Istilah demokrasi berasal dari bahasa yunani yaitu demos (rakyat) dan kratos (pemerintah) yang bila diterjemahkan secara langsung dapat diartikan sebagai bentuk pemerintahan dari rakyat. Itulah sebabnya Abraham Lincoln pernah mengatakan bahwa demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat – oleh rakyat – dan untuk rakyat.
Sekalipun Negara Indonesia konon menganut sistem demokrasi, namun hal tersebut tidak tertuang secara nyata dalam UUD 1945, kecuali hanya ada 3 kali kata ’demokratis’ dan hanya 1 kata ’demokrasi’.
Tiga kalimat yang mengandung kata demokratis (bersifat demokrasi) adalah; satu, pada ayat 4 pasal 18 tentang pemerintahan daerah yang berbunyi ”Gubernur, Bupati, dan Walikota masing masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis” yang merupakan ayat tambahan hasil amandemen UUD 45 perubahan ke-dua.
Dua, pada ayat 5 pasal 28i tentang Hak Asasi Manusia yang berbunyi “Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan” yang merupakan pasal dan ayat tambahan hasil amandemen UUD 1945 perubahan ke-dua.
Tiga, pada ayat 2 pasal 28j tentang Hak Asasi Manusia yang berbunyi ”Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undangundang dengan maksud sematamata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilainilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis” yang merupakan pasal dan ayat tambahan hasil amandemen UUD 1945 perubahan ke-dua.
Sedangkan pasal yang menggunakan kata ’demokrasi’ hanya ada pada ayat 4 pasal 33 tentang Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial yang berbunyi : ”Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional” yang merupakan ayat tambahan hasil amandemen UUD 1945 perubahan ke-empat.
Sedangkan bila merujuk pada pasal pasal UUD 45 naskah asli yang belum di-amandemen maka tidak ada satupun pasal yang memuat kata ’demokrasi’ maupun ’demokratis’. Namun justru kata tersebut muncul dalam bagian penjelasan UUD 45. kata demokrasi digunakan pada penjelasan tentang penetapan anggaran pendapatan dan belanja yang melibatkan DPR. Dan penjelasan pasal 33 bahwa pasal tersebut sebagai dasar dari demokrasi ekonomi. Serta perekonomian yang berdasar atas demokrasi ekonomi. Sedangkan kata demokratis muncul pada penjelasan tentang pasal 28,29, dan 34 bahwa pasal tersebut membuat hasrat bangsa Indonesia untuk membangunkan negara yang bersifat demokratis.
Lain halnya dengan bentuk dan kedaulatan yang sudah baku dinyatakan dalam pasal 1 yang pada UUD 45 asli berbunyi ”Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik”. Dan pada amandemen UUD 45 perubahan ke-tiga ditambahkan 2 ayat yang berbunyi ”Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar” dan ”Negara Indonesia adalah negara hukum”, artinya selama kita mengakui UUD 45 sebagai dasar konstitusi maka tidak boleh ada peng-ingkaran terhadap ketiga ayat tersebut. Sehingga ide yang pernah diungkapkan oleh Amien Rais pada tahun 1999 jelas bertentangan dengan UUD 45, kecuali bila memang ada kesepakatan besar untuk mengubah bunyi pasal 1 tersebut.
Artinya sistem demokrasi yang kita laksanakan masih merupakan pilihan yang tidak dibakukan pelaksanaannya dalam UUD 1945. Disebut pilihan karena paling tidak ada dua macam pelaksanaan demokrasi yang ada di seluruh dunia ini, yaitu demokrasi langsung dan demokrasi perwakilan. Dan pelaksanaan sistem tersebut sangat dipengaruhi oleh perjalanan sejarah yang sudah dilalui oleh negara negara tersebut.
Bila kita lihat bagaimana negara negara di eropa (barat) melaksanakan demokrasi, maka dapat dipelajarai bagaimana sejarahnya sistem tersebut di adopsi menjadi sebuah sistem kepemerintahan yang dianutnya. Sebelum revolusi perancis berlangsung pada akhir abad 18, pemerintah perancis melaksanakan sistem pemerintahan yang berbentuk feodal, dimana kekuasaan negara dan pemerintah berada di tangan raja. Sistem Kerajaan tersebut dilaksanakan secara turun temurun dengan menampilkan keturunan raja sebagai pemimpin negara pada periode berikutnya. Dalam sistem tersebut, negara dan isinya dikuasai atau dimiliki oleh sang raja. Termasuk penguasaan berbagai faktor faktor produksi dan monopoli kekuasaan di bidang perekonomian baik oleh sang raja maupun para penguasa wilayah yang merupakan bawahan raja sehingga memiliki kewajiban untuk menyetorkan upeti kepada sang raja.
Seiring dengan berjalannya waktu, ketika abad ke-17 maraknya perdagangan internasional, banyak kaum masyarakat biasa yang ikut dalam armada perdagangan tersebut, sehingga mereka mulai mengenal bentuk bentuk armada perdagangan dan pengawalan bersenjata guna mendapatkan rempah rempah. Hasil dari perdagangan internasional yang sangat menguntungkan tersebut pada akhirnya melahirkan kekuatan masyarakat baru yaitu para pedagang memiliki peran strategis bagi kerajaan dan tidak kalah penting dari kaum ningrat dan bangsawan. Mereka (kaum borjuis) inilah yang dikemudian hari melalui kekuatan uang dan senjata yang dimiliki mulai menantang dan menyaingi kaum bangsawan yang memegang kekuasaan dalam pemerintahan atau politik.
Dari cuplikan perjalanan sejarah tersebut, tampak jelas bahwa pelaksanaan demokrasi di eropa lebih cenderung di-inisiasi oleh kekuatan yang menguasai perekonomian. Hal ini sangat jelas mengingat gagasan awal untuk menumbangkan sistem feodalisme adalah karena tekanan kekuasaan raja yang sangat besar terhadap kebebasan kehidupan perekonomian masyarakatnya. Dan sebagai bukti logis yang bisa kita lihat pada hari ini, negara yang menggaungkan sistem demokrasi justru negara negara besar yang pernah dan sedang melakukan penjajahan atas negara lain, baik penjajahan secara nyata maupun dalam bentuk terselubung lainnya. Hal ini justru mengkaitkan kelanjutan sistem merkantilisme yang mengeruk kekayaan alam negara negara berkembang bagi kepentingan negaranya sendiri.
Mengutip sebuah buku kecil karya H. Amin Aryoso, SH selaku ketua Yayasan Kepada Bangsaku, dituliskan bahwa sistem demokrasi yang dipraktekkan di barat adalah individualisme, sehingga kepentingan orang per-oranglah yang menentukan. Dengan demikian keputusan keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak (votting), dengan mengabaikan suara yang kalah. Jelas sekali tergambar bahwa prinsip ini bukan ber-asaskan kebersamaan dan gotong royong. Dan sebagaimana kita ketahui bersama bahwa individualisme merupakan roh-nya kapitalisme dan orang tua kandung dari kapitalisme.
Artinya, jika demokrasi ala barat yang kita laksanakan maka tujuan dibentuknya negara ini sebagai mana yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 tidak akan pernah tercapai. Untuk lebih jelasnya penulis kutipkan kalimat dalam pembukaan UUD 45 yaitu ”untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia”.
Dari penggalan kalimat dalam pembukaan UUD 45 tersebut dapat dipahami bahwa tujuan dibentuknya Pemerintah Negara Indonesia adalah untuk melindungi segenap bangsa, melindungi seluruh tumpah darah, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Semua hal tersebut bersifat tujuan kebangsaan atau tujuan nasional, bukan tujuan orang per orang atau tujuan per individu. Jika demikian adanya maka jelas demokrasi ala barat bukan merupakan bentuk demokrasi yang sesuai dengan semangat kebangsaan negara Indonesia.
Dari sisi lain, banyak juga peneliti atau pengamat yang meragukan tesis demokrasi sebagai pemerintahan dari rakyat-oleh rakyat- dan untuk rakyat. Bahkan tidak sedikit yang mem-plesetkan kalimat tersebut menjadi dari rakyat-tapi bukan untuk rakyat, apalagi oleh rakyat. Hasil pengamatan Robert Kaplan, pengarang buku The Coming Anarchy, di benua Afrika menunjukkan bahwa demokrasi gagal menyelamatkan benua tersebut, karena bukan melahirkan perpolitikan yang rasional, melainkan hanya melahirkan pertarungan antar suku dan antar agama.
Pendapat Kaplan bahwa demokrasi tidak melahirkan perpolitikan yang rasional ternyata terjadi pula di Indonesia, bagaimana pemilu yang baru lalu diadakan lebih banyak melahirkan pemilik kekuatan modal sebagai pemenang ketimbang, seseorang wakil rakyat yang memiliki gagsan bagus namun minim kekauatan materi untuk melakukan aktifitas transaksional ketika berlangsungnya kompetisi memperebutkan suara masyarakat. Pola pikir rasional dikalahkan oleh sikap pragmatisme yang memang dengan sengaja di skenariokan oleh kaum pemilik modal sebagaimana kaum borjuis yang meng-introdusir pelaksanaan demokrasi pasa masa awal awal era demokrasi modern dimulai.
Meminjam istilah Mancur Olson dalam bukunya yang berjudul Power and Posperity yang memakai istilah roving bandits dan stationary bandits. Maka demokrasi di Indonesia hari ini bagaikan melahirkan roving bandits yang berusaha menghabiskan sebanyak mungkin sumber daya selagi ada kesempatan berkuasa sebelum digantikan oleh calon penguasa baru melalui mekanisme pesta demokrasi 5 tahunan. Sehingga jika demikian adanya maka lebih baik sifat stationary bandits yang menetap sehingga berupaya memelihara kelangsungan hidup masyarakatnya, meskipun tetap saja akan dirampok, namun tidak akan dihabiskan sekaligus.
Jadi, kesimpulan dari tulisan kecil ini, sudah selayaknya kita memformulasi ulang mekanisme demokrasi yang sedang kita laksanakan ini, tokh bukan hal yang tabu bila kita melakukan re-design dari pelaksanaan demokrasi agar bisa digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan berbangsa dan bernegara. Bukankah sebaiknya kita mempertemukan demokrasi modern dengan modal sosial yang telah turun temurun kita miliki seperti semangat gotong royong, kebiasaan musyawarah, dan asas mufakat yang telah lama ber-akar dan menjadi budaya di tengah tengah nusantara. Jadikanlah Pancasila dan UUD 1945 sebagai rujukan berpijak dalam memandu perilaku berbangsa dan bernegara. Karena kedua hal tersebut merupakan sebuah warisan dari para pendiri bangsa ini, sebagaimana negara amerika menjadikan ’deklarasi kemerdekaan’ tahun 1776 dan ’konstitusi amerika serikat’ tahun 1787 sebagai pemandu arah negara amerika serikat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H