Lihat ke Halaman Asli

Meninggikan Derajat Pengemis: Mimpi Saja Dulu

Diperbarui: 26 Juni 2015   15:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini adalah tulisan saya yang kelima dalam kaitannya dengan karakter bangsa Indonesia. Dalam tulisan saya terdahulu, saya berpendapat bahwa karakter bangsa Indonesia yang sejati adalah pejuang, ikhlas, dan pemenang. Tetapi ketamakan penguasa di pemerintahan telah mengubah sebagian anak bangsa ini menjadi bermental pengemis, materialistis-koruptif, dan pecundang. Dalam tulisan ini saya ingin membahas yang pertama dulu, yaitu tentang pengemis.

Di negeri ini banyak sekali pengemis, tetapi kita tidak akan menemukannya di dalam area Bandara, Mall, Kantor Lembaga Pemerintahan, atau Pemukiman Mewah. Kita akan dengan mudah menjumpai pengemis di lampu merah yang ramai, pasar tradisional, atau area pemukiman yang dekat dengan jalan besar. Mengapa demikian? Karena pada area yang pertama ada satpamnya dan yang kedua tidak ada satpamnya.

Saya tahu para pengemis itu adalah orang yang secara ekonomi memang miskin dan berhak mendapatkan bantuan. Akan tetapi, saya juga berpikir bahwa kemiskinan mereka itu adalah akibat dari mentalitas mereka dan karenanya cara membantu mereka yang terbaik adalah dengan mendidik mereka untuk keluar dari mentalitas hina itu. Terus terang, pengemis yang paling membuat saya sebal adalah pengemis di sekitar masjid, terutama pengemis laki-laki pada saat sedang berlangsungnya sholat jumat dan hari raya idul fitri. Kenapa demikian? Karena mereka minta kita mengasihani mereka, padahal saat orang-orang sholat jumat mereka malah tidak sholat dan bahkan kadang-kadang sambil menunggu yang sedang sholat mereka malah merokok. Dalam kaitannya dengan idul fitri, hukum yang berlaku adalah setiap orang miskin yang muslim wajib diberikan bagian dari zakat fitrah oleh amil setiap menjelang idul fitri. Tujuan dari hukum itu adalah agar setiap muslim bisa bergembira di hari idul fitri, karena tidak lapar. Tetapi kenyataannya, setiap idul fitri walaupun sudah mendapat bagian dari zakat fitrah, tetap saja pengemis antre di masjid-masjid meminta-minta. Bagi saya, apa yang mereka lakukan itu sudah melampaui batas dan karenanya mereka memperoleh kehinaan. Oleh karena itu, untuk mengembalikan kemuliaan mereka lagi sebagai manusia, maka mereka harus diajak, dididik, dan didorong untuk hijrah dari hidup yang hina ke hidup yang mulia. Maaf, saya tidak menggunakan kata yang lebih halus, karena bagi saya mengemis adalah perbuatan yang hina dan memberikan sedekah atau sumbangan secara ikhlas adalah perbuatan yang mulia. Dan berhutang dengan niat akan dibayar setelah mampu jauh lebih baik daripada mengemis.

Mari kembali ke kaitan antara pengemis dan satpam.

Satpam adalah aparat penegak hukum. Hukum yang ditegakkannya adalah aturan yang dibuat oleh bosnya yang menjadi pemilik dari properti yang dijaga satpam tersebut, yang umumnya melarang pengemis masuk ke dalam propertinya. Sebagai makhluk yang rasional, satpam itu sudah berhitung bahwa jika dia tidak menegakkan hukum misalnya dengan membiarkan pengemis masuk, maka pekerjaannya bisa hilang. Semakin besar probabilitas dia dipecat oleh bosnya karena membiarkan pengemis masuk, maka akan semakin agresif dia dalam menegakkan hukum; dan demikian pula sebaliknya. Pengemis juga makhluk yang rasional dan membuat perhitungan-perhitungan. Pada area yang ada satpamnya, kemungkinan besar pengemis akan diusir jika masuk ke area itu dan jika pengemis nekat melawan maka kemungkinan yang kalah adalah si pengemis. Oleh karena itu, wajarlah jika pengemis cenderung menghindari area yang bersatpam.

Jika saja sistem hukum yang diterapkan dalam area privat bersatpam itu diterapkan pula dalam area publik, maka jumlah pengemis pasti sangat sedikit. Hukum yang melarang orang mengemis ada kok dan perbuatan itu kategorinya tindak pidana malah. Orang yang bekerja sebagai penegak hukum juga ada kok, yaitu Polisi dan Satpol PP. Dan bos dari Polisi dan Satpol PP juga jelas, yaitu Polri dan Pemda. Jika keduanya dibandingkan, mengapa sub-sub sistemnya sama, tetapi hasil akhirnya berbeda? Jawabnya mudah. Karena pada area privat hukum ditegakkan dengan baik, sedangkan pada area publik hukum tidak ditegakkan dengan baik.

Sebagian anda mungkin tidak setuju dengan aturan yang menetapkan mengemis sebagai tindak pidana dan mungkin sebagian dari anda juga menolak penegakan hukum terhadap pengemis karena berpendapat bahwa pengemis harusnya dibantu dan bukannya ditindak. Dalam hal tersebut, saya berbeda pendapat dengan anda.

Saya pikir, demi kemaslahatan bersama, maka pengemis harus ditindak dan sekaligus dibantu. Penindakan yang sangat keras harus dilakukan terhadap orang-orang yang menjadikan pengemis sebagai mesin uangnya dan pengemis bekerja untuk orang itu (saya sebut saja makhluk itu ‘Bos Pengemis’). Sedangkan, untuk “Buruh Pengemis’ harus dibantu agar kembali punya kebebasan, harga diri, keberanian, dan kemandirian.

Ada 2 (dua) tipe ‘Bos Pengemis’, yaitu Bos Pengemis Kelas Paus dan Bos Pengemis Kelas Teri. ‘Bos Pengemis Kelas Paus’ adalah orang-orang yang bisnisnya adalah merekrut orang-orang miskin dari kampung, mendandani mereka dengan pakaian lusuh, mengajari mereka teknik membuat raut muka yang amat memelas, mendrop dan menjemput mereka di jalan-jalan tertentu dan pada jam-jam tertentu, mengatur jarak berdiri untuk setiap orang di pinggir jalan, menetapkan target setoran, memukuli atau menyiksa mereka jika setoran kurang, menyuap Polisi atau Satpol PP untuk menebus mereka saat terkena razia, dan berkolusi dengan para preman untuk mengamankan area operasinya. Itulah manusia-manusia hina yang harus berada dalam penjara untuk waktu yang lama dan kalau perlu seumur hidup mereka. Sedangkan, Bos Pengemis Kelas Teri adalah orang yang menerima setoran dari beberapa orang Buruh Pengemis, tetapi dia sendiri harus menyetor kepada Bos Pengemis Kelas Paus. Orang-orang seperti ini tidak kalah hinanya, apalagi mereka yang secara sadar mendidik dan memaksa anak-anaknya menjadi pengemis.

Para ‘Buruh Pengemis’ adalah orang-orang yang saya yakin secara ekonomi memang miskin, tetapi belum tentu mereka mengemis karena keinginan sendiri. Bisa jadi mereka mengemis karena terpaksa, yaitu karena diwajibkan oleh Bos Pengemis untuk melunasi hutangnya kepada Bos Pengemis. Tetapi mungkin saja memang ada orang yang menjadi ‘Buruh Pengemis’ dengan sengaja. Mereka membuat perjanjian dengan ‘Bos Pengemis’ untuk mendapat wilayah operasi dan perlindungan keamanan dalam bekerja. Selain ‘Buruh Pengemis’, ada pula tipe pengemis yang lain yaitu ‘Freelance Pengemis’. Mereka biasanya pengemis pemula yang belum punya bos. Nantinya setelah mereka lelah diusir dan diintimidasi di jalanan, biasanya mereka akan mencari ‘ketenangan’ dengan bekerja untuk ‘Bos Pengemis’ tertentu.

Singkatnya, kehidupan para pengemis punya struktur sosial sendiri dan keanggotaan dalam struktur tersebut terus menerus melakukan regenerasi. Seorang ‘Freelance Pengemis’ dalam beberapa waktu biasanya akan menjadi ‘Buruh Pengemis’. Seorang ‘Buruh Pengemis’ setelah beberapa waktu biasanya akan menjadi ‘Bos Pengemis Kelas Teri’; sekurang-kurangnya mereka menjadi bos untuk anak-anak mereka. Seorang ‘Bos Pengemis Kelas Teri’ yang anak-anaknya atau sekutunya sudah besar, kuat, dan beringas biasanya kelak akan menjadi ‘Bos Pengemis Kelas Paus’.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline