Lihat ke Halaman Asli

Anak Betawi Asli Jadi Gubernur Banten

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ditengah tengah hiruk pikuk tersentuhnya Gubernur Banten oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)  yang selama satu dasa warsa terakhir dikenal sangat kebal terhadap aparat hukum, menyeruak sebuah keniscayaan bahwa wakil gubernur Rano Karno akan menjadi Gubernur Banten sesuai aturan perundang-undangan. Sontak semua pihak terutama unsur strategis yang memegang kunci kunci kebijakan di tanah banten bergejolak.

Para politisi sahut bersahutan di media masa dengan para pengamat membicarakan berbagai peluang dan kesempatan serta formulasi pemegang tampuk kepemimpinan banten pasca ditahannya Atut oleh KPK. Dan tidak sedikit pula yang menduga bahwa adik sang gubernur yaitu Tatu Chasanah akan melenggang menuju kursi banten 2 setelah meraih kedudukan sebagai ketua DPD Golkar Propinsi Banten. Meskipun dugaan ini ditepis yang bersangkutan karena mungkin menghindari sorotan media baik di tinggkat lokal, regional bahkan nasional.

Terlepas siapapun yang akan menjadi wakil gubernur, posisi Rano Karno perlahan dan pasti akan melenggang menggantikan ratu Atut seiring proses hukum KPK yang tidak mengenal proses SP3, dalam arti seseorang yang sudah menyandang status Tersangka oleh KPK maka proses hukumnya dipastikan akan berlanjut ke pengadilan dengan status terdakwa, dan manakala seorang kepala daerah menjadi terdakwa berdasarkan UU No.32/2004 maka yang bersangkutan akan diberhentikan sementara dari jabatannya. Sehingga tanpa ada hak angket pemakzulan gubernur dari DPRD Banten-pun sudah barang tentu ‘pemakzulan’ yang dimaksud akan menjadi kenyataan, tinggal menunggu waktu sebagaimana dikatakan oleh wakasekjen Golkar Nurul Arifin kepada media.

Dengan kondisi seperti itu, yang menarik saat ini bukan membicarakan apakah dan kapan Ratu Atut akan mundur, melainkan membicarakan tentang Rano yang merupakan personifikasi dari si Doel anak betawi aseli yang dalam film dan sinetron digambarkan sebagai sosok yang kerjaannya sembahyang dan mengaji serta memiliki mental ‘jawara’ versi betawi.

Dari profil yang dipublikasikan di media masa, nampaknya pengalaman politik dalam pilkada Rano baru muncul ketika digadang gadang sebagai calon wakil gubernur DKI pada pertengahan tahun 2007, yang mungkin keberanian itu muncul karena didorong beberapa hasil jejak pendapat yang menempatkan figur Rano pada posisi signifikan sebagai calon pemimpin DKI , namun rencana itu kandas ditepi jalan karena tiba tiba dia malah memilih mundur, dan memberikan dukungan dalam bentuk iklan untuk pasangan cagub dan cawagub lain. Dan pengalaman pertama untuk bersaing dalam pilkada-pun kandas dengan meninggalkan ‘kekecewaan’ kepada tim suksesnya.

Namun hebatnya, pada akhir tahun 2007,  Rano kembali muncul dalam kancah pilkada di Kabupaten Tangerang dengan menjadi pasangan Ismet Iskandar dan memenangkan pilkada yang digelar pada tahun 2008 tersebut untuk periode 2008-2013. Kemenangan tersebut diduga karena memang Rano populer di tengah tengah masyarakat dengan figur si Doel-nya dan ditambah dengan kepiawaian Ismet dalam menjalankan mesin politik dari partai pendukungnya. Artinya dapat diduga kala itu, Ismet memilih Rano karena popularitasnya yang memang tinggi, sehingga layak dijadikan semacam ‘vote getter’.

Baru menjalani kepemimpinan sebagai wakil bupati selama kira kira 3 tahun dengan minim publikasi di Kabupaten Tangerang, ‘si-Doel’ pada tahun 2011 kembali menyita perhatian publik dengan kemunculannya sebagai calon wakil gubernur mendampingi Ratu Atut Choisiyah yang hendak bertarung untuk periode kedua-nya. Yang sebenarnya publik kala itu memiliki prediksi bahwa Ratu Atut dipasangkan dengan siapapun akan dengan mudah memenangkan pertarungan, karena infra struktur sosial politik yang telah dibangun dengan baik selama menjadi gubernur pada periode pertama. Jadi terpilihnya Rano sebagai cawagub merupakan sekedar upaya meyakinkan penambahan suara dari suara minimun yang telah diprediksi oleh konsultan politik dan timses dari Ratu Atut. Sekali lagi, Rano terpilih karena popularitasnya dan didongkrak pula dengan pemutaran kembali sinetron ‘si doel anak sekolahan’ di televisi swasta nasional pada bulan bulan menjelang Pilgub Banten dilaksanakan. Sehingga konstituen yang kebanyakan masih bersifat tradisional dan emosional sangat mudah digiring untuk mencoblos pasangan Atut-Rano.

Dengan pengalaman dua kali menjadi wakil kepala daerah yang minim prestasi dan kebijakan atau keputusan yang menonjol, nampaknya mengkhawatirkan bagi sebagian penikmat pertunjukan tingkah polah pemerintahan propinsi banten ini, bila Rano terdaulat menjadi Gubernur Banten. Bahkan di kalangan ARWAH (Arus Bawah) mulai dimunculkan Isyu tentang Rano yang bukan seorang putera daerah.

Menyikapi Isyu tersebut, menurut penulis sudah tidak relevan untuk saat sekarang ini, karena di NKRI yang dikenal Plural memang harus menerima siapapun dari suku manapun sebagai pemimpin. Karena berdasarkan pengalaman penulis, tidak ada korelasi antara putera daerah atau bukan, dengan kemauan untuk mengabdikan diri guna membangun daerah. Penulis jadi ingat ketika hadir sebagai peserta aktif pada seminar yang membahas hasil studi kelayakan Banten untuk menjadi propinsi yang mandiri, yang diadakan oleh BAPPEDA Jawa Barat pada tanggal 22 Maret 2000 di hotel Graha Santika Bandung. Dalam acara tersebut ada seorang yang menyampaikan pendapatnya kurang lebih berbunyi sebagai berikut “ saya (menyebut nama), putera daerah asli banten menyatakan tidak setuju dengan rencana pembentukan propinsi banten”. Mendengar pernyataan tersebut saya langsung mengacungkan tangan dan berkata “ saya bukan kelahiran banten, tapi berdasarkan data dan fakta yang ada maka saya sangat setuju kalau Banten berdiri menjadi propinsi yang mandiri terlepas dari propinsi Jawa Barat’. Dari fakta tersebut ternyata tidak semua putera daerah asli banten yang memiliki ‘passion’ untuk membangun daerahnya secara benar. Artinya, mempertentangkan gairah pengabdian pada daerah dengan tema putera daerah atau bukan, nampaknya bukan sesuatu yang tepat pada era sekarang ini.

Yang terpenting dilakukan adalah menumbuhkan kesadaran bersama bahwa ada ketidak lancaran dalam pemerintahan propinsi banten, yang pada gilirannya kelak akan menghambat pelayanan kepada publik. Tapi sekali lagi, alih alih memikirkan kelancaran jalannya pemerintahan, koq para elite malah disibukkan dengan polemik antara mempertahan kekuasaan dan menjatuhkan kekuasaan, hingga terdengar ide konyol untuk menyerahkan tampuk kepemimpinan gubernur kepada PLT dari pemerintah pusat dan berupaya mempercepat pilkada banten karena sang wagub-pun dihadang isyu tidak sedap karena disandera  ‘kartu truf’ oleh beberapa kalangan elite di propinsi banten.

Kalau seperti ini keadaannya, maka kita harus bertanya siapa yang akan diuntungkan dengan gonjang ganjing tiada berujung ini?? Apakah sebaiknya biarkan saja tiap tiap kabupaten/kota menjalankan program pembangunannya masing masing tanpa adanya kordinasi dari propinsi sebagai kepanjangan tangan pemerintah pusat. Tokh beberapa tahun lalu juga ada kepala daerah yang berkata bahwa pemerintah propinsi banten itu seperti salah satu kabupaten/kota di banten karena merekapun bersaing melaksanakan proyek proyek pembangunan sendiri sendiri tanpa kordinasi dengan kabupaten/kota. Apalagi Rano sebagai wagub sudah menyatakan bahwa pemerintah Propinsi Bahaya bila dalam waktu dekat banyak dokumen yang belum ditanda tangani oleh Sang Gubernur

Tentunya, keadaan hari ini sangat memprihatinkan bagi pihak pihak yang memperjuangkan pembentukan propinsi banten, karena sama sekali tidak terpikir banten akan terkenal ke se-antero penjuru negara ini dengan kasus korupsinya. Sehingga hendaknya kasus yang telah terjadi dapat menjadi pelajaran dan memunculkan niat bersama untuk memperbaikinya. Dan upaya memperbaikinya dapat mulai diperlihatkan dengan tidak memperpanjang kondisi ‘grid lock’ seperti yang terjadi sekarang ini. Seolah semua pihak hanya mengutamakan ambisinya masing-masing, berlomba untuk mengambil kesempatan di depan, sehingga persis seperti keadaan kalau lampu pengatur lalu lintas di tomang jakarta mati. Semua mobil berlomba untuk memacu kedepan, hingga pada akhirnya akan terjadi kondisi saling mengunci, semua kendaraan tidak ada yang bisa berjalan sama sekali, maju gak bisa demikian juga mundur gak bisa.

Jadi biarlah semua proses normatif berjalan normal, tidak perlu ada yang berupaya mempercepat, pun demikian juga jangan ada upaya yang memperlambat. Biarlah siapapun yang akan memimpin Banten, sebaiknya anak banten, boleh anak betawi, bisa juga anak priangan, yang penting jangan sampai banten dipimpin oleh anak durhaka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline