Lihat ke Halaman Asli

Tentang Bahasa: Beberapa Gagasan untuk Dituliskan #1

Diperbarui: 26 Juni 2015   14:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Saya mencoba melempar beberapa gagasan pada Kawan-kawan yang ingin ikut meramaikan menulis soal bahasa kita, Bahasa Indonesia. Tentang ajakan penulisan ini, Anda bisa lihat di tulisan: Bahasa Menunjukkan Bangsa #1 .

Semoga beberapa gagasan ini bisa cukup memberikan inspirasi beberapa Kawan yang mungkin belum mendapatkan ide penulisan.

1. Air mancur atau air pancur atau air muncrat? (Dan sebagainya, tentang kata-kata yang sebenarnya tak tepat atau kurang tepat). Lihat juga tulisan Mbak Winda ini: Bahasa Menunjukkan Bangsa #28 .

2. Bahasa memang kesepakatan. Tetapi jika kesepakatan itu suka-suka, bolehkah?

3. Bahasa Indonesia cukup sulit untuk bisa benar-benar baku. Benarkah?

4. Soal rasa bahasa, bahasa tata-krama, bahasa "empan-papan"(toleransi?). Di sekolah anak diharuskan menyebut dirinya sendiri dengan "saya", tetapi di tempat lain mereka lebih senang menyebut "aku". Artis lebih suka menyebut "aku". Kata "aku" dalam bahasa Jawa adalah sebutan penunjuk diri (orang pertama) yang kasar. Kalau berdoa sendiri dalam bahasa Indonesia seringkali kita menyebutkan "aku". Tuhan pun menyebut dirinya Aku, bukan Saya. Mengapa? Dalam fiksi, "aku" mungkin terkesan lebih keren. Tetapi, orang Jawa dulu jika berdoa tak mungkin ia menyebut dirinya "aku", sebab kasar, melainkan "kula".

5. Kreativitas bangsa Indonesia dalam berbahasa. Kreativitas atau kebebasan? Kebebasan atau kebablasan? Adakah pengaruhnya pada karakter bangsa?

6. Pembakuan beberapa kata jadian berimbuhan masih terasa agak "aneh". Kesannya dipaksa teratur. Apakah bahasa kita memang tak teratur? Contoh: "me+kilat " = "mengkilat" (dulu); sekarang "mengilat" dan "me+pesona" = "mempesona" (dulu); sekarang "memesona". Apakah kedua kata ini sudah mulai diajarkan sejak TK atau SD? Mengapa iya? Mengapa tidak? Kata "mengilat" dan "memesona" mulai terbiasa sebagai kata baku dalam bahasa tulis, tetapi dalam bahasa lisan, sudahkah? Kata "mengilat" dan "memesona" hanya kata-kata untuk orang dewasakah? Untuk orang terpelajarkah? Tak pentingkah antara penulisan dan pengucapan?

7. Sekilas tentang sejarah Bahasa Indonesia, asal-muasalnya.

8. Istilah-istilah (idiom) yang sudah tak tepat? Misal: "bangku sekolah", kok tidak "kursi sekolah". Sekolahan dulu memang masih mengenal bangku, tempat duduk panjang yang diduduki oleh dua siswa. Sekarang, sudah bukan bangku, tetapi kursi. Perlukah direvisi? Atau dibiarkan saja? Pentingkah hal ini? Tidak pentingkah hal ini? Apakah ini masalah sepele? Atau bangsa ini terbiasa menyepelekan?

9. Kita mengenal bahasa percakapan, bahasa tulis, bahasa baku, bahasa resmi, bahasa gaul, bahasa alay, bahasa prokem. Adakah demikian juga dengan bahasa di negara lain? Di negara maju? Ada? Tidak? Mengapa?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline