Lihat ke Halaman Asli

Bencana Antropogenik

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sejak akhir tahun 2013 hingga awal tahun 2014 paling tidak ada beberapa kejadian bencana besar yang dialami oleh penduduk Indonesia. Dimulai dengan letusan gunung sinabung pada tanggal 15 September 2013 yang menimbulkan penderitaan bagi 3.710 pengungsi pada awal letusan hingga bertambah ribuan lainnya hingga awal tahun 2014 ini. yang sempat ter-abaikan perhatian maupun pembertaannya oleh peristiwa ‘bencana’ banjir yang rutin menerjang ibu kota negara Jakarta serta beberapa daerah lainnya di Indonesia.

Belum habis penderitaan warga sinabung, alam Indonesia yang dikenal indah dan ramah kembali menunjukkan keperkasannya melalui letusan gunung kelud pada hari kamis malam tanggal 13 februari 2014 dengan sebaran abu vulkanik yang luas hingga ke beberapa daerah jawa tengan dan jawa barat. Abu vulkanik yang dimuntahkan-pun menyebabkan sedikitnya 7 Bandar Udara ditutup pada hari tersebut dan beberapa hari setelahnya.

Pasca bencana alam besar tsunami aceh pada tahun 2004, penulis pernah membuat opini terkait keberadaan Indonesia di antara jajaran gunung berapi dunia yang dikenal dengan istilah ring of fire atau disebut juga dengan istilah ‘sabuk gempa pasifik”. Yaitu deretan gunung berapi aktif yang pernah memuntahkan abu vulkanik dan laharnya pada waktu lampau, seperti letusan gunung krakatau pada tahun 1883 atau Gunung Merapi yang sejak abad 10 hingga saat kini telah meletus sebanyak kurang lebih 80 kali. Itulah sebabnya mengapa nusantara yang kita tinggali ini dikenal sebagai daerah yang subur tempat tumbuhnya banyak ragam tumbuh tumbuhan.

Meski Republik Indonesia berada di dalam wilayah ring of fire tersebut, namun kesadaran akan bahaya bencana alam yang mengancam dan sewaktu waktu menimpa baru muncul setelah tsunami aceh pada tanggal 29 desember 2004. Penulis ketika itu pernah menjadi notulen pada sebuah acara seminar tahun 2005 yang bertujuan membangunkan kesadaran bahwa negara kita memang berada di wilayah rawan gempa, sehingga kondisi ini seharusnya diketahui dan dipahami oleh sebanyak mungkin masyarakat Indonesia. Seminar yang diselenggarakan di Lembaga Ketahanan Nasional (LEMHANNAS) tersebut merupakan hasil kerjasama antara Yayasan Jati Diri Bangsa bersama pihak Lemhannas.

Dengan memiliki kesadaran bahwa kita hidup di daerah yang rawan bencana maka diharapkan timbul kebiasaan positif untuk hidup berdampingan dengan bencana sebagaimana masyarakat jepang yang menyadari bahwa mereka tinnggal di daerah rawan gempa bumi, sehingga setiap kegiatan pembangunan selalu memasukkan variabel kegempaan dalam penghitungan formulasinya. Sebut saja bagaimana mereka membangun rumah dan apartemen yang tahan terhadap gempa, dan membiasakan diri serta menyiapkan mentall agar tidak mudah panik pada saat terjadi gempa.

Sebenatnya selain bencana alam (kosmogenik) yang disebabkan semata mata oleh perilaku alam semesta, ada pula jenis bencana lain yang lebih mengerikan dampaknya terhadap ummat manusia yaitu bencana yang disebabkan oleh perilaku manusia (antropogenik) sepert banjir dan longsor akibat kebiasaan masyarakat membuang sampah sembarangan dan eksploitasii hasil hutan secara membabi buta sehingga menyebabkan kekeringan pada musim kemarau. Atau bencana yang diakibatkan oleh kecelakaan industri kimia.

Secara nyeleneh, penulis berupaya memasukkan bencana politik sebagai bagian dari bencana antropogenik. Karena kebijakan penanganan bencana alam yang diputuskan oleh pemegang kebijakan yaitu pemerintah dan legislatif merupakan bentuk kebijakan atau keputusan politik. Sehingga bila beberapa tahun lalu masyarakat di sinabung pernah merasa diabaikan penderitaannya oleh pemerintah pusat, maka pasti ada kesalahan dalam pengambilan kebijakan atas penangan bencana tersebut..

Bencana alam tidak bisa direncanakan kejadiannya, karena itu merupakan geliat alam untuk menjaga harmoni lingkungannya. Namun Bencana Antropogenic sebenarnya dapat diprediksi dan merupakan hasil terencana akibat perilaku manusia. Sebut saja bencana banjir yang dengan mudah diduga karena pada prinsipnya air mengalir dari atas ke bawah, dan untuk mengalir tersebut air akan mencari jalannya sendiri menuju laut, sehingga bila ada hambatan di aliran sungai sebagai jalannya air, maka akan melimpah ke luar alirannya sehingga menyebabkan banjir. Atau longsor yang terjadi akibat pepohonan selalu ‘paku’ tanah tersebut digunduli sehingga berkurangnya hambatan air atau tanah untuk turun ke bawah.

Lazimnya bencana antropogenik terjadi akibat kelalaian manusia dalam mengantisipasi dampak dampak yang terjadi karena perlakuan manusia terhadap alam. Bagaimana air bah yang melanda wasior Kabupaten Teluk Wondama papua barat yang terjadi pada bulan oktober 2010 akibat kebijakan penanganan ilegal logging yang tidak tegas dan bahkan ter-ulang pada bulan november 2013 meski dengan jumlah korban yang lebih sedikit.

Biasanya kita bereaksi terhadap bencana setelah bencana terjadi, sebenarnya kita dapat menyiapkan diri untuk menghadapi bencana alam dengan tujuan untuk mencegah / mengurangi akibatnya atau melunakkannya. Oleh karena itu dikenal perencanaan prabencana yang meliputi tiga kegiatan yaitu pencegahan terhadap bencana ( disaster prevention ), mitigasi bencana dan penyiapan menghadapi bencana ( disaster preparadness ).

Dan untuk melaksanakan kegiatan perencanaan pra bencana tersebut dibutuhkan keputusan politik agar berjalan secara aktif dan antisipatif terhadap bencana. Kita bersyukur sejak kejadian tsunami dan bencana bencana besar lainnya, pemerintah membentuk Taruna Siaga bencana (Tagana) sebagai unit gerak cepat dalam menghadapi bencana. Namun bila terjadi kesalahan dalam pengambilan keputusan politik maka organisasi tersebut tidak akan berfungsi efektif sebagai relawan bencana, malah di beberapa daerah organisasi semacam itu dijadikan batu loncatan sebagaimana KNPI yang memang selama ini digunakan sebagai batu loncatan untuk berkiprah lebih tinggi dalam dunia politik. Padahal organisasi semacam Tagana seharusnya diisi orang orang yang profesional dan terlatih dengan anggota yang memiliki sifat kerelawanan yang tinggi. Sebagaimana negara maju seperti amerika memiliki ‘garda nasional’ yang dilibatkan dalam bencana besar topan sandy pada tahun 2012.

Keputusan politik yang baik terhadap penaggulangan bencana tentunya akan menghasilkan kebijakan publik yang membela kepentingan masyarakat korban bencana alam khususnya dan masyarakat luas yang tidak menjadi korban bencana umumnya. Melalu kebijakan politik yang jelas maka masyarakat korban bencana alam tidak akan mencari cari dimana pemerintah pada saat terjadinya bencana alam. Siklus manajemen bencana yang telah disusun akan bekerja otomatis manakala bencana alam terjadi. Setiap pihak yang terlibat mengetahui persis siapa  berbuat apa. Namun karena  kurang  ‘concern’nya perhatian pemegang kebijakan yang ada terhadap masalah bencana maka banyak bencana alam yang tidak diantisipasi dengan baik sehingga para korban bencana merasa diabaikan.

Kalau menggunakan ilmu gathuk gathuk, yaitu sebuah upaya mencari hubungan antara sesuatu yang sebenarnya tidak memiliki hubungan. Maka bencana alam yang terus melanda kita dan intensitas yang menguat menjelang tahun 2014 ini, mungkin merupakan pertanda alam. Karena alam-pun memiliki bahasanya sendiri untuk memberi tanda yang membawa makna bagi siapapun yang berusaha membuka pikirannya dalam menerima tanda tanda tersebut. Paling tidak, bila bencana alam (kosmogenik) sulit untuk diantisipasi, maka dampak bencananya yang harus kita lunakkan (mitigasi). Kebijakan mitigasi tersebut memang tidak mudah, namun kesemuanya membutuhkan keputusan politik untuk membuat kebijakan publik pada pelaksanaanya (misal: kebijakan membangun waduk/bendungan, dll)

Karena tahun ini merupakan tahu politik, maka mungkin saja alam sedang mengingatkan kita untuk berhati hati dalam mengambil sikap pilihan. Karena siapapun yang akan kita pilih sebagai wakil rakyat, maka mereka yang terpilih seolah mendapatkan cek kosong untuk membuat kebijakan publik melaluii undang undang dan peraturan yang akan dibahas lalu ditetapkan.

Tentunya kita sudah mengetahui perilaku kebanyakan politisi 10 tahun terekhir ini, yang ternyata terkuak bahwa sebagian besar dari mereka justru menjadi politisi bukan sebagai sarana untuk mengabdikan dirinya bagii kepentingan masyarakat, akan tetapi menjadikan politik untuk memenuhi ambisi dan kehidupan pribadinya yang ber-lebih lebihan. Sehingga tidak bisa dihitung dengan jari berapa banyak politisi yang akhirnya tertangkap oleh aparat penegak hukum. Dan disisi lain borok sebagian aparat penegak hukum-pun semakin terbuka bahwa mereka justru memperdagangkan hukum untuk membeli kebutuhan materi dan mengejar kepuasan nafsunya. Ditambah peran tokoh agama yang semakin hari justru mempertontonkan perilaku yang tidak berbeda jauh dengan para politisi, agama dijadikan tameng untuk mengejar kehidupan dunia.

Tinggal masyarakat kecil yang tidak berdaya dan menderita karena kebijakan yang dibuat oleh para elite mereka. Bukan mustahil ditengah ketidakberdayaannya mereka hanya bisa meratapi nasib dan berdo’a kepada Sang Maha Kuasa, yang pada gilirannya Allah SWT menggerakkan kekuasaannya kepada alam untuk bereaksi mengingatkan para hambanya yang sudah mulai lalai mengejar tujuan hidup hingga mendzalimi sesamanya.

Jadi…..hati hati dengan bencana politik, karena ia akan ber-imbas kepada urusan yang lain, dan bencana politik seharusnya bisa diantisipasi karena merupakan bentuk bencana antropogenik alias bencana yang disebabkan oleh perilaku manusia. . Wallahu A'lam Bishawab

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline