat tetes tertentu, menjadi sembuh. Kemudian pelayanan di RS di Malaysia dinilai lebih ramah daripada RS di Medan.

Maka kalau dokter asing seperti dari Malaysia berpraktek di Indonesia sebagai bagian dari Masyarakat Ekonomi Asean, dengan sistem yang diterapkan di negaranya, apakah orang Indonesia tidak berbondong-bondong berobat ke mereka? Mereka berpraktek di negaranya saja banyak orang Indonesia berobat ke sana. Apalagi kalau berpraktek di Medan.

Pertanyaan kemuduan , kalau demikian adanya apakah para dokter Indonesia  menjadi penonton atau akan menjadi pekerja bagi RS Asing tersebut?.

Serapan Tenaga Kerja Tamatan Fakultas Kedokteran Dibanding dengan Bila   Kesenian (Kebudayaan) Etnik Dibina

Kalau dilihat dari segi gedung, gedung Fakultas Kedokteraan di Indonesia dibangun dengan megah, kalah jauh misalnya dengan gedung Fakultas Ilmu Budaya,  atau  fakultas lainnya. Pemerintah sepertinya mengutamakan pembangunan seperti ini, sementara pembinaan terhadap kebudayaan/kesenian  etnik tidak jelas.

Padahal kalau dilihat dari jumlah tenaga kerja yang diserapnya, antara tamatan Fakultas Kedoketan dengan bila dibina  kebudayaan etnik, kebudayaan etnik jauh lebih banyak menyerap dan menyediakan lapangan kerja.

Sebagai contoh seorang tamatan Fakultas Kedokteran bila tamat hanya  menyerap 2 tenaga kerja yaitu 1 perawat  dan 1 tenaga administrasi, namun kalau dibina kebudayaan dan kesenian daerah, bisa menyerap 5 tenaga kerja lebih.

Kemudian kebudayaan etnis bisa dijual kepada orang asing. Artinya orang asing banyak yang berminat mempelajari kebudayaan etnis khususnya yang ada di Indonesia. Ini sebenarnya aset yang layak untuk “dijual” juga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline