Lihat ke Halaman Asli

Perubahan, Penyerupaan, dan Pengupahan

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Perubahan

Menjelang pemilu bulan april pada tahun ini, kosa kata “perubahan” semakin menggaung setelah kembali digunakan oleh banyak orang menjelang dan sesudah reformasi 1998. Bahkan para motivatorpun sering mengutip kalimat “tidak ada yang abadi di dunia, semua berubah, dan hanya perubahan itu sendiri yang abadi”. Kalimat tersebut rupanya diambil dari perkataan Herakleitos seorang filsuf yang hidup pada abad ke-5 sebelum masehi. Dia mengatakan “panta rhei kai uden menei” yang berarti, semuanya mengalir dan tidak ada sesuatupun yang tinggal tetap. Menurut Herakleitos memang tidak ada yang tetap dan bersifat permanen di alam semesta ini, semua sedang berproses menjadi.

Hari ini-pun banyak sekali tagline tagline dari para calon legislatif yang mengusung kata perubahan sebagai kalimat sakti untuk menyihir minat pilih masyarakat. Padahal perubahan yang ditawarkan seperti menjanjikan kesehatan gratis, pendidikan bebas biaya, dan perubahan lainnya sebetulnya sudah menjadi keniscayaan karena memang semua itu sudah menjadi perogram dari pemerintah pusat. Tapi juga siapapun yang menjanjikan perubahan bukanlah sebuah kebohongan sama sekali, karena memang hidup ini adalah perubahan. Bahkan herakleitospun pernah mengatakan bahwa “engkau tidak dapat turun dua kali ke sungai yang sama” ,maksudnya adalah karena air sungai tersebut selalu mengalir dan telah tergantikan airnya oleh air yang datang dari hulu. Sehingga tidak pernah ada kejadian yang identik karena setiap detik waktu bergerak menggantikan waktu sebelumnya. Hanya saja masalahnya apakah berubah menjadi lebih baik atau menjadi lebih buruk.

Tentu saja yang dijanjikan oleh para caleg tersebut adalah perubahan untuk kehidupan yang lebih baik. Inipun masih jadi pertanyaan, kehidupan siapakah yang lebih baik. Apakah kehidupan masyarakat yang lebih baik, atau kehidupan sang caleg itu sendiri yang lebih baik, mengingat pen-caleg-an pada hari ini hampir kehilangan makna ideologis bagi para politisi yang mengikutinya. Sebagian besar mereka lebih menggunakan sudut pandang bahwa menjadi legisatif itu sebagai lahan pekerjaan untuk merubah nasib ketimbang sebagai lahan pengabdian untuk masyarakat konstituennya.

Buktinya untuk tingkat lokal, koq bisa bisanya lolos anggaran pembangunan sebuah daerah yang meng-alokasikan belanja makan dan minum para pejabatnya sebesar Rp. 2,95 Miliar sementara anggaran untuk penanggulangan gizi buruk HANYA Rp. 230 juta. Itu artinya mata dan pikiran para legislatif tersebut tertutup untuk memilah mana kepentingan rakyat dan mana kepentingan pejabat. Mungkin juga hal itu terjadi karena rapat pembahasan dilaksanakan di hotel yang mewah dan dalam udara dingin yang justru membuat badan dan pikiran lebih enak untuk istirahat ketimbang untuk bekerja.

Padahal menurut Herakleitos gerak perubahan itu dilambangkan seperti api bisa merubah apa saja yang dibakarnya menjadi abu dan asap, namun api tetaplah api, dia tidak ikut berubah dalam proses tersebut. Sayangnya, berdasarkan fakta yang terjadi belakangan hari, justru aktor aktor yang menyuarakan perubahan malah larut berubah mengikuti kondisi yang ingin dirubahnya, seperti para aktifis yang gemar menyuarakan kebenaran dan menolak korupsi namun koq malah menjadi salah satu unsur pendukung atau pelaku korupsi manakala terpilih menjadi pejabat publik atau anggota legislatif.

Penyerupaan

Guna meningkatkan daya jual agar ‘dibeli’ atau dipilih oleh masyarakat maka banya caleg yang melakukan penyerupaan atau dalam bahasa arab dikenal dengan istilah tasyabbuh. Para caleg melakukan tindakan yang menyerupai watak atau karakter yang disukai oleh masyarakat secara umum, seperti tampil agamis, sederhana, gemar membantu, berjiwa sosial tinggi, tidak pelit, jujur, dan nilai nilai kepribadian lain yang luhur. Memang banyak juga caleg yang sejak awal memiliki kepribadian seperti itu, tapi tidak sedikit juga yang dengan bersusah payah memoles diri dan kepribadiaanya untuk menjadi ‘orang baik’, meskipun sehari harinya termasuk kaum yang culas dan kikir.

Penyerupaan seperti ini dapat dengan mudah dilakukan melalui proses pencitraan dengan melibatkan banyak media yang dibantu oleh konsultan pencitraan. Para ahli tersebut bisa membuat seorang yang pelit jadi nampak royal, seorang yang kaku menjadi terlihat supel, seorang kapitalis bisa dicitrakan memiliki jiwa sosial yang sangat tinggi, dan lain sebagainya.

Para pihak yang ingin dinaikkan ratingnya dan daya jualnya tersebut tidak segan segan membayar konsultan pencitraan hingga sekaliber Stanley Greenberg yang distigmakan sebagai konsultan kelas internasional yang mengurus pencitraan jokowi. Meskipun demikian tidak ada salahnya menyewa konsultan pencitraan bila memang kepribadian yang kita miliki memang sesuai dan tidak jauh dari pencitraan yang ingin di tonjolkan. Karena pada prinsipnya pencitraan tersebut layaknya meningkatkan kekuatan merek (branding) guna memperkuat positioning yang membedakan calon satu terhadap calon yang lain.

Yang secara etika tidak boleh dilakukan adalah melakukan penyerupaan yang dipaksakan sesuai dengan penampilan yang dikehendaki masyarakat, meskipun sebenarnya diri dan pribadinya jauh dari penampakan hasil pencitraan tersebut. Karena secara etika hal tersebut dapat dikatakan sebagai sebuah kebohongan dan pembodohan publik yang dapat membuat masyarakat kecewa manakala setelah terpilih menampilkan hasil kerja yang sangat jauh berbeda dengan janji dan tampilan ketika masih menjadi caleg.

Pengupahan

Hal terakhir yang dibutuhkan untuk mewujudkan perubahan yang dicanangkan dalam masa sosialisasi tersbut adalah faktor pengupahan atau faktor biaya yang diperlukan untuk menggerakkan mesin pengumpul suara.

Mengutip sebuah media online dituliskan berita yang berbunyi : “Anggaran Rp500 juta ternyata hanya mampu memenuhi kebutuhan pembuatan alat peraga kampanye. Biaya yang dikeluarkan tidak hanya untuk menutup kebutuhan kampanye. Supaya bisa berkompetisi pada pemilu mendatang, seorang caleg bisa mengeluarkan 2–3 lipat dari anggaran kampanye. Peneliti korupsi dari Pukat UGM Hifdzil Alim menilai jumlah itu muncul merujuk sistem rekrutmen caleg oleh partai politik (parpol) saat ini, yakni perekrutan tidak berdasarkan kaderisasi. Parpol cenderung bersifat terbuka dengan menjaring caleg sebanyak- banyaknya tanpa mempertimbangkan kualifikasi dari calon wakil rakyat yang dipasang”

Membaca berita hasil kajian tersebut, rasanya memang ada benarnya. Karena ketika mendaftarkan diri ke parpol saja sudah ada kegiatan transaksional untuk menentukan nomor urut kecil supaya mudah dilirik oleh calon pemilih. Dan meski jumlah biayanya bervariasi tapi tetap saja berada pada angka jutaan rupiah. Belum lagi sang calon tidak mungkin bergerak sendiri mengumpulkan massa, sehingga dia harus membuat jaringan kerja yang terdiri dari kordinator tingkat RW, desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten, dan propinsi tergantung level dimana dia mencalonkan diri.

Belum lagi biaya untuk meng-eksekusi suara pada hari H pencontrengan. Biaya ini dibutuhkan karena sebesar apapun biaya yang sudah dikeluarkan semasa sosialisasi, pada masyarakat tertentu yang sudah terbiasa dengan tawar menawar dan transaksional, mereka akan memilih calon yang dapat memberikan uang atau materi dengan nilai yang paling besar. Dan keadaan ini sangat disadari oleh sebagian besar caleg sehingga mereka memang sudah mempersiapkan segala sesuatunya sedemikian rupa. Mereka sadar bahwa dalam era sekarang sang caleg transformatif harus berhadapan dengan caleg transaksional, caleg yang memiliki visi harus berhadapan dengan caleg yang memiliki gizi, sehingga pada gilirannya caleg yang amanah harus berhadapan dengan caleg yang khianat.

Terlebih di era materialisme yang membuat sebagian besar masyarakat menjadi pragmatis, mereka hampir tidak percaya dengan janji janji politik yang memuat kalimat kalimat luhur. Sebagian besar masyarakat hanya percaya terhadap sesuatu yang bersifat tunai atau cash. Hal ini terjadi karena memang otak kita sudah dicuci dengan suguhan berita kasus kasus korupsi yang masuk kedalam telinga kita dan terlihat oleh mata kita setiap hari. Hal ini tentu akan mempengaruhi cara pandang kita terhadap para pelaku korupsi itu sendiri, dan diantara para pelaku tersebut banyak yang menyandang predikat sebagai anggota legislatif. Setelah setiap hari kita disiram oleh info korupsi lalu dihadapkan pada kenyataan berkurangnya kualitas pelayanan publik yang diterima sebagai salah satu hasil kinerja mereka dalam bidang pengawasan pembangunan. Komplit sudah bangsa ini berjalan menuju masyarakat yang disebut dengan ‘zero trust society’, masyarakat yang hilang kepercayaannya terhadap para pengurus negara ini. Relakah Kita ???




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline