Lihat ke Halaman Asli

Sketsa #14 Tuhan pun Pandai Berhemat

Diperbarui: 26 Juni 2015   16:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Bercengkerama dengan sekuntum sakura selama tiga setengah bulan meninggalkan kesan berupa-rupa. Kesan itu kian menggumpal, terkumpullah sejuta rindu di memori kepalaku. Sepeninggal Yukiko kembali ke Jepang, aku punya kebiasaan baru, gemar memandang bulan.

Setelah berbulan-bulan lamanya menerapkan latihan-latihan meditasi yang diberikan Himamoto san dalam mata pelajaran visi, hidup kami rata-rata lebih terasa damai. Berkat laki-laki berdarah samurai itu kami lebih mudah berkonsentrasi, mengendalikan pikiran dan perasaan kami. Sajian aneka rupa ilmu bisa kami telan dengan mudah.

Akan tetapi, pikiran dan perasaan bukanlah benda mati. Benarlah kata pepatah, panas setahun dihapus oleh hujan sehari. Sebab, kini seorang bidadari cantik dari negeri sakura jualah telah dikirim untuk mengacaukan setiap meditasiku secara tiba-tiba. Badai kerinduanku padanya seperti tak tertanggungkan, mengoyak, meluluh-lantakkan pikiran. Konsentrasi belajarku kian porak-poranda. Kini otakku serupa kota yang hancur berkeping-keping seperti Hirosima tertimpa bom atom. Materi pelajaran paling mudah sekalipun tak lagi mudah kucecap.

Lalu kuingat Gimo Wageono, kakak pertama perguruan cinta kami. Dengan tergopoh-gopoh, pergilah aku menemuinya. Sebagai konsultan amatir di dunia cinta monyet kami, ia tersenyum-senyum mendengarkan presentasi paper berjudul kerinduanku. Berlagak seperti paranormal profesional, ia berkata-kata penuh wibawa. Ia menganjurkan agar aku rajin-rajin memandang bulan.

“Lihatlah bulan, Kawan,” begitu saja katanya, sambil ngeloyor pergi.

Kurasa aku telah datang pada konsultan yang salah. Tetapi, entah apa sebabnya, kami seringkali mengikuti nasihat misterius Gimo. Jadi, sejak malam itu aku menjadi pengamat bulan yang rajin melotot tanpa teleskop.

Mulailah kuamati bulan malam ini. Di permukaan bulan, kudapati senyum kuntum sakura bermata kijang itu. Sekejap terlintas di mataku bagaimana aku berjumpa dengannya. Kutemukan Yukiko yang ranum di kerimbunan hiruk pikuk Borobudur. Warna-warni pakaian pengunjung seolah-olah dibalurkan centang-perenang di permukaan kanvas legam kumpulan batu bersejarah itu. Kulitnya yang demikian putih semakin cemerlang dalam latar belakang batu legam candi megah itu. Yukiko adalah sebuah keajaiban dalam cinta akil balik pemuda kampung sepertiku.

Tiba-tiba bulan di langit tertutup awan. Kutunggu sajalah, awan pasti juga berlalu.

Ups! Mendadak wajah rembulan itu berganti rupa. Bu Yulianan Tan—guru mata pelajaran menabung—tersenyum meminjam wajah ratu malam itu. Senyumnya manis sekali, penuh arti dan sarat hikmah tersembunyi. Lalu Bu Yuliana berkata-kata.

Malam ini, beliau memberi pelajaran privat untukku. “Ikutilah bagaimana cara Tuhan berhemat. Matahari disediakanNya di kala siang dengan kapasitas energi yang mahadahsyat. Malam hari dibiarkanNya gelap. Diciptakan olehNya sebutir bulan, untuk sekadar memantulkan sinar sang surya. Bulan ibarat lampu tidur, penerang hemat energi.”

Di malam lain, wajah rembulan kembali berganti rupa. Rupanya kini seperti gerabah Kasongan berbentuk celengan serupa Kyai Semar. Celengan itu menyanyikan lagu favorit Bu Yuliana Tan, karya pesohor serbabisa Titik Puspa. “Bhang bhing bhung youkh khita nabhung..... Bhang bhing bhung youkh khita ke bhank....”

Kini saranku, bagi pelajar miskin sepertiku yang sedang dimabuk cinta, jadilah pengamat bulan. Hematlah dengan gelora cintamu. Kendalikan api kerinduanmu. Semua ada waktunya seperti siang dan malam. Jangan lupa menabung, sebab jumlah tabunganmu akan berbading lurus dengan siapa kekasihmu. Hanya dengan tabunganmulah kelak engkau akan lebih mudah menjumpai kekasihmu di mana pun dia berada.... Hikmahnya: cinta memang perlu ongkos.***

Bersambung dalam sketsa-sketsa berikutnya....

12-04-2010 bp

*** Sketsa-sketsa sebagai pangkal judul di blog saya ini dimaksudkan sebagai bahan mentah (bisa berubah sewaktu-waktu). Sketsa-sketsa yang telah diposting berkesinambungan walau belum berurutan, yang jika digabungkan dan ditambah sedikit sana-sini kelak menjadi sebuah (mungkin beberapa buah) novel.

Sketsa sebelumnya:

Sketsa #1 Sekolah Aneh

Sketsa #2 Guru-Guru Aneh

Sketsa #3 Warteg Legendaris

Sketsa #4 Meditasi

Sketsa #5 “The Dessert Storm”

Sketsa #6 Hari-hari Serba Puitis

Sketsa #7 “The Amazing Storm”

Sketsa #8 “The Borobudur English”

Sketsa #9 Imajinasi

Sketsa #10 Orang-orang Teraneh Sedunia Part #1

Sketsa #11 Lelaki Maut Penyebar Tawa

Sketsa #12 Piramida Air Mata

Sketsa #13 Cicak-Cicak Apresiator

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline