Lihat ke Halaman Asli

Bahasa Menunjukkan Bangsa #1

Diperbarui: 26 Juni 2015   14:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Tulisan ini adalah sebuah ajakan pada teman-teman Kompasianer di mana pun berada untuk mulai membuat sebuah buku secara bersama. Mau?

Saya merasa-rasa ada yang salah dengan bangsa kita. Tak perlulah dijelenterehkan apanya yang salah. Saya lebih cenderung mencari penyebab-penyebabnya. Dan, saya berhipotesa (baca: merasa-rasa, menduga-duga dengan secumit fenomena) salah satu penyebab mayornya adalah “bahasa”. Sebab, bahasa menunjukkan bangsa. Jika bangsa ini begini-begini saja berarti bahasa kita memang begitu-begitu itu. Apa yang salah dengan bahasa kita?

Saya yakin, banyak paradoks yang akan kita jumpai dalam bendahara bahasa kita ini. Oleh karena itu, saya mengajak para Kompasianers membuat sebuah buku bersama dengan tema kurang-lebih “Paradoks Bahasa Indonesia”. Buku ini kelak adalah salah satu buku yang isinya ditulis oleh banyak Kompasianers yang peduli pada bangsa ini. Bagaimana? Jika oke, mari kita mulai berpikir-pikir mencari paradoks (pertentangan, yang berlawanan), keganjilan atau keanehan, ironiketidak-jelasan, maupun sebaliknya kehebatan dan kelebihan bahasa kita dan menuliskannya dengan judul “Bahasa Menujukkan Bangsa #2 lalu #3 lalu #4, dan begitu seterusnya”. Agar terarsip dengan baik di Kompasiana, jangan lupa menulis salah satu tagnya “bahasa menunjukkan bangsa”. Sertakan juga judul asli yang  Anda inginkan di atas isi tulisan Anda. Tulis saja, bagaimanapun isinya, toh nanti ada pihak yang “berwajib”—entah siapa nantinya—yang akan menjadi editor dan memperbaiki kualitas tulisan kita. Mengenai panjang tulisan, pendek boleh panjang boleh.

Saya mulai saja dengan tulisan saya sebagai sebuah contoh saja. Mungkin saja contoh yang saya tulis di bawah ini bukan contoh tulisan yang baik sesuai maksud. Saya pede saja, karena saya tahu banyak Kompasinaner di sini yang sangat-sangat hebat menemukan ide dan menuliskannya dengan lebih oke. Mungkin juga tulisan pertama ini tak akan dipilih masuk dalam buku bersama kita oleh yang kelak menjadi editor kita, karena kurang-lebih salah. Tetapi, saya yakin ada yang salah dengan bahasa kita dan itu akan ditemukan oleh sekian banyak teman-teman Kompasianer yang lainnya. Mari kita mulai temukan paradoks-paradoks dan ihwal menarik lainnya dalam bahasa kita tercinta, Bahasa Indonesia.

Sebuah contoh tulisan dari saya:

Bangsa yang Tak Suka Digurui (Judul Asli)

Guru adalah sebuah kata penunjuk profesi yang begitu mulia. Sejak kecil hingga dewasa kita dimasukkan ke sebuah lembaga di mana kita setiap hari mengalami perjumpaan dengan yang namanya guru. Tetapi, anehnya kita tidak suka digurui. Jika tak suka digurui, mengapa kita sekolah? Paradoks!

Bangsa kita tak suka digurui. Bangsa kita tak suka dinasihati. Kata “menggurui” sangat buruk terdengar di telinga kita. Orang yang menggurui terkesan sombong maka tak disukai dan dibenci. Maka, setiap saat seringlah kita dengar kalimat seperti: janganlah menggurui, janganlah menggurui, janganlah menggurui. Kalimat ini terpendam dalam-dalam di bawah kesadaran kita. Kita lalu takut dibilang menggurui. Menggurui itu sombong, menggurui itu sok pinter, sok tahu, sok-sokan. Orang menjadi takut sombong. Lalu takut menggurui. Orang tak mau digurui. Orang tak mau dinasihati. Maka, gurgu-guru lalu diam saja. Maka, orang-orang pandai lebih cenderung diam saja. Maka, orang-orang berilmu diam saja, tak bicara dan juga tak menulis. Ilmu padi soalnya. Karena, takut terkesan menggurui takut dicap sombong dan congkak. Maka, muncul istilah diam itu emas. Omong sedikit sudah dikira menggurui. Kata “menggurui” sudah menjadi momok yang menakutkan. Lama-lama bangsa kita tak senang ada orang-orang pandai, karena mereka berpotensi menggurui.

Secara tak sadar bangsa kita—karena tak suka digurui—maka tak suka pula dengan guru. Maka, guru digaji cukup sedikit. Ha ha ha ha. Apa hubungannya? Namanya juga pengaruh bawah sadar. Kita tak kan sadar sebelum bom pengaruh itu meledak. Bangsa ini diam-diam tak menyukai guru, karena sebenarnya tak suka digurui. Maka, guru-guru jadi tak suka menggurui dengan sebenar-benarnya karena takut dengan cap kesombongan.

Kapan ya saatnya menggurui itu tidak dianggap sombong? Saya ingin mulai mencoba berkata, ayo kawan guruilah saya, nasihatilah saya. Guruilah saya agar saya pandai. Nasihatilah saya agar saya menjadi lebih baik. Guruilah saya agar saya melepaskan diri dari adiksi terhadap korupsi yang sudah keterlaluan. Berlomba-lombalah menggurui agar bangsa ini menjadi bangsa tidak hanya besar, melainkan semakin pandai dan juga cerdas.***

18-07-2010 bp

Keterangan

Semoga rencana penerbitan buku bersama tentang bahasa ini disambut baik dan didukung sepenuhnya oleh pihak Kompasiana dan Kompas dan bersedia menjadi penerbit atau mencarikan penerbit. Terima Kasih.

Rencana Terbit : 28 Oktober 2010 (Hari Sumpah Pemuda)

Jumlah Tulisan yang diharapkan masuk : 40 – 50 tulisan (lebih malah bagus)

Jadwal Penerbitan yang diharapkan:

Juli-Agustus 2010 : waktu menulis dan memosting tulisannya di Kompasiana

September-Oktober 2010: proses editing, covering, lay-out, dan naik cetak

Mengenai hal-hal yang berkaitan dengan proses timbang naskah (layak-tidaknya diterbitkan), penerbitan, pemilihan judul, penunjukkan editor, penulis kata pengantar, penulis prolog/epilog, endorsement, perancang cover, dan launching, dan yang terkait dengan itu kami serahkan sepenuhnya kepada pihak Kompasiana.

Mengenai tulisan yang layak-tidaknya  masuk sebagai naskah dalam buku ini diserahkan kepada Kompasiana atau editor yang telah ditunjuk kemudian.

Kontributor naskah yang telah menyatakan kesediannya:

(daftar ini akan selalu diperbarui sesuai dengan bertambahnya para Kompasianer yang bersedia menjadi kontributor....)

1.Bambang Pribadi

2.Rusdianto

3.Katedra Rajawen

4.Erlinda

5.Baginda ASA (harus..... ha ha ha ha.....)

6.Setiawan Triatmojo

7.Firman Seponada

8.Andee Meridian

9. Cechgentong

10. Mamak Ketol

11. Gibbs

12. Arrum

13. Mariska Lubis (horeeeeeeeeeee............)

14. Iis " Salwa Az-Zahra "

15. Endah Raharjo

16. Nur Setiono

17. G

18. Budi van Boil

19. Sari Novita

20. Hadi Samsul

21. Febbie

22. Bain Saptaman

23. Princess E. Diary

24. Agung Sdw

25. Syam (Mays)

26. Lia Agustina

27. Zulfikar Akbar

28. Winda Krisnadefa

29. Kit Rose

30. Shy Star

31. John Brata

32. Pungky

33. Mine Turtle

34. Claudy Yusuf

35. Wis-Thok

36. Om Jay

37. Nicholaus Prasetya

38. Andi Gunawan

39. Silveria Verawaty (yang mendaftarkan Andee Meridian.....)

40. Mimin Mumet

41. Ouda Saija

42. Rahmi Hafizah

43. Mia Imagina

44. Deasy

45. Bambank

46. Babeh Helmi

47. Hazmi SRONDOL

48. Inge

49. Kuncoro Ragil

50. Bening Salju

51. Achiruddin

52. Jean Rachman

53. As. Kwok

54. Edy Apriyanto Sudiyono

55. Dedy Prasnowo

56. Yayat

57.

58.

59.

60. ..... dst.....

Setiap kontributor dimohon menyiapkan dan memosting minimal 2 atau 3 tulisan agar buku bersama ini semakin mantab dan lengkap isinya.

Tulisan yang sudah diposting, bisa dibaca lagi, dipoles-poles lagi agar semakin cantik, ditambah-kurangi sana-sini agar ketika mendekati tenggat waktu semakin oke......

Selamat membaca, selamat merenung, selamat berpikir, selamat berdiskusi, dan selamat menulis kawan-kawan......

Salam dan terima kasih.............

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline