Lihat ke Halaman Asli

Sketsa #35 Sensasi Membuka Amplop dan Menunggang Sepeda

Diperbarui: 26 Juni 2015   13:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Di akhir acara penerimaan kami sebagai murid baru, seluruh yang hadir menyanyikan lagu Indonesia Raya. Orkestra kebanggaan SMB mengiringi lantunan lagu kebangsaan itu dengan dahsyat. Di panggung telah dikibarkan sebelumnya bendera merah putih pada tiang tinggi-tinggi. Sang Saka berkibar-kibar dihembus angin kencang sebuah kipas angin besar yang memang sengaja diarahkan untuk itu. Selembar pusaka merah putih itu melambai-lambai gagah perkasa. Kami berdiri tegap, menyanyi dengan lantang. Seluruh jajaran guru di depan menyanyi dengan penuh semangat. Suara terompet dan trombon berpadu-padan menghentak-hentak udara di aula besar. Biola-biola digesek tangan-tangan para senior dengan gerakan serempak dan arah yang seragam. Sang konduktor menari-nari memandu irama. Hati kami bergelora, mendentumkan semangat berkobar-kobar sekaligus keharuan, betapa kami menyayangimu Indonesia. Hiduplah Indonesia Raya.... Lalu ruangan bergemuruh oleh tepuk tangan dan sorak-sorai. Hati kami bergemuruh seperti mau berjuang mengusir penjajah.

Kami lalu diminta keluar aula besar dengan rapi dan tertib, berbaris dua-dua. Ini adalah formasi moving class nomor dua. Di kiri kanan pintu telah berdiri para senior anggota panitia penerimaan murid baru. Mereka tampak gagah dengan seragam batiknya. Senior-senior wanita tampak anggun. Ketika melewatinya, mereka memberikan sebuah amplop pada kami masing-masing. Murid baru laki-laki menerima amplop biru, yang perempuan mendapat amlplop warna merah jambu. Di pelataran aula besar, kami segera beradu balap membuka amplop. Kubuka juga amplopku. Ternyata membuka amplop memiliki sensasinya sendiri, bukan hanya tergantung warnanya, tetapi dari siapa amplop itu diberikan. Seumur-umur rasanya baru sekali ini aku merasakan sensasinya membuka amplop. Hatiku deg-degan. Berharap-harap cemas tetapi tak jelas tentang apanya. Amplop itu segera kusobek bukan kubuka.

Amplop itu berisi dua helai kertas kecil. Yang satu bertuliskan: Sepeda Inventaris Anda No. 27, Jaga dan rawatlah baik-baik. Yang satu lagi bertuliskan: Segera jumpai sepeda Anda lalu bergabunglah dengan yang lain dalam Kelompok D. Rupanya warna amplop dibedakan menurut gender bukan karena soal diskriminasi, tetapi lebih pada keinginan memberikan jenis sepeda yang pantas kami naiki, sepeda pria atau sepeda wanita.

Di samping aula besar telah disiapkan ratusan sepeda ontel beragam merek dan tipenya. Beberapa senior anggota panitia penerimaan murid baru berdiri di pintu parkiran sepeda. Kami berbondong-bondong mengerumuninya tetapi tetap dalam formasi moving class nomor dua, berbaris dua-dua dan mengantre, mirip suasana antre orang-orang berbudaya, rapi dan sangat tertib. Giliranku tiba di depan meja panitia pembagian sepeda inventaris. Kuserahkan kartuku dan sebagai gantinya aku menulis namaku lalu membubuhkan paraf. Seorang senior berteriak menyebut nomor sepedaku, dua puluh tujuh! Seorang senior lain yang berada di rimbunan sepeda melambaikan tangan ke arahku. Aku berlari ke arah sana. Kujumpai kereta anginku, sepeda onthel nomor dua puluh tujuh.

Kutuntun kuda besiku itu keluar dari istalnya lalu langsung kunaiki pada punggungnya, bukan pada sadelnya yang bertipe fonger lengkap dengan per gelungnya yang istimewa. Maklum tinggi tubuhku waktu itu belum maksimal. Sensasi per gelung sadel fongerku belum bisa kunikmati saat itu. Warna sepedaku hitam legam. Langsung kunamai sepedaku “Gagak Rimang” persis nama kuda jantan kesayangan Arya Penangsang. Di kejauhan tampak seorang senior mengacung-acungkan papan nama bertuliskan hurud “D” besar-besar. Tak salah lagi, aku harus mengayuh sepedaku ke arah sana, kelompok “D” itu. Sementara itu kulihat Darmo mengayuh sepedanya mendekati kelompok “AB”. Wajahnya girang bukan buatan. Sepeda adalah barang mewah baginya. Dipinjami sepeda untuk tiga tahun ke depan adalah sebuah keajaiban dalam hidupnya.

Kulihat ke arah lain, belasan murid baru hanya bisa menuntun sepedanya. Bukan karena ban sepeda mereka kempes. Mereka memang belum bisa naik sepeda! Ya, ampun baru kutahu, banyak orang miskin seperti kami tak sempat belajar naik sepeda. Wajah mereka meringis malu-malu. Beberapa senior menggiring mereka ke sebuah lapangan rumput yang cukup luas. Siang itu juga mereka harus latihan naik sepeda. Lapangan rumput mendadak menjadi velodrome penuh gelak tawa. Mereka tumbang, berjatuhan berkali-kali. Kami semua menyemangati mereka agar bangkit berdiri dan kembali menaklukkan kuda besi mereka. Satu per satu kereta angin mereka tertaklukkan. Kami kembali bersorak-sorai. Anggota orkestra pemegang terompet meniupkan terompet kemenangan. Belasan murid yang baru saja bisa naik sepeda itu mengayuhnya membentuk barisan panjang berurutan. Mereka mengelilingi lapangan rumput beberapa kali. Mereka tersenyum girang, walaupun bermandi keringat dengan lutut yang tergores-gores.

Semua murid sudah tergabung dalam kelompoknya masing-masing. Dalam berpuluh-puluh kelompok, kami sudah siap dipandu senior kelompok masing-masing. Baru kusadari warna amplop bukan hanya mencirikan jenis sepeda pria atau wanita. Setiap kelompok hanya berisi murid laki-laki saja atau perempuan saja. Senior yang memimpin kelompok perempuan juga perempuan. Dengan mengayuh sepeda, siang itu kami dipandu menuju tempat tinggal kami masing-masing untuk tiga tahun ke depan. Di dalam area sekolah kami tak ada asrama. Semua siswa SMB tinggal di kamar-kamar yang dikelola oleh penduduk sekitarnya. Seluruh biaya akomodasi siswa SMB ditanggung oleh pihak sekolah. Setiap awal bulan penduduk yang mengelola kamar-kamar itu mendapat uang sewa dari sekolah sebagai pendapatan mereka. Uang sewa akomodasi tersebut sudah termasuk biaya sarapan kami setiap pagi. Sungguh, sebentuk kerjasama yang luarbiasa antara pihak sekolah dengan penduduk sekitarnya.

Tak sampai lima belas menit, kelompokku sudah sampai di sebuah rumah yang sederhana namun asri. Tetumbuhan berwarna-warni tumbuh subur di pekarangan. Keluarga pemilik rumah berjajar di depan rumah menyambut kami. Senior kami—bernama Joko siswa kelas dua—memperkenalkan para penyambut yang ramah itu kepada kami. Di beranda kami saling berkenalan satu sama lain ditemani segelas teh manis hangat untuk kami masing-masing. Tak berapa lama kemudian, Senior Joko mohon diri terlebih dahulu untuk kembali ke SMB. Maklumlah panitia, harus rapat lagi. Lalu ia berkata juga pada kami, bahwa selepas sore nanti, pukul 19.30 kami sudah harus berada di kelas masing-masing. Tentang di mana kelas kami, ia mengatakan mohon dilihat di papan pengumuman di samping aula besar. Ia lalu melesat mengayuh sepedanya, hilang ditelan tikungan. Kami dipandu menuju kamar kami masing-masing. Termasuk diriku, delapan orang murid baru ini mulai menempati kamar masing-masing di rumah ini. Beberapa kamar lain telah dihuni beberapa senior kelas dua dan tiga. Satu kamar kurang lebih berkururan 2,5 x 3 meter untuk dua orang. Kami mengundinya. Aku dan Boni mendapat kamar paling ujung, dekat kamar mandi.

Melihat kamar itu, kami terheran-heran tetapi diam saja. Setiap kamar berisikan satu tempat tidur tingkat dari besi tak berkasur, melainkan beralas tikar pandan cokelat susu. Masing-masing mendapat sebuah bantal, selembar selimut zebra, selimut yang bergaris-garis, tak ada guling, dan sebuah lemari kayu ukuran tanggung yang pada pintunya dilekatkan cermin. Tak ada meja belajar, apalagi rak buku. Segera kupindahkan isi tas besar kumalku ke dalam lemari itu, termasuk buku kesayanganku, Buku Gambar Wayang itu. Tiba-tiba aku merasa rindu pada rumah di desaku, pada orangtua dan saudara-saudaraku, pada teman-teman mainku, pada ayam-ayamku, pada lumpur di sawah, yang baru tadi subuh telah kutinggalkan. Aku merasa seperti anak hilang. Hatiku sedih. Baru kurasakan untuk pertama kalinya rasa pilu semacam ini.***

---------------------------------

09-09-2010 bp

Selamat Hari Raya Idul Fitri untuk

kawan-kawan semua..... Mohon maaf

lahir dan batin atas dinamika

persahabatan kita melalui Kompasiana

ini.............

-----------------------------------

*Sketsa ini ditulis masih dalam rangka menggenapi sketsa-sketsa sebelumnya sebagai bahan baku novel SMB Pantang Menyerah atau Firdaus Kecil.

Sketsa sebelumnya:

Sketsa #34 Candradimuka, Sumber Waras, dan Firasat




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline