Lihat ke Halaman Asli

KAA dan Penjahan Ekonomi

Diperbarui: 17 Juni 2015   07:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Entah mengapa, di tengah berita tentang kesibukan persiapan peringatan Konferensi Asia Afrika yang dipusatkan di Jakarta dan bandung, saya justru teringat sebuah buku berjudul ‘Pengakuan Bandit Ekonomi” karya John Perkins seorang yang mengaku sebagai Bandit Ekonomi, sebuah istilah yang menggambarkan sebagai profesi seseorang yang bertujuan menghancurkan perekonomian sebuah Negara yang sedang berkembang.

Disebut menghancurkan perekonomian, karena melalui tangan tangan para bandit tersebutlah sebuah Negara ‘dipaksa’ secara sukarela menggadaikan berbagai sumber daya ekonomi yang dimilikinya melalu serentetan operasi khusus dalam bidang ekonomi, seperti melakukan pinjaman luar negeri untuk berbegai proyek proyek besar yang seolah sangat dibutuhkan Negara tersebut untuk mencapai kemakmuran dan kejahteraan bagi masyarakatnya.

Menurut Perkins berbagai pinjaman yang diberikan lembaga keuangan dan Negara asing tersebut tidak terlepas dari bagaimana peran para bandik ekonomi untuk memoles laporan pertumbuhan ekonomi sebuah Negara dengan menguatkan berbagai instrument ekonomi yang positif seperti cadangan devisa dan surplus perdagangan luar negeri yang baik serta laju inflasi yang rendah, sehingga dapat disimpulkan bahwa Negara Indonesia sangat layak untuk mendapat bantuan pinjaman dari mereka.

Hasil operasi kelompok perkins sejak tahun 1971 tersebut, terbukti menjadi penyumbang utang Negara yang menurut data BI hingga bulan juli tahun 2014 lalu telah mencapai nilai yang melebihi US$ 290 milyar atau setara dengan Rp. 3.500-an trilyun jika di kalikan dengan kurs dollar pada saat tersebut. Dari jumlah utang tersebut, sebesar Rp. 108 trilyun akan jatuh tempo pada tahun 2015. Artinya bila dibandingkan dengan pendapatan Negara sebesar 1700-an trilyun rupiah pada tahun 2015 maka sekitar 6,3% dari pendapatan tsb hanya digunakan untuk membayar hutang. Bukankah ini merupakan sebuah bentuk penjajahan baru? Yakni dijajah oleh si pemberi hutang.

Disebut penjajahan baru karena memang tidak dirasakan sebagai sebuah penjajahan fisik yang di kenal orang sebagai bentuk penjajahan yang menimbulkan banyak penderitaan dan kesulitan hidup, seperti sulitnya mendapatkan bahan makanan, pengobatan, dan hal hal untuk memenuhi kehidupan sehari hari. Padahal berbagai kesulitan yang timbul tersebut mmemang diciptakan oleh para penjajah agar mental kita hancur sehingga akan menyerahkan negara ini kepangkuan para penjajah. Dan setelah menyerah maka perlahan tingkat kesulitan akan mereda hingga sampai pada tingkat kemakmuran sesuai dengan ukuran kemakmuran yang diberikan oleh negera penjajah.

Demikian pula dengan bentuk penjajahan baru saat ini, yakni penjajahan ekonomi. Dimana kita dibuat untuk tergantung dari produk yang dibuat oleh negara negara yang telah ‘berbaik hati’ memberikan pinjamannya kepada kita, bahkan secara sukarela kita harus memberikan beberapa konsesi atau kontrak karya sumber daya alam kepada Negara Negara tersebut. Itulah sebabnya tidak mengherankan bila ada yang mengatakan bahwa lebih dari 80% sumberdaya alam kita dikuasai oleh perusahaan asing.

Artinya bahwa, tanpa melalui peperangan atau penjajahan fisik, maka melalui cara kerja bandit ekonomi akan menghasilkan hal yang sama dengan penajahan fisik, yakni penguasaan terhadap wilayah secara ekonomi. Bukankah hal itu juga yang menjadi salah satu tujuan penjajahan fisik ketika era sebelum KAA dilakukan pada tahun 1955. Sehingga menghasilkan Dasa Sila Bandung yang sebagian besar berbunyi tentang aturan main kerjasama antar Negara yang harus menghindari intimidasi, agresi dan aneksasi? Silahkan simak poin demi poin dari bunyi dasa sila bandung tersebut :

1.     Menghormati hak-hak dasar manusia dan tujuan-tujuan serta asas-asas yang termuat di dalam piagam PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa).

2.     Menghormati kedaulatan dan integritas teritorial semua bangsa.

3.     Mengakui persamaan semua suku bangsa dan persamaan semua bangsa, besar maupun kecil.

4.     Tidak melakukan campur tangan atau intervensi dalam soalan-soalan dalam negeri negara lain.

5.     Menghormati hak setiap bangsa untuk mempertahankan diri sendiri secara sendirian mahupun secara kolektif, yang sesuai dengan Piagam PBB.

6.     (a) Tidak menggunakan peraturan-peraturan dan pertahanan kolektif untuk bertindak bagi kepentingan khusus dari salah satu negara-negara besar, (b) Tidak melakukan campur tangan terhadap negara lain.

7.     Tidak melakukan tindakan ataupun ancaman agresi mahupun penggunaan kekerasan terhadap integritas teritorial atau kemerdekaan politik suatu negara.

8.     Menyelesaikan segala perselisihan internasional dengan cara damai, seperti perundingan, persetujuan, arbitrasi, atau penyelesaian masalah hukum , ataupun lain-lain cara damai, menurut pilihan pihak-pihak yang bersangkutan, yang sesuai dengan Piagam PBB.

9.     Memajukan kepentingan bersama dan kerjasama.

10.   Menghormati hukum dan kewajiban–kewajiban internasional

Jika disimak setiap poin dasa sila tersebut, maka dengan menggantikan suasana kebatinan saat dilahirkannya yakni ketika maraknya penjajahan fisik dan digantikan dengan penjajahan ekonomi yang terjadi dalam beberapa dasa warsa ini, maka isi dasa sila tersebut tetap relevan untuk di gaungkan, karena faktanya memang banyak sekali hal hal yang bertentangan dengan dasa sila tersebut, terutama terkait dengan penjajahan dalam bidang ekonomi.

Sebut saja poin 2 tentang kedaulatan dan integritas teritorial, jika dikaitkan dengan kebebasan produk dan perusahaan asing menghabisi daya tahan produk dan perusahaan pribumi melalui sederetan aturan tata niaga internasional yang hampir dapat dipastikan selalu mengalahkan kepentingan dalam negeri, seperti impor gula, kedelai, bahkan beras atau bahan makanan pokok lainnya.

Sedangkan pada poin 4 tentang campur tangan, bukankah bila perkins jujur menceritakan pengalamannya bahwa selama ini dia bertugas untuk ikut mengatur, mengawal bahkan meng-eksekusi berbagai campur tangan tersebut, sekalipun kadang tidak nampak sebagai campur tangan dari pihak pemerintah asing, namun semua itu bermuara kepada kepentingan negara asing.

Dan secara jelas pada poin 6 tentang peraturan dan pertahanan kolektif, bila dikaitkan dalam bidang ekonomi, maka hari ini peraturan internasional mana yang diacu? Bukankah aturan internasional yang dibuat sebagian besar terselip upaya melindungi kepentingan negara negara besar dan maju tersebut? Dan menempatkan Negara yang sedang berkembang dalam posisi yang selalu lebih lemah daya tawarnya.

Dari beberapa gambara tersebut, sudah selayaknya jika Indonesia sebagai salah satu pemrakarsa Konferensi Asia Afrika pada tahun 1955 yang dapat membuahkan hasil nyata yakni meng-akhiri penjajahan fisik di seluruh dunia dengan cara damai, maka hari ini kembali berjuang untuk menjadi ‘prime mover’ bagi Negara Negara ‘anggota’ KAA untuk dapat membebaskan diri dari penjajahan ekonomi yang secara faktual sedang terjadi dan dialami oleh hampir semua Negara seang berkembang di seluruh dunia. Bahkan secara nyata bahwa agresi militer yang dilakukan oleh beberapa Negara besar, sebenarnya hanyalah selubung untuk menutupi maksud dari penjajahan  ekonomi guna menguasai sumber daya alam Negara yang di duduki tersebut.

Jadi, kibarkan semangat dasa sila bandung sebagai modal untuk pertarungan berikutnya, membebaskan diri dari penjajahan ekonomi oleh Negara maju.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline