Lihat ke Halaman Asli

Mengenal Petani Kopi Desa Sungai Tebal

Diperbarui: 20 Maret 2018   12:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto Arsip

Lembah Masurai, Jambi, Para Marhaen Sejati Anak Tiri Republik

Berjalan kaki selama 5 jam sambil memikul beban 40 kg sampai 80-an kg adalah hal biasa bagi para petani kopi di lembah Masurai, desa Sungai Tebal, Kabupaten Masurai Jambi seperti yang terlihat dalam gambar dibawah ini,

Mereka terpaksa berjalan sejauh itu, naik turun bukit karena tak ada akses jalan dari lokasi kebun mereka ke desa terdekat, desa Masurai, sebuah desa yang terdapat sekitar 500 kios warung yg menjual aneka kebutuhan hidup, pangan-sandang dan kebutuhan lainnya. 500 kios warung di desa Sungai Tebal tsb hidup dari menjual aneka kebutuhan hidup bagi puluhan ribu petani kopi kecil di sepanjang lembah Masurai tsb. Menurut bung Dani Abdi Marhaen, inilah desa yang terbanyak memiliki kios warung di seluruh indonesia. 

Foto Arsip

Foto Arsip

Masih menurut kawan yang telah bertahun2 mengabdikan hidupnya bagi perjuangan kaum marhaen, petani kecil ini, kawasan tersebut dahulunya adalah tanah negara yg dikelola oleh keluarga Cendana, sejak Reformasi bergulir, perusahaan keluarga Cendana tsb pun hengkang dari situ, kemudian datanglah rakyat dari berbagai daerah, seperti dari Pagar Alam (Sumsel), Lampung, Serang, Banten, Solo, Jawa Tengah, Jawa Timur, dstnya...mereka yg datang tsb adalah rakyat petani yg di daerah asalnya tidak memiliki tanah untuk digarap. Kini di sepanjang Lembah Masurai tsb sudah ada puluhan ribu petani kopi. 

Kedatangan mereka telah mengubah daerah tsb menjadi sentra perekonomian kopi yang terbesar di Provinsi Jambi saat ini. Mereka bercocok tanam tanpa bantuan pemerintah sama sekali, mereka menerapkan hidup bergotong royong, menggarap ladang secara bergotong royong, membangun rumah secara bergotong royong, satu budaya yg sudah semakin langka dinegri ini. 

Setiap hari terlihat mereka berjalan kaki dari kebunnya menuju desa Sungai Tebal sambil memanggul 40-80 kg kopi kering, yang kemudian akan dijual di desa tsb, hasil penjualan kopi tsb akan mereka belanjakan kebutuhan pangan-sandang dan lainnya yg akan mereka panggul kembali dg berjalan kaki sejauh kurang lebih 5 jam (tergantung lokasi kebunnya, bahkan ada yg berjalan kaki selama 7 jam), naik-turun bukit, menyeberangi sungai, demikianlah perjuangan para petani kopi kecil, marhaen2 sejati di sepanjang lembah Masurai itu setiap harinya, siang-malam hingga detik ini. 

Foto Arsip

Foto Arsip

Namun demikian, hingga hari ini puluhan ribu petani kopi tsb masih mendapatkan perlakuan yg diskriminatif dari Pemda setempat. Mereka dipersulit untuk mendapatkan KTP dan KK (Kartu Keluarga), padahal mereka telah membawa surat keterangan pindah dari daerah asalnya, sehingga mereka ibarat anak tiri di negri ini. Bukan itu saja, bahkan sudah sering terjadi pembakaran rumah dan perusakan kebun kopi mereka oleh aparat setempat. Kemarin saat saya beranjak meninggalkan desa Sungai Tebal dg menaiki sebuah mobil travel, di tengah jalan seorang penumpang yg merupakan petani kopi di lembah Masurai tsb bercerita bahwa saat ini santer beredar info bahwa bulan Mei nanti kembali akan diadakan pembakaran rumah dan perusakan tanaman (pengusiran) warga petani dari tanah yg sudah puluhan tahun dikerjakannya tsb.

Masih menurut bung Dani Abdi Marhaen, kawan Mat Abdul Haji serta Muhammad Zen, kejadian seperti itu akan terus berulang selama tidak ada kebijakan dari para pemimpin yang paham tentang pentingnya dunia pertanian, marhaenisme, ketahanan dan kedaulatan pangan, nasionalisme dan negara agraris. Sekedar info, data menyebutkan bahwa di Pilpres 2014 kemarin, puluhan ribu petani disini (yg telah memiliki hak pilih) telah memenangkan Presiden Joko Widodo nyaris 100 %.

Sengketa lahan antara rakyat petani dg konglomerat (yg menguasai ratusan ribu ha tanah negara) maupun dg penguasa2 di daerah2 adalah hal yg sudah sering terjadi di negri ini. Selama ini kekuasaan selalu berpihak pada segelintir cukong (pemodal) dg memberikan ratusan, ribuan hingga ratusan ribu ha tanah negara sambil berteriak2 tentang pentingnya memperjuangkan nasib petani, berteriak2 tentang negara agraris, ketahanan dan kedaulatan pangan namun disisi lainnya, fakta menunjukan bahwa para petani di negri ini teramat banyak yg tak memiliki lahan, atau kalaupun punya lahan, hanya sepetak sawah atau kebun saja. Bagaimana mungkin negara yg katanya agraris ini bisa menjadi raksasa ekonomi dlm bidang pangan dan pertanian jika para petaninya kekurangan lahan..?? Sungguh omong kosong yg sangat memuakan..!! link foto2 perlawanan rakyat vs aparat di sini dan ini.

Foto Arsip

Foto Arsip

Maka demikian pula yg terjadi dg para petani di sepanjang Lembah Masurai-Jambi ini, walaupun mereka telah membuktikan kegigihannya, menjadikan satu kawasan perekonomian baru dimana terjadi aktivitas ekonomi, perputaran uang ratusan milyar rupiah per tahunnya disini, namun selama pejabat publiknya tidak pro rakyat maka pembakaran rumah rakyat, intimidasi, perusakan lahan, hingga penangkapan para petani kopi kecil ini akan terus terjadi. 

Maka mau tidak mau dibutuhkan kekuatan komunitas2 relawan, volunteer, kaum aktivis petani untuk mendobrak situasi ini hingga ke pusat kekuasaan, Jakarta. Apalagi saat ini di satu lokasi yg berjarak 5 jam jalan kaki dari desa sungai tebal sedang digotongroyongkan pembangunan sekolah bagi ribuan anak2 petani yg terancam putus sekolah (bagaimana mungkin mereka mendapatkan hak pendidikan jika harus berjalan kaki sejauh 3-7 jam..??) 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline