Impian yang ranum seumpama buah-buah rambutan telah matang memerah di antara dedaunan hijau yang melebat, dan menunggu untuk dipetik yang empunya pohon. Impian barangkali juga seperti bunyi genderang bertalu-talu yang ditabuh bukan dengan sembarang rasa yang teramat sukar didefinisikan. Impian sejati laksana doa yang terkirim. Bentuknya yang empat dimensi dengan penuh keyakinan melayang-layang menuju langit, melesat lebih cepat dari lesatan cahaya. Bahkan, ia telah sampai sebelum seseorang terbangun dari tidurnya.
Di dinding-dinding aula besar telah terpajang karya-karya luar biasa anak-anak SMK Pantang Menyerah. Setelah mengisi buku-buku tamu, pengunjung berhamburan mendekati lukisan-lukisan kami. Kadang-kadang mereka melangkah maju mundur, seperti tele kamera bergerak otomatis meraba fokus. Dahi-dahi dikerenyitkan, seperti pemerhati seni hendak menulis komentar dalam sebuah esei. Mata-mata diedarkan di setiap permukaan kanvas, seperti scanner sedang memindai. Mulut-mulut berdecak-decak, tak urung ruangan seperti sarang cicak. Ck ck ck ck ck ck....
Maka, bisalah panitia memastikan kegembiraanya, sebab 60 persen lukisan telah ter-sold out pada hari ketiga pameran yang rencananya berlangsung 2 minggu penuh itu. Kelak akan kugambarkan bagaimana hebatnya lukisan-lukisan itu.
Di ruangan lain, utusan-utusan penerbit mengaduk-aduk ratusan dummy berbagai naskah buku. Semua naskah ada, dari yang setebal bantal maupun yang setipis kain, dari yang paling absurd sampai kisah nyata. Pada saat-saat seperti inilah, kami kembali bersyukur bahwa di sekolah ini ada mata pelajaran wajib: membuat buku harian.
Utusan-utusan penerbit itu rata-rata adalah editor-editor senior berpengalaman yang berulang kali telah mengunjungi bookmesse di Frankfurt, dan mereka diharapkan tahu benar buku mana yang bagus dan laris pula. Menemukan buku bagus yang laris adalah impian setiap penerbit. Banyak buku bagus, tapi tidak laris. Demikian juga sebaliknya. Entahlah, nasib buku memang terkadang misterius. Diharap laris, ternyata tidak. Tak terlalu diharap, ternyata laris tak kepalang tanggung. Aku kira, rahasia ini hanya Tuhan yang tahu.
Tak kalah menariknya, ketika para cicak-cicak apresiator seni itu berpindah ke ruangan sebelah, di mana terhampar karya-karya seni keramik nan memesona. Walaupun panitia telah meletakkan kertas-kertas bertuliskan “Dilarang Memegang” di setiap sudut-sudut meja pamer, tetap saja pengunjung dengan penuh kesengajaan seolah-olah buta huruf menjulur-julurkan tangannya untuk mengelusnya barang sebentar.
Di hari ketiga pameran—setelah panitia melakukan evaluasi harian—tulisan “Dilarang Memegang” diganti dengan “Dengan senang hati, silahkan memegang, membawa, dan langsung membayar....”.
Dengan tulisan itu, tak ada kasir yang sempat menganggur. Sebab pengunjung merasa hatinya merdeka, tak terbebani rasa sungkan. Bak kuda-kuda liar yang terlepas dari kandangnya, maka dengan senang hati pula mereka memegang-membawa-membayar, memegang-membawa-membayar, memegang-membawa-membayar, terus begitu dan begitu terus-menerus. Kini seluruh panitia berubah menjadi cicak. Ck ck ck ck ck ck....***
Bersambung dalam sketsa-sketsa berikutnya....
12-04-2010 bp
*** Sketsa-sketsa sebagai pangkal judul di blog saya ini dimaksudkan sebagai bahan mentah (bisa berubah sewaktu-waktu). Sketsa-sketsa yang telah diposting berkesinambungan walau belum berurutan, yang jika digabungkan dan ditambah sedikit sana-sini kelak menjadi sebuah (mungkin beberapa buah) novel.
Sketsa sebelumnya:
Sketsa #6 Hari-hari Serba Puitis
Sketsa #8 “The Borobudur English”
Sketsa #10 Orang-orang Teraneh Sedunia Part #1
Sketsa #11 Lelaki Maut Penyebar Tawa
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H