Lihat ke Halaman Asli

Bpbh.fhunej

Biro Pelayanan Bantuan Hukum

Forum Group Discussion BPBH 2023:Tantangan Pemberian Bantuan Hukum dalam Perspektif HAM

Diperbarui: 13 November 2023   13:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Dalam pertemuan Focus Group Discussion (FGD) yang diadakan pada hari Jumat, 3 November 2023 di Ruang BPBH FH UNEJ. FGD dihadiri oleh anggota magang BPBH FH UNEJ sebanyak 10 peserta dengan salah satu menjadi pemantik, dan didampingi oleh satu dosen. Pertemuan ini mengangkat sebuah tema “Tantangan Pemberian Bantuan Hukum Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia”. Dimana terdapat satu kasus yang menjadi fokus pembahasan yakni Kasus Pelecehan Seksual yang terjadi di Kota Madiun.

Sebagai pemantik pada pertemuan ini memaparkan kasus posisi sebagai berikut : Kasus pemerkosaan adalah kasus yang sangat serius karena melanggar Hak Asasi Manusia sebagai bentuk pelanggaran hukum. Kasus pemerkosaan yang terjadi pada anak menjadi hal yang begitu besar untuk segara diselesaikan, karena hal tersebut memberikan dampak serius pada psikologis korban. Sebagai salah satu contoh kasus pemerkosaan yang dibahas pada pertemuan kali ini adalah kasus pemerkosaan terhadap seorang gadis di Madiun yang melibatkan ayah, paman, dan kakeknya. Keberadaan pelaku yang seharusnya memberikan perlindungan dan dukungan kepada anak menunjukkan betapa mengkhawatirkannya kasus ini. Kasus ini mencerminkan pelanggaran HAM khususnya pada poin hak anak untuk hidup tanpa kekerasan, pelecehan, atau pemerkosaan. Penting bagi pihak berwajib untuk menyelidiki dan mengadili kasus ini dengan serius guna menegakkan hukum dan mencegah tindakan serupa di masa depan. Pihak berwajib dan organisasi hak asasi manusia memiliki peran penting dalam menangani kasus semacam ini, untuk memastikan korban mendapatkan perlindungan hukum dan dukungan yang mereka butuhkan. Kasus seperti ini juga menekankan perlunya sistem hukum yang berfungsi dengan baik dan dukungan yang kuat bagi korban kekerasan seksual, terutama anak-anak.

Selanjutnya berbagai opini pun bermunculan dalam sesi diskusi . 

  • Baihaqi memberikan tanggapan bahwa “aparat penegak hukum kurang mampu dalam menangani permasalahan, dimana korban yang mengadukan kejadian pemerkosaan yang dialaminya ditolak oleh pihak kepolisian terdekat dengan alasan bahwa korban tidak memenuhi persyaratan terkait identitas data dirinya. Hal tersebut menjadi bukti bahwa produk hukum di Indonesia dinilai cacat hukum dari segi pelaksanaannya. Dimana keadilan hanya berpihak pada masyarakat golongan atas akibat dari oknum penegak hukum yang memiliki sifat keberpihakan atau mengesampingkan asas keadilan hukum.Pos bantuan hukum harus memberikan pelayanan prima pada masyarakat yang menyampaikan aduan permasalahannya. Pihak dari bantuan hukum harus menampung seluruh aduan yang disampaikan, di sinilah keberadaan bantuan hukum memberikan peran yang besar sebagai alternarif penyelesaian permasalahan hukum yang dihadapi, khususnya bagi anak-anak” 
  • Diva memberikan sanggahan “Terhadap kepercayaan klien kepada pihak lembaga bantuan hukum, kembali kepada subjek masing-masing klien. Tidak sedikit klien, masih menutup-nutupi kasus yang dihadapi. Untuk itu diperlukan trik dengan maksud mendorong klien mampu lebih terbuka dalam menyampaikan kasusnya.” Sesuai dengan sanggahan dari Diva, terdapat saran bahwa organisasi bantuan hukum harus memiliki trik untuk mencapai pelayanan yang ternilai prima.
  •  “Sebagai bentuk solusi dari adanya pelecehan yang marak terjadi pada anak-anak, maka diperlukan sosialisasi di sekolah-sekolah yang dilakukan oleh lembaga bantuan hukum bersama dengan guru dari pihak sekolah tersebut. Untuk itu diharapkan pihak guru terlebih dahulu dapat memahami akan materi yang disampaikan kepada siswa-siswi mengenai pentingnya menghindari pelecehan seksual yang sedang marak terjadi.” Tambahan saran yang diusulkan oleh  Zidan
  • Desia memberikan tanggapan yang berlawanan atas solusi yang disarankan oleh rekan Zidan, dimana “Tidak sepenuhnya metode penyuluhan dapat menjadi jalan keluar atas permasalahan seksual yang marak terjadi di masyarakat, khususnya pada lingkungan sekolah. Siswa-siswi sebagai peserta penyuluhan belum tentu mampu menerapkan materi penyuluhan dengan baik, namun mereka hanya sekedar mengetahui saja tanpa adanya pengaplikasian dalam kehidupan sehari-hari.”
  • Syahna memberikan sanggahan atas tanggapan Desia “Untuk itu diharapkan pihak guru terlebih dahulu dapat memahami akan materi yang disampaikan kepada siswa-siswi mengenai pentingnya menghindari pelecehan seksual yang sedang marak terjadi. Kesadaran pada diri korban menjadi penting dalam terwujudnya pemenuhan hak asasi manusia terkait kasus pelecehan pada anak-anak. Sehingga hal ini juga berhubungan erat terhadap sosialisasi yang diberikan kepada korban, tentang bagaimana pihak sosialisasi dapat memupuk kepercayaan kepada klien.”
  • “Sebagai mahasiswa hukum, menjadi penting untuk mencantumkan regulasi hukum terkait kasus pelecehan atau pemerkosaan, dengan membeberkan pasal-pasal yang ada di dalamnya sebagai cara dasar memberikan peringatan mengenai akibat hukum yang akan diterima oleh pelaku kejahatan.” Tambah dari rekan Nabila.
  • Kasus pelanggaran hak asasi manusia yang dapat terjadi di lingkungan sekolah tidak hanya mengenai pelecehan seksual saja, namun kasus bullying juga menjadi suatu hal krusial yang perlu dihadapi. “Tidak hanya mengenai pelecehan seksual saja, namun kasus bullying juga merupakan salah satu hal yang dapat mencederai Hak Asasi Manusia bagi anak-anak di lingkup sekolah yang menjadi salah satu hal untuk diatasi oleh lembaga bantuan hukum.” Tambah dari  Lintang.
  • Bagaimana solusinya jika orang yang berpotensi menjadi pelaku kejahatan pelecehan seksual atau pemerkosaan justru merupakan guru (atau mungkin kyai), yang seharusnya menjadi garda terdepan pemberantasan kasus ini? “Untuk meminimalisir hal tersebut, juga diperlukan kesadaran bagi siswa-siswi mengenai pemahaman terkait penggolongan tindakan yang termasuk dalam pelecehan seksual. Pada akhir-akhir ini, sering terjadi pelecehan seksual dan pemerkosaan yang terjadi di pondok pesantren. Dimana kyai menjadi pelaku kejahatan seksual pada santrinya. Sebagai solusi, masih sama pada diskusi sebelumnya yang diterapkan pada sekolah umum. Pembedanya hanyalah jika dalam pondok pesantren lebih memiliki perspektif yang kuat terhadap keagamaan. Namun dalam hal ini, tugas lembaga bantuan hukum hanyalah memberikan sudut pandang hukum. Mengenai keagamaan kembali lagi pada masing-masing pribadi.” Ucap  Zara
  • Menurut pandangan dari  Anna, media massa memiliki peran krusial dalam mengedukasi masyarakat tentang isu-isu perlindungan anak dan pemerkosaan. “Penting untuk memperkuat peran media sosial dan media massa dalam menyuarakan isu-isu perlindungan anak dan pemerkosaan, karena kampanye publik melalui platform ini dapat meningkatkan kesadaran masyarakat tentang masalah ini.”

Sebagai penutup dari sesi diskusi, dosen pendamping BPBH FH UNEJ Bapak Andika Putra Eskanugraha, S.H., M.Kn  memberikan sebuah saran bahwa “Sebagai solusi untuk pelaksanaan sosialisasi di sekolah-sekolah, maka dapat dilakukan kerja sama antara sekolah dengan BPBH, dengan cara meninggalkan banner pada sekolah yang dituju dengan mencantumkan contact person dari perwakilan BPBH. Hal tersebut merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk memberikan kemudahan akses pada siswa-siswi dalam pelaporan kasus yang terjadi, jika pelaku kejahatan pelecehan seksual merupakan oknum dari guru/kyai di lingkungan sekolah/pesantren tersebut.”

Notulensi kegiatan : Adinda Syahna, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jember

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline