Di lembah sunyi, logistik tertinggal,
Kotak suara menjadi bayang-bayang malam,Formulir tak berjejak, terlupakan dalam sepi,C-Plano lenyap, D-Hasil entah ke mana pergi.
Rekapitulasi bagai kilat yang datang mendadak,
Tangan tergesa-gesa menggenggam angka-angka,
Suara dihela, membengkak seperti awan badai,
Namun siapa sangka hujan tak pernah turun di sini.
Kubu-kubu menghunus kata-kata, lalu api membakar,
Satu rumah, dua rumah, lalu seribu jiwa takut,
Luka-luka di tubuh bukan hanya oleh senjata,
Tetapi oleh harapan yang gugur sebelum sempat tumbuh.
Di meja rapat, keputusan lahir prematur,
Undangan saksi? Ah, hanya sekadar wacana,
Sementara penduduk berteriak di jalan setapak,
"Di mana keadilan?" Tapi suara itu tenggelam.
Dugaan-dugaan menari di puncak bukit tinggi,
Sistematis, terstruktur, masif: kata-kata berat bagai batu,
Tapi siapa yang memikul? Oh, hanya kabut pagi,
Yang membungkus fakta-fakta dengan selimut diam.
Tertinggalnya logistik menjadi kronik kekal,
Selembar kertas kosong jadi saksi pemilu,
Lalu gugatan naik ke mahkamah langit,
Di situ: hukum mencari kursi di antara tumpukan abu.
Benang kusut ini mungkin takkan terurai,
Atau justru sengaja dibiarkan kusut?
Seperti api yang berkawan dengan asapnya,
Seperti angka yang bersekutu dengan sunyi.
Intan Jaya, menanti pagi di mana suara benar dilahirkan,
Di mana bupati tak lagi bayangan di dinding lorong,
Dan demokrasi tak lagi mengemis pada juri sunyi.(DR)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI