Bisakah anda bayangkan sebuah negeri tanpa tanah air? Tak perlu repot-repot untuk berimajinasi mengenai itu, karena realitanya negeri ini telah berada dalam situasi negeri tanpa tanah dan air. Dalam ulang tahun Partai Rakyat Demokratik (PRD) tanggal 22 Juli 2011 Wanda Hamidah, Permadi SH dan segenap Komite Pimpinan Pusat PRD telah menyadari itu dan bergerak lebih lanjut dengan mendeklarasikan Gerakan Pasal 33 yang bertujuan mengembalikan bumi, air, udara dan kekayaan alam yang terkandung di nusantara untuk kemakmuran rakyat sesuai amanat pasal 33 Undang Undang Dasar 1945.
Sejak rezim militerisme Orde Baru berkuasa maka dengan resmi pula negara ini berada dalam cengkeraman kapitalisme global. Semua hasil tambang republik ini dieksploitasi oleh korporasi global dengan hanya menyisakan sedikit saham dan sedikit pajak untuk negara. Begitu pula dengan tanah, air dan udara. Perusahaan-perusahaan multinasional telah secara legal, dengan bantuan Undang Undang atau Peraturan Pemerintah, menguasai untuk kepentingan mereka bukan untuk kepentingan rakyat.
Padahal para pendiri bangsa telah melihat visi ke depan berdasarkan sejarah panjang negeri yang kaya hasil bumi ini bahwa bila seluruh hasil alam negara ini tidak dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat maka akan terulang kembali penjajahan a la VOC dengan busana yang baru.
Negeri gemah ripah loh jinawi ini adalah incaran sepanjang masa dari kepentingan-kepentingan global. VOC telah membuka jalan untuk itu, perusahaan dagang Hindia Belanda ini sudah mengeruk semua untuk diperdagangkan di pasaran Eropa. Dan karena korupsi VOC dibubarkan serta digantikan Pemerintah Kerajaan Belanda untuk terus mengontrol hasil alam negeri ini.
Tetapi apakah sejak Proklamasi Kemerdekaan 17 Agutus 1945 maka kendali kekayaan negeri ini berpindah tangan? Kenyataannya korporasi global terus mengintai dan sejak Orde Baru berkuasa mereka semakin melenggang dengan legal. Bahkan semakin mengganas setelah reformasi.
Kenapa ini bisa terjadi? Jawabannya terletak pada kemauan Pemerintah untuk berdikari yang kian melemah. Dengan alasan tidak adanya dana untuk eksplorasi dan eksploitasi maka rezim Orde Baru memberikan konsesi hasil tambang kepada Perusahaan-perusahaan multinasional, dan alasan serupa terus dilanggengkan hingga kini oleh penguasa. Tidak hanya hasil tambang, tetapi juga perkebunan, tanah, air dan udara juga dikuasai oleh korporasi global.
Indonesia adalah sumber bahan baku bagi negeri-negeri kapitalis, karena itulah penanaman modal asing marak mendominasi. Ironisnya, negeri ini juga pasar potensial bagi korporasi global karena jumlah penduduk yang banyak. Menjadi lucu membaca berita bahwa negara dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia mengimpor garam. Tidak hanya menjadi pasar yang menguntungkan, Indonesia juga pemasok tenaga kerja murah di dunia.
Gambaran riilnya adalah; Korporasi global menanamkan modalnya di Indonesia dengan bahan baku yang ada di Indonesia, memakai tenaga kerja Indonesia dan hasilnya di jual di Indonesia sementara keuntungan menjadi milik sepenuhnya korporasi global tersebut.
Kemakmuran hanya menjadi milik sekelompok elit yang cuma 5% dari seluruh rakyat, sementara 95% lainnya hanya disisakan 20% hasil pembangunan. Dengan argumen bahwa elit ini juga rakyat maka mereka leluasa untuk terus memperkaya diri lewat pengendalian distribusi kekayaan negara secara legal. Elit ini hanya kaki tangan korporasi global namun mereka lah yang mengatur agar keberadaan perusahaan multinasional abadi di negeri ini.
Undang-undang menjadi jalur legal formal untuk memuluskan rencana itu. Air yang menjadi kebutuhan hidup rakyat telah di privatisasikan melalui UU no 7/2004, dominasi swasta terhadap kebutuhan listrik rakyat dikendalikan dalam UU No 20/2002, untuk kontrol terhadap pertambangan mineral dan batubara dirancanglah UU No 4/2009. Kesemuanya bermuara terhadap penguasaan asing atas hasil bumi Indonesia.
Di DKI Jakarta, sebagaimana yang diorasikan Wanda Hamidah anggota DPRD DKI Jakarta, penguasaan sumber daya air oleh dua perusahaan asing, Lyonnaise dan Thames, yang dilakukan sejak tahun 1998 membuat Pemprov DKI memiliki utang Rp 900 milyar yang harus dibayar setiap tahunnya lewat APBD DKI. Hutang ini terjadi karena Pemprov DKI melanggar pasal kontrak yang berbunyi:..apabila Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak menyetujui kenaikan harga tarif air, maka kedua operator asing akan membebankan selisih Water Charge (imbalan air) dan Tarif Air kepada Pemprov DKI sebagai utang. Dan utang Rp 900 milyar itu adalah APBD yang semestinya dipergunakan untuk pembangunan dan kemakmuran rakyat tetapi malah dibayarkan untuk keuntungan dua perusahaan asing.
Masih di DKI Jakarta, Wanda juga menyuarakan kasus privatisasi kebablasan yang di seluruh dunia hanya terjadi di DKI Jakarta, dimana masyarakat harus membayar tiket untuk menikmati keindahan alam lautan yaitu di Ancol. Tidak terbayangkan berapa keuntungan yang diraih pengelola Ancol dengan mengeksploitasi pantai Ancol yang tersedia gratis dari Yang Maha Kuasa untuk manusia. Kemanakah keuntungan itu mengalir? Tentu saja tidak kepada kemakmuran rakyat.
Kemana perginya kemakmuran rakyat? Tanah pun yang menjadi anugrah yang Maha Esa telah dikapling oleh swasta, petani harus berjuang tanpa dukungan negara untuk memperoleh kembali lahannya. UU Land Reform belum lagi selesai, maka makin berkuasalah kapitalisme menguasai tanah-tanah di republik ini dengan mengorbankan petani yang tak memiliki kekuatan baik secara hukum atau ekonomi.
Invasi asing di bidang telekomunikasi pun mencapai mayoritas, 70% modal asing menguasai bisnis telekomunikasi, akibatnya udara kita pun telah dimiliki asing dan kita sebagai konsumen membayarkan keuntungan bagi swasta asing terus menerus.
Impor yang meraksasa dalam segala kebutuhan rakyat menjadi bukti tidak adanya kemauan kuat dari penguasa untuk memakmurkan rakyat. Karena impor berarti membeli dengan memakai uang rakyat dalam APBN/APBD. Beras, gula, daging sapi, garam, kedelai dan lain-lain adalah kebutuhan rakyat yang harus diimpor setiap tahunnya. Lalu kemana julukan negeri gemah ripah loh jinawi itu hengkang? Kebijakan yang tidak berpihak kepada penguatan sumber daya perkebunan telah menjadikan produksi perkebunankita terus melemah dan menjadi alasan yang sah untuk mengimpornya.
Pasal 33 UUD 1945 berbunyi:
BAB XIV
KESEJAHTERAAN SOSIAL
Pasal 33
1. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan.
2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara.
3. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Kalimat-kalimat diatas jelas menunjukan keberpihakan pemerintah haruslah terhadap kemakmuran rakyat bukan kepada keuntungan kapitalisme global lewat perusahaan-perusahaan multinasionalnya. Tetapi bagaimana menjadikan Pasal 33 agar kembali menjadi rujukan negara? Dalam hal ini rakyat menjadi motor yang menentukan karena menyerahkan sepenuhnya kepada kemauan pemerintah adalah hal yang menggelikan. Rakyat menjadi kekuatan pendesak bagi pemerintah yang abai, karena rakyat adalah mayoritas, rakyat adalah 95% penduduk yang hanya mendapat sisa 20% kekayaan negara. Rakyat yang berdaulat akan menyadari kekuatannya, rakyat yang demokratik akan mengenali hak dan kewajibannya, rakyat yang bersatu akan mengendalikan penguasa agar kembali kepada cita-cita negara sebagaimana yang diamanatkan dalam UUD 1945.
Rakyat adalah penentu dari kembalinya tanah dan air bagi negeri ini.
baca pula:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H