Lihat ke Halaman Asli

Metafora dalam “Padang Bulan” Andrea Hirata #1

Diperbarui: 26 Juni 2015   14:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam tulisan ini pun akan saya kutipkan metafora-metafora Andrea Hirata yang unik, “ngawur” tetapi menarik. Semoga bermanfaat bagi Kawan-kawan penggemar keindahan kata-kata, yang mungkin sedang atau berencana belajar menulis semacam cerita pendek maupun novel, dan juga tentu saja untuk Anda yang kini bersemangat karena terjangkiti demam “flash fiction” akibat ajakan Om Ouda Saija dan Mas Gibb. Walaupun singkat, “flash”, tentu akan lebih indah jika Anda menaburkan sejumput garam metafora di kuah fiksi mini tersebut.

Beberapa metafora dalam “Laskar Pelangi” sudah mulai saya kutipkan untuk Anda, dan bisa langsung Anda nikmati di sini. Semoga dapat menginspirasi Anda juga.

Kali ini saya kutipkan beberapa metafora maupun rangkaian kata dan kalimat yang (menurut saya) menarik dalam novel terbaru Andrea Hirata, “Padang Bulan”. Saya mulai dengan Mozaik 30, Bulan di Atas Kota Kecilku yang Ditinggalkan Zaman serta Mozaik 31, Impian Empat Sentimeter.

“…. Sore hari, kesepian kembali memangsaku. Malam, aku mimpi dikejar-kejar raksasa. Raksasa yang kulihat waktu bertanding catur melawan Zinar itu.”

“…. Aku tak kenal siapa yang berdiri di dalam kaca itu. Seseorang yang suram, itulah yang kulihat. Cinta, rupanya telah menyita segala-galanya dariku.”

“…. Lalu, ada foto seorang lelaki yang berwajah kusut masai dan seperti hendak membenturkan kepalanya ke tembok.”

“…. Namun, kemudian di sebelahnya, sebulan setelah wajahnya seperti habis diacak-acak Mak Lampir itu, Agus Hermawan, S.H., berseri-seri sambil memeluk pundak seorang perempuan yang maaf—bahenol.”

“Dulu, guru mengajiku pernah mengajarkan, bahwa pertemuan dengan seseorang mengandung rahasia Tuhan. Maka, pertemuan sesungguhnya adalah nasib. [….] Begitu banyak hidup orang berubah lantaran sebuah pertemuan. Disebabkan hal itu, umat Islam disarankan untuk melihat banyak tempat dan bertemu dengan banyak orang agar nasibnya berubah.”

“Aku telah digulung Zinar di papan catur. Aku telah dimakzulkannya di meja pingpong. Aku telah dicadangkan secara abadi di lapangan sepak bola.”

“…, dan seorang perempuan yang dihadapkan pada pilihan antara pria pendek dan pria yang tinggi, andai kata ia memilih pria yang pendek, maka ijazah perempuan itu harus diterawang di bawah sinar matahari.

“…. Katalog itulah ratu adil hidupku yang sesungguhnya. [….] Sakit demam panas aneh yang telah merundungku selama empat hari, tiba-tiba menguap. Aku sehat walafiat secara mendadak. Lebih sehat dari orang yang sehat.”

“Tinggi badan adalah persoalan laten bagiku.”

“Kami berdua adalah [….] , dan tukang mengambil bola yang terpelecat ke bawah rumah panggung. Mengambilnya harus bertengkar dengan ayam beranak.”

“…., mikrofon kadang kala dijauhkannya dari mulutku sehingga suaraku timbul tenggelam.”

“Orang-orang yang melihatnya tertawa terpingkal-pingkal melihat manusia dipangkas seperti biri-biri dikuliti.”

“Keluar dari gedung itu, berjalan limbung seperti orang yang habis diputar-putarkan.”

“Derita ini hanya dipahami dan merupakan rahasia pahit orang-orang pendek. Mereka yang jangkung tak pernah tahu soal itu.”

“Jika di toko melihat sepatu perempuan berhak tinggi, tubuh rasanya merinding, dan hati dipenuhi doa agar dunia segera kiamat.

“…. Rencana F: Menambah tinggi badan 4 sentimeter. Kuanggap rencana ini sebagai gagasan linear dari catur, pingpong, dan sepak bola dengan tujuan yang sederhana dan jelas: mengalahkan Zinar. Dan, kubayangkan A Ling kembali dari Tanjung Pinang, lalu terbelalak melihat penampilan baruku yang mendebarkan.”

Bersambung….

Akhirnya, selamat menulis dan merangkai kata-kata seindah dunia kita ini….

Semoga bermanfaat…!***

30-07-2010 bp

Baca juga tulisan terkait sebelumnya: Metafora-metafora “Ngawur” Andrea Hirata

Catatan:

Semua kutipan bersumber dari novel Andrea Hirata, “Padang Bulan”, Penerbit Bentang, 2010.

Sumber gambar: andrea-hirata.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline