Berwisata kuliner. Menikmati jajanan beragam kelas. Mereguk aroma nikmatnya di antara gedung-gedung berarsitektur bersejarah. Berada di kawasan warisan era kolonial Belanda, Kota Tua, memang selalu menarik hati dengan plus minusnya.
"Kamu sukanya nuduh saya egois. Aku ga suka. Aku selama ini diem bae," suara abang-abang penjual cilok, saat aku bergegas mendekat menghindari rintik gerimis. Aku gak bermaksud nguping, tapi suaranya agak kenceng jadi kedengaran. Sedang 'perang' via telepon rupanya.
"Tuh ada yang beli," kata bapak penjual jagung sebelahnya.
Aku ketawa aja, sambil nyodorin duit selembar bergambar Frans Kaisiepo, pahlawan asal Papua.
Cilok ayam ini dibandrol seribu rupiah per biji. Biasa mangkal di Jl Kunir, di atas Kali Krukut, kawasan Kota Tua, Jakarta Barat.
Harga rerata yang dipatok penjual cilok di kawasan ini. Ciloknya sedikit lebih besar dibanding yang dijual lima ratusan umumnya.
Ragam Jajanan Kaki Lima Kota Tua
Kalau kamu lewat Jl. Kunir, kawasan Kota Tua di Jakarta, saat jelang malam, kamu akan lihat pemandangan keramaian kaki lima. Jajanan pinggiran jalan yang bergeliat seiring datangnya sore, yang menambah warna penjual-penjual yang eksis sejak pagi hari.
Mereka pengais rezeki di kala malam. Menggelar lapak-lapak makanan di pinggiran jalan. Menjadi pelengkap jajanan dengan ragam kelas. Tak sedikit orang-orang prefer dengan jajanan yang 'guyub' digelar berdesakan memakan bahu jalan.
Ada nafas-nafas kehidupan yang bergantung di situ. Ada pejalan yang mereguk nikmat jajanan di situ. Ada pula yang sekadar mencari penawar lapar setelah lelah mengitari lokasi wisata kota lama, Batavia.