Lihat ke Halaman Asli

Mencari Gubernur dari Masjid

Diperbarui: 9 November 2015   08:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Meskipun proses pemilihan gubernur Propinsi Banten akan berlangsung akhir tahun 2016 dan pemilihannya akan dilakukan pada tahun 2017, namun hiruk pikuknya mulai terasa di media massa local, dengan pemberitaan yang terkadang bernada advertorial tentang beberapa sosok tokoh yang di duga akan maju sebagai bakal calon gubernur. Bahkan beberapa kalangan petinggi dari partai politik sudah sesumbar menyebut nama secara jelas tokoh yang akan diusungnya pada pemilihan gubernur tahun 2017 nanti.

Dari diskusi yang penulis lakukan melalui laman facebook dengan beberapa pegiat media social tersebut, muncul beberapa gagasan yang terdengar sepintas agak ‘nyeleneh’ namun bila berkaca dari lingkungan propinsi banten yang dikenal sebagai daerah relijius pada masa kesultanan pada sejak abad 15 hingga 18, dan menyimak berbagai fakta yang terjadi selama proses politk kepala daerah setelah era reformasi, maka sebetulnya gagasan tentang sosok atau figure yang hendak diusulkan, sangatlah masuk akal sehat, terutama bagi ummat muslim yang sangat meyakini prediksi ilahiah dari Al-qur’an dan Al Hadits.

Ketika seorang rekan dunia maya bernama Mihdar menampilkan foto salah satu tokoh yang digadang oleh partai politik di FB, tiba tiba muncul komentar dari rekan lain yakni Pak Irfi yang kurang lebih berbunyi “untuk mengukur integritasnya, apakah sang calon terbiasa shalat subuh dan isya di masjid?”.

Sejenak penulis termenung membaca komentar tersebut yang terdengar seolah ‘anti mainstream’. Namun setelah direnungkan sesaat, maka pertanyaan tersebut sangat substansial bagi sosok seorang calon pemimpin jika kita meng-imani hadist sebagaimana salah satu butir rukun iman.

Dalam sebuah riwayat hadit dituliskan “Abu Hurairah r.a. mengatakan bahwa Rasulullah bersabda, "Tidak ada shalat yang lebih berat atas orang munafik daripada shalat subuh dan isya. Seandainya mereka mengetahui pahala nya, niscaya mereka mendatanginya meskipun dengan merangkak. Sesungguhnya saya ingin menyuruh seseorang azan dan iqamah, kemudian menyuruh yang lain menjadi imam shalat berjamaah. Sementara saya sendiri pergi mengambil obor. Lalu, kubakar orang-orang yang tidak datang shalat (berjamaah)"

Sudah sangat jelas yang dimaksud hadits tersebut bahwa orang yang merasa berat untuk melaksanakan shalat isya dan subuh berjamaah merupakan orang yang munafik, dalam arti kata terdapat perbedaan antara ucapan, perasaan, dengan perbuatan. Yang dalam bahasa kepemimpinan modern dinamakan tidak memiliki integritas.

Padahal salah satu syarat pemimpin adalah memiliki yang dinamakan integritas, yang maknanya menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah “mutu, sifat, atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan; kejujuran”. Dalam pengertian lain dapat disebutkan bahwa integritas merupakan kesatuan utuh antara niat, pikiran, ucapan dan tindakan. Sehingga lawan kata dari integritas adalah kemunafikan.

Lalu secara awam mengapa shalat Isya dan Subuh dijadikan tolak ukur untuk mengetahui kadar integritas seorang muslim?

Dalam beberapa literature disebutkan bahwa kedua waktu shalat tersebut memang memiliki tantangan yang sangat berat ketimbang waktu shalat yang lain. Shalat Isya dilakukan ketika seseorang baru kembali dari kegiatan bekerja dan dalam keadaan letih/lelah sehingga biasanya memilih untuk mengutamakan rehat ketimbang bersegera mengejar shalat berjamaah di masjid. Sedangkan shalat Subuh menjadi memberatkan karena pada waktu tersebut biasanya seseorang masih tertidur nyenyak dalam balutan kehangatan selimut. Itulah sebabnya ada kalimat bijak yang berbunyi “orang yang kuat bukanlah yang bisa meng-angkat besi baja, namun yang bisa meng-angkat selimut yang masih menempel pada saat mendengar panggilan adzan subuh”

Dari ilustrasi diatas, menjadi hal yang masuk akal bila kebiasaan menjalankan ibadah shalat isya dan shalat subuh dijadikan tolak ukur mengenai integritas seorang muslim. Sehingga untuk menjadi seorang pemimpin yang mengemban amanah masyarakat, akan sulit diwujudkan bila menjalankan perintah dari Sang Maha Pencipta saja masih sering di-abai-kan.
Pertanyaan berikutnya yang berkembang adalah apakah betul bila seorang pemimpin yang SELALU melakukan shalat berjamaah tidak akan melakukan tindakan tercela, seperti melakukan tindak korupsi?

Bila kita meng-imani Al-qur’an sebagai firman Allah SWT yang memiliki kebenaran mutlak, maka sesuai bunyi surat Al-Ankabut ayat 45 yakni ““Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” . Maka seharusnya yang selalu menjaga dan melakukan shalat berjamaah dapat tercegah dari perbuatan keji dan mungkar termasuk perilaku korup.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline