Lihat ke Halaman Asli

Sketsa #26 Teori Korupsi

Diperbarui: 26 Juni 2015   15:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Jika ada seorang ayah yang memberikan perhatian berlebihan kepada anak-anak yang bukan darah-dagingnya sendiri, ayah apakah gerangan yang mungkin? Sedikitnya ada dua kemungkinan. Pertama, ayah yang sedang dimabuk-kepayang pada ibu si anak yang karena si ibu menawan itu bukan isterinya, maka beliau perlu mengambil hati ibunya dengan jalan memberikan hatinya pada si anak. Pasti tahu dong maksud saya? Kedua, ayah itu adalah seorang Pak Murbaut, lelaki bijaksana, kepala sekolah kami tersayang, berdarah guru sejati mengalir di sekujur tubuhnya. Kukira darah itu adalah darah yang sama dalam tubuh Ki Hajar Dewantara, yang konon berdarah kras maar nooit grof, keras tetapi tidak pernah kasar. Pak Murbaut lebih dari itu, hatinya lembut, selembut bulu kelinci.

Masih kuingat benar pidato pertamanya ketika menerima kami sebagai murid-murid barunya. Suaranya menggelegar seperti guntur. Tuturan bahasa Indonesianya berkelas, sangat EYD sekali, baik dan benar. Kalimat-kalimat yang dirangkainya teratur seperti bahasa buku tetapi tidak kaku, mengalir sangat nyaman di telinga. Beliau mengatakan bahwa salah satu tujuan Sekolah Menengah Bisnis ini didirikan adalah untuk mengurangi korupsi. Kami terperangah sebab kami tak bisa menangkap apa hubungan sekolah ini dan pengurangan korupsi. Bagi kami—walaupun masih sangat muda—cukup populerlah tema korupsi di negeri ini. Wajar, sebab dalam perkara olah-korupsi bangsa ini sangatlah berprestasi. Juri-juri survei pertandingan korupsi dengan bangga menempatkan bangsa ini masuk dalam urutan paling bergengsi, kelompok sepuluh besar. Jika benar-benar memang dipertandingkan, sudah pasti bangsa pemilik kepulauan terbesar di dunia ini cukup mudah melenggang ke final dan merebut juara dunia!

“Salah satu penyebab korupsi adalah pemahaman yang cukup keliru tentang arti sebuah pengabdian,” lanjut Pak Murbaut. Darmo yang duduk persis di sebelahku manggut-manggut seperti kutilang penghuni pohon cempaka. Kupandangi wajah sepupuku itu demi mengira-kira pemahaman macam mana yang telah bertengger di otak encernya sehingga ia mengangguk-anggukan kepala dengan mudahnya. Aku mencoba meneliti gerak-gerik otak Darmo. Mungkin demikian jalan pemahamannya, aku mulai menelusuri. Ada begitu banyak karir yang bisa dipilih oleh manusia demi mengisi waktunya di dunia ini. Jika karir itu dibedakan sedemikian rupa, maka ada dua kelompok besar karir. Yang pertama, kelompok karir pengabdian dan yang kedua, kelompok karir wirausahawan.

Pegawai negeri adalah abdi negara. Karyawan swasta adalah pengabdi bos mereka. Rezeki para pengabdi sudah ditentukan dalam anggaran dan biasanya selalu dianggap kurang banyak. Nasib rezekinya seperti sudah ditentukan sejak awal dan besarannya bisa diprediksi sampai jauh-jauh ke depan setelah masa pensiun kelak. Rezekinya diberikan secara sangat teratur sehingga doa mohon rezeki pada Tuhan kadang kala tak perlu dilantunkan lagi. Menerima rezeki sudah sedemikian biasanya sebiasa mereka mengutukinya kemudian. Barangkali pilihan karir sebagai pengabdi tak sepenuhnya disadari. Dalam ketidaksadaran tingkat tertinggi, kaum pengabdi ini lantas menelurkan kreativitasnya untuk mencoba belajar korupsi. Rupanya pemahaman inilah yang membuat Darmo mengangguk-angguk. Makna pengabdian yang serba luhur dan membanggakan itu dibiarkan terkikis tak alang kepalang. Benar-benar para pengabdi ini telah mengkhianati para penyusun kamus.

Rezeki para wirausahawan walau direncanakan oleh mereka sendiri tetapi ditentukan oleh nasib yang maha-misterius. Seringkali rezeki datang tak teratur, kadang datang kadang tidak. Kadang sedikit, kadang lebih, tidak pernah sama. Ada jam-jam primetime, ada jam-jam membosankan. Ada hari baik, ada hari malang. Ada bulan penuh berkah, ada bulan dirundung duka. Ada tahun-tahun kegemilangan, ada tahun-tahun berantakan. Maka, oleh kebanyakan wirausahawan doa mohon rezeki seringkali dilantunkan berulang-ulang setiap tengah malam dengan linangan air mata darah. Dalam perkara ini, aku cukup setuju dengan pernyataan Robert T. Kiyosaki bahwa para wirausahawan biasanya hidupnya lebih beriman, sebab tak ada yang lebih diandalkannya kecuali Tuhan. Aku lalu asyik menduga-duga pikiran Darmo, melantur ke sana kemari, jika saja tidak kudengar pidato Pak Murbaut yang belum selesai itu.

“Guru adalah sebuah contoh karir pengabdian. Jika tak siap hidup sederhana, bahkan miskin, janganlah meniti karir sebagai guru,” lanjut Pak Murbaut. Aku tersenyum sebab kini aku sudah bisa mengangguk-angguk. Dengan senyum penuh kemenangan aku menengok dengan bangga ke arah Darmo. Ternyata senyum kebanggaanku terlihat sangat tolol, wajahku mungkin sekocak wajah manusia planet tak jelas yang jatuh ke bumi, Mr. Bean. Demi kulihat wajah sepupuku, senyumku berubah kecut. Sebab, kali ini Darmo sama sekali tidak mengangguk, bahkan wajahnya tampak serius sekali, alisnya nyaris beradu, kedua matanya memandang wajah jajaran guru-guru kami. Kini kuikuti ke mana pun arah mata Darmo memandang.

Pertama-tama kedua mata Darmo memindai sekujur tubuh Pak Murbaut. Walaupun sudah cukup memutih, rambut beliau sangat rapi. Kemungkinan besar beliau pergi ke tukang potong rambut sedikitnya dua minggu sekali. Kacamata yang bertengger di hidungnya, jelas bukan merek murahan, frame-nya sekelas buatan Armani. Lensanya pasti mahal, karena selain sudah pasti progressif, juga sangat bening seperti tak berkaca. Batik yang dikenakannya berwarna sangat tajam dan berkilau-kilau, pasti batik tulis dan sutera pula. Di kantungnya terselip sepasang pena berwarna legam, di punggung tutupnya terhias serupa lingkaran berwarna putih, sudah pasti Mont Blanc asli, bukan seperti yang ditawarkan-tawarkan calo-calo bandara. Celana hitamnya jelas bukan kain Famatex, sudah pasti berbahan dasar wool, entah apa mereknya. Sepatu hitamnya, kulit asli dan sangat mengilat. Dilihat dari modelnya, siapa pun akan mengatakan sepatu itu bukan sepatu murahan. Kalaupun buatan Cibaduyut atau Tanggung Angin, pasti kualitas ekspor untuk selera Prancis atau setidaknya pesanan sebuah mall di Singapura.

Setelah itu Darmo melihat jajaran guru dan karyawan satu per satu seiring dengan Pak Murbaut memperkenalkan mereka satu per satu. Mata sepupuku itu melongo hingga lupa mengedip. Dari kulit dahinya, aku mengira benak Darmo seperti membentur tembok teki-teki batu yang keras dan tak terpecahkan. Ia sedang mencoba menghantam batu yang menyumbat pemahamannya. Tak berapa lama kemudian, mata Darmo mendarat di area parkir khusus para pengajar dan karyawan sekolah ini. Mataku mengikuti ke mana perginya mata Darmo. Areal parkir itu penuh sesak dengan mobil-mobil, beberapa bahkan bukan mobil sederhana. Aku jadi melongo dan terheran-heran.

Pengabdian macam mana pula ini? Aku khawatir jangan-jangan kami telah masuk ke sekolah yang serba-munafik. Kutengok lagi Darmo. Aku terkejut, sebab sepupuku itu tersenyum-senyum dan kepalanya mengangguk-angguk lagi. Kali ini anggukannya seperti anggukan merpati di musim kawin. Matanya terkagum-kagum. Aku terheran-heran tak tanggung-tanggung. Mengikuti alur pemahaman Darmo terhadap pidato Pak Murbaut, tak kusadari aku telah menggeleng-gelengkan kepalaku berulang kali. Aneh sekali sepupuku tersayang ini!***

Bersambung dalam sketsa-sketsa berikutnya....

28-05-2010 bp

*** Sketsa-sketsa sebagai pangkal judul di blog saya ini dimaksudkan sebagai bahan mentah (bisa berubah sewaktu-waktu). Sketsa-sketsa yang telah diposting berkesinambungan walau belum berurutan, yang jika digabungkan dan ditambah sedikit sana-sini kelak menjadi sebuah (mungkin beberapa buah) novel.

Sketsa sebelumnya:

Sketsa #1 Sekolah Aneh

Sketsa #2 Guru-Guru Aneh

Sketsa #3 Warteg Legendaris

Sketsa #4 Meditasi

Sketsa #5 “The Dessert Storm”

Sketsa #6 Hari-hari Serba Puitis

Sketsa #7 “The Amazing Storm”

Sketsa #8 “The Borobudur English”

Sketsa #9 Imajinasi

Sketsa #10 Orang-orang Teraneh Sedunia Part #1

Sketsa #11 Lelaki Maut Penyebar Tawa

Sketsa #12 Piramida Air Mata

Sketsa #13 Cicak-Cicak Apresiator

Sketsa #14 Tuhan pun Pandai Berhemat

Sketsa #15 Pak Lurah Tercinta

Sketsa #16 Teori Cinta

Sketsa #17 Kesimpulan Para Pejantan

Sketsa #18 Nafsu dan Cinta

Sketsa #19 Pelajaran Menjual

Sketsa #20 Doa Sebelum Makan

Sketsa #21 Ada Uang Abang Sayang

Sketsa #22 Dasar Hippocrates!

Sketsa #23 Gerimis Teka-teki

Sktesa #24 “The High Middle School”

Sketsa #25 “Les Trois Mousquetaires”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline