[caption caption="Ilustrasi Foto Detik.com"][/caption]
Sunny Tanuwidjaja. Nama tersebut beberapa pekan ini amat beken di media: elektronik, cetak, daring. Bahkan juga menjadi viral di media sosial. Sorotan media akhir-akhir ini mengalahkan nama kesohor La Nyalla yang buron. Sunny mendadak terkenal.
Bekennya Sunny sebab terbongkarnya kasus dugaan korupsi Reklamasi Teluk Jakarta yang melibatkan Ketua Komisi D DPRD Jakarta M Sanusi dan cukong-cukong Podomoro Group beserta beberapa orang karyawannya (lihat tulisan Kompasiana “Operasi Sunyi Sunny” 12 April 2016 ).
Sunny amat hebat. Mendorong banyak orang untuk membicarakan, menganalisa kepiawaiannya, menyimpulkan dan sebagainya. Pada tulisan sebelumnya “Operasi Sunyi Sunny” di Kompasiana telah dibahas (sedikit dan tak mendalam) mengenai kasus dan sosok Sunny. Kini, saya hanya ingin melanjutkan sedikit. Tanpa bermaksud sok tahu.
Sebelum mencuatnya kasus dugaan korupsi Reklamasi Teluk Jakarta, hampir tak ada yang mengenal Sunny. Kecuali memang “orang-orang khusus” yang bergerak di lingkaran politik dan bisnis. Sebagai seorang peneliti politik di CSIS maupun Populi Center, ia tak terkenal dibandingkan pengamat politik lain, sebut saja Hasan Nasbi, Burhanuddin Muhtadi, Hanta Yudha, Yunarto Widjaja dan lainnya. Sunny dalam keheningan.
Namun tak disangka, mencuatnya kasus dugaan korupsi Reklamasi Teluk Jakarta mengangkat nama dan membongkar juga kemahiran Sunny. Dirinya boleh kalah pamor dari pengamat-pengamat politik itu. Tetapi: Sunny orang terpercaya bagi bohir-bohir kelas kakap. Sunny (dari pengakuan pengacara tersangka M Sanusi) seorang penghubung.
Sunny pun mengakui bila memang mengatur (menggunakan bahasa lebih halus) pertemuan antara Sanusi sebagai bagian yang ikut menentukan kebijakan pelaksanaan Reklamasi Teluk Jakarta dan kelompok konglomerat Podomoro Group selaku calon pelaksana kerja reklamasi.
Menjadi catatan pertama: Sunny mampu menghubungkan, mengomunikasikan, antara elit politik dan konglomerat kelas kakap? Untuk seorang yang memiliki catatan karier ilmuwan politik, Sunny mampu mempertemukan tokoh-tokoh itu? Luar biasa Sunny!
Secara berpikir logika sederhana, tak mudah memberikan kepercayaan bagi seseorang untuk pertemuan tingkat tinggi (yang beraroma korupsi) bila Sunny belum amat dikenal sebelumnya. Paling mudahnya, bila Sunny bukan sebagai bagian kelompok elit politik atau sebaliknya, bukan “orang kepercayaan” konglomerat, tak akan diberikan tanggung jawab mengatur pertemuan.
Tak mungkin –secara logika- Sanusi memberikan kepercayaan kepada staf pegawai negeri kelas ‘ecek-ecek’ di DPRD Jakarta untuk berkomunikasi dengan konglomerat mengenai “hal khusus”. Dan tak gampang pula kelompok pengusaha yakin dengan utusan politisi yang dinilainya tak meyakinkan atau belum dikenal.
Sunny memang melanjutkan pengakuan bila Sanusi sebelumnya telah mengenal pula kalangan cukong kelas ikan paus. Bahkan, kata Sunny, sebelum ia terlibat dalam lingkaran birokrasi elit Jakarta. “Apalagi Sanusi sebelum jadi anggota DPRD Jakarta juga pengusaha, ia sudah kenal dengan orang-orang Podomoro,” ujar Sunny kepada awak media saat berkunjung ke Balai Kota Jakarta, Senin (11/4/2016).