Lihat ke Halaman Asli

Degradasi Kota

Diperbarui: 13 Desember 2017   10:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kota, sebuah kata magis yang digunakan untuk mendeskripsikan sebuah ruang hidup yang mampu menyihir ribuan bahkan jutaan masyarakat desa untuk berbondong-bondong mencari penghidupan, bahkan harga diri.

Kota, menjadi kata yang sangat istimewa karena diasosiasikan dengan hal-hal yang berbau gemerlap, level tinggi. Kita sering mendengar istilah "gadis kota", "anak kota", dan masih banyak lagi, yang dengan menyebutnya akan menimbulkan kesan impresif di telinga khalayak.

Yang lebih ajaib lagi, eksistensi kota mampu membunuh eksistensi apa yang menjadi oposisi binernya, yakni desa. Eksodus generasi muda desa ke berbagai perkotaan, menjadikan desa ibarat perawan tua yang tidak menarik untuk dijamah.

Seperti benda pada umumnya, kota juga memiliki siklus hidup. Ia tak selamanya kukuh berdiri dan dipuja-puja. Cendekiawan muslim, Ibnu Khaldun pernah berkata bahwa peradaban hadir seturut siklus manusia, lahir, tumbuh, berkembang, dewasa, renta, hingga punah.

Begitupun dengan kota dan peradabannya. Degradasi yang melanda terma kota tak lain tak bukan disebabkan oleh tindak tanduk para penghuninya, mereka yang kesohor dengan sebutan masyarakat kota.

Degradasi kota jika ditelaah dari kacamata filosofi terjadi karena cara pandang atau persepsi yang keliru mengenai kota itu sendiri. Penempatan kota dalam etalase kemapanan dan kemewahan di kepala masyarakat menjadikan khitah kota sebagai ruang hidup terkikis dari waktu ke waktu.

Sederhananya, kota yang semakin padat dari hari ke hari, menampung jutaan manusia, beton-beton berat yang tertancap di dalamnya untuk memuaskan syahwat konsumerisme para pemodal, menjadi "ruang sakit" bahkan "ruang pembunuhan" bagi mereka yang hidup di dalamnya.

Degradasi kota inilah yang langsung atau tidak langsung mengubah perilaku masyarakat, etika yang tidak senonoh, perilaku lucah, dan hilangnya sopan santun. Yang lebih fatal, masyarakat kota dijangkiti masokisme sosial, sadar kalau ini keliru, itu salah, tapi justru menikmatinya, walau dengan rasa sakit.

Ada banyak potret sederhana yang bisa kita cermati bahwa degradasi kota secara masif mengubah watak masyarakat. Kemacetan misalnya, yang menjadi hantu belau masyarakat perkotaan. Kondisi macet di jalanan dapat meningkatkan emosi masyarakat yang menggunakan kendaraan.

Mereka menjadi tidak sabar, pemarah, bahkan tidak segan-segan melakukan pelanggaran lalu lintas. Hal ini jika diakumulasi dari hari ke hari, bulan ke bulan, bahkan tahunan akan memproduksi masyarakat yang berwatak bengis. Sebagai contoh di Jakarta, terjadi dominasi mayoritas di lampu merah.

Lampu lalu lintas berwarna hijau untuk pengendara di sisi kanan, namun karena jumlah pengendara di sisi tersebut sedikit, sedangkan jumlah pengendara di sisi lainnya sangat besar, meskipun lampu menunjukkan berwarna merah, pengendara dalam jumlah besar yang keluar sebagai pemenang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline