Beberapa tahun terakhir, terutama setelah presiden Jokowi dilantik menggantikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai kepala negera republic Indonesia, istilah ‘perang asimetris’ mencuat dan mengemuka menjadi perbincangan di perbagai forum, terutama setelah kebijakan Presiden Jokowi yang proaktif mengundang investor asing untuk menanmkan modalnya dan bahkan mengerjakan proyek investasi di Negara Indonesia, sehingga tidak sedikit suara miring yang seolah sang Presiden ‘menjual’ Indonesia kepada para investor asing.
Dari definisi yang disampaikan oleh Dewan Riset Nasional disampaikan bahwa perang asimetris adalah suatu model peperangan yang dikembangkan dari cara berpikir yang tidak lazim, dan di luar aturan peperangan yang berlaku, dengan spektrum perang yang sangat luas dan mencakup aspek-aspek astagatra yang merupakan perpaduan antara trigatra yang meliputi aspek geografi, demografi, dan sumber daya alam/SDA; dan pancagatra yang meliputi aspek: ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Perang asimetri selalu melibatkan peperangan antara dua aktor atau lebih, dengan ciri menonjol dari kekuatan yang tidak seimbang.
Menurut kutipan diatas, inti atau cirri yang menonjol dari perang asimetris adalah kekuatan yang tidak seimbang. Karena pengertian asimetris sendiri yaitu tidak simetris atau dengan kata lain dapat diartikan tidak seimbang.
Rupanya, istilah asimetris tidak hanya terjadi dalam kaitan perang di tingkat nasional dan internasional. Di tingkat local dan regional-pun sangat Nampak pertarungan asimetris yang terjadi antara para calon kepala daerah yang akan mengikuti kontestasi dalam pesta besar pemilihan kepala daerah serentak yang akan digelar pada bulan desember 2015.
Disebut tidak berimbang, karena pada sebagian daerah yang melaksanakan pilkada pada tahun ini terjadi pengumpulan banyak partai pada satu kubu, sementara pada kubu lain sangat sedikit dan bahkan tidak memenuhi syarat jumlah minimum yang dibutuhkan untuk dapat mendorong calon kepala daerahnya. Hal ini terjadi terutama pada calon yang berasal dari pihak petahana (incumbent), dimana memang memiliki daya tarik yang sangat tinggi bagi pihak parpol dikarenakan selain sangat populis karena pernah menjabat dan biasanya memiliki sumber daya yang lebih dari memadai ketimbang calon pesaingnya.
Berkumpulnya dukungan partai politik terhadap salah satu calon terjadi salah satunya disebabkan kelangkaan stok kader parpol yang memiliki kemampuan ekonomi yang cukup untuk menggerakan mesin parpol untuk meraih simpati dan suara masyarakat. Sehingga ketika dihadapkan pada kenyataan lingkungan yang pragmatis maka parpol cenderung mendukung calon yang telah populis dan memiliki sumber daya yang cukup untuk membiayai ‘mahar politik’ yang diperlukan oleh elite partai politik.
Sementara sang penantang yang akan ikut bersaing biasanya mengalami kesulitan untuk mendapatkan perahu atau kendaraan politik guna memenuhi persyaratan pencalonan. Karena banyak parpol yang sudah menyewakan dirinya kepada calon lain yang bisa memberikan dana yang lebih besar dan lebih popular sehingga mempunyai peluang yang lebih besar untuk meraih kemenangan.
Sekalipun sesuai aturan pilkada kali ini alat peraga kampanye merupakan tanggung jawab KPU selaku penyelenggara, namun masih dibutuhkan biaya lain diluar alat peraga tersebut. Sebut saja untuk membayar jasa tim sukses sejak dari tingkat kabupaten/kota hingga tingkat Rukun Warga, biaya operasional tim dari pihak partai politik, dan yg lebih besar adalah biaya ‘serangan fajar’ sebagai sebuah istilah halus dari money politik untuk membeli suara dengan hitung per jiwa pilih.
Sehingga dapat dipastikan angka minimal dalam rentang milyaran rupiah dibutuhkan bagi seorang calon yang akan mengikuti Pilkada. Dan bukan merupakan rahasia bila ada seseorang yang telah mengeluarkan dana lebih dari dua milyar rupiah-pun gagal mendapatkan kendaraan politik sebagaimana kita simak pada pemberitaan di media massa.
Itulah sebabnya timbul dugaan munculnya calon boneka di beberapa daerah manakala muncul calon penantang dengan jumlah kursi yang sangat minim sekedar memenuhi syarat pencalonan, sementara figure yang dimunculkan-pun tidak popular di wilayah pemilihan dan memiliki sumberdaya ekonomi yang dianggap minim oleh public. Karena dalam penilaian public, sang penantang tersebut bagaikan meng-garami air laut bila di perbandingkan dengan calon yang menjadi lawannya tersebut.
Akibat dari ketidak seimbangan pertarungan tersebut, di beberapa daerah di Indonesia sudah muncul kalimat “tinggal ketuk palu” sebagai istilah yang digunakan guna menggambarkan ‘kepastian’ pihak tertentu untuk memenangkan pilkada, sekalipun pilkada belum dimainkan atau dilaksanakan.