Lihat ke Halaman Asli

2015, tahun Prosa Bekerja

Diperbarui: 17 Juni 2015   13:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Setelah berakhir tahun 2014 yang oleh sebagian orang disebut sebagai tahun politik, dimana pada tahun tersebut dilakukan pemilihan umum untuk memilih anggota legislatif dan pemilihan presiden sebagai pemegang tampuk kepemimpinan nasional di Indonesia. Kini kita memasuki tahun 2015 sebagai awal lembaran baru bagi dinamika kehidupan kemasyarakatan terutama dalam bidang sosial politik dan ekonomi .

Bila tahun 2014 kemarin masyarakat disibukan dengan proses pemilihan para wakil rakyat dan pemimpin yang ‘menjajakan’ dirinya dengan berbagai kalimat cantik yang memuat visi-misi serta mimpi mimpi indah sebagai penarik minat konstituen untuk membeli dagang yang dijajakan tersebut melalui kartu suara pada kegiatan pemungutan suara. Maka tahun 2015 ini, sudah saatnya masyarakat menuntut kepada personal hasil pilihannya tersebut untuk membuktikan janji yang telah diberikan agar wujud menjadi kenyataan dalam kehidupan sehari hari.

Dengan kata lain, bila ketika kampanye mereka menawarkan puisi sebagai bentuk sajian yang di dagangkan, maka seharusnya tahun 2015 ini menghidangkan prosa untuk disantap oleh para pembeli yang telah memberikan alat tukarnya yaitu suara pilihan. Artinya terjadi perubahan makna konotatif (kiasan) yang diberikan pada saat kampanye menjadi makna denotatif (sebenarnya) setelah terpilih, baik sebagai wakil rakyat atau presiden.

Sebagaimana perbedaan visi yang dibuat dengan kalimat penuh emosi dan ekspresif, menggambarkan berbagai janji dalam bentuk fantasi dan mimpi indah semisal bentuk puisi, dengan prosa sebagai bentuk pengungkapan gagasan yang bersifat epis atau naratif sehingga lebih mudah untuk diaplikasikan dalam kehidupan sehari hari. Itulah sebabnya Richard Nixon, mantan presiden Amerika Serikat dalam bukunya yang berjudul ‘Leaders’ menyatakan bahwa Kepemimpinan itu pusi dan manajemen itu prosa.

Dalam buku “Menjadi Pemimpin Politik”, M Alfan Alfian, menuliskan bahwa “Menurut Nixon kepemimpinan itu lebih dari sekedar soal teknis meskipun hal ini penting. kepemimpinan itu ibarat puisi, bersentuhan dengan symbol, citra, dan ide-ide penting yang dapat menggubah wajah sejarah. Nixon menguraikan bahwa rakyat berffikir dengan nalarnya, tetapi bergerak berdasarkan emosinya, sedangkan pemimpin mampu menunjukan sentuhan nalar dan emosi sekaligus.”

Endi Biaro dalam resensinya terhadap buku tersebut menuliskan pendapatnya tentang pernyataan Nixon tersebut bahwa “Di sini jelas, pemimpin bergerak dalam konteks imajinasi, menggerakan emosi, melakukan abstraksi, dan bermain dengan gagasan-gagasan visioner. Sementara manajer adalah bekerja karena adanya job description yang jelas. Pemimpin mengejar target yang akan datang, sementara manajer mengejar target hari ini”

Menurut penulis, pokok permasalahan yang dirasakan oleh segenap anak bangsa pada hari ini adalah adanya disparitas atau kesenjangan antara janji muluk yang diberikan oleh para pemimpin bangsa ini, baik pemimpin politik, pemimpin nasional, pemimpin organisasi, dan para pemimpin lainnya dengan kenyataan yang diberikan oleh mereka terhadap para konstituen khususnya dan masyarakat luas secara umum.

Masyarakat pada saat ini tidak bisa lagi diberikan sekedar gagasan visioner yang abstrak dan masih berbentuk imajinasi, namun membutuhkan hasil nyata sebagaimana yang biasanya diberikan oleh para manajer sebagai instrumen organisasi yang bisa memberikan pelayanan barang atau jasa secara langsung kepada masyarakat.

Cukup sudah arah perjalanan visioner bagaimana yang akan dituju oleh bangsa ini, ditetapkan oleh para pihak yang memegang tampuk kepemimpinan nasional saat ini. Dan mulailah bekerja untuk mengejar pencapaian sasaran demi sasaran dari visi yang telah disepakati tersebut. Sebagaimana  visi yang ditawarkan oleh pemerintahan hari ini adalah “Jalan Perubahan Untuk Indonesia
Yang Berdaulat, Mandiri, & Berkepribadian”. Dan sebaiknya visi yang di usung seharusnya mendukung pencapaian tujuan nasional yang telah termaktub dalam pembukaan UUD 1945 yaitu  MEMAJUKAN KESEJAHTERAAN UMUM, MENCERDASKAN KEHIDUPAN BANGSA, DAN IKUT MELAKSANAKAN KETERTIBAN DUNIA.

Salah satu faktor kunci untuk mencapai kesejahteraan tersebut, menurut Daron Acemoglu salah seorang penulis buku “Why Nations Fail” adalah desain institusi politik dan ekonomi yang dimiliki oleh negara tersebut. Sekalipun kita dianugerahi bumi nusantara yang memiliki kekayaan alam yang melimpah dan sejarah gemilang, namun kegagalan dalam mendesain institusi ekonomi dan politik akan dapat membawa kegagalan pula untuk mencapai tujuan kesejahteraan yang di cita-citakan.

Arif Wijayanto, dalam resensinya tentang buku tersebut menuliskan “Institusi politik inklusif akan mendorong tumbuhnya institusi ekonomi inklusif yang melindungi hak milik, menciptakan lapangan permainan yang setara, mendorong investasi pada

teknologi baru dan peningkatan kualitas SDM untuk menunjang pertumbuhan ekonomi.  Sebaliknya institusi politik ekstraktif mengkonsentrasikan kekuasaan pada sedikit orang dan mendukung institusi ekonomi ekstraktif yang melindungi kepentingan elit dan mencegah munculnya pesaing. Institusi ekonomi ekstraktif mengambil sumberdaya dari banyak orang oleh penguasa. Suatu bangsa akan sukses jika institusi politik dan ekonomi inklusif. Sebaliknya suatu bangsa akan gagal jika kedua institusi itu bersifat ekstraktif yang melindungi kekuasaan politik dan ekonomi kepada segelintir elit yang mengambil keuntungan dari masyarakat luas”

Kesimpulan dari desain institusi ekonomi politik yang disitir oleh Acemoglu, pemerintah Indonesia hari ini harus memilih jenis intitusi yang inklusif bila memang memiliki keinginan yang kuat untuk mencapai visi kedaulatan dan kemandirian yang ditetapkan untuk mencapai kesejahteraan umum bagi masyarakat Indonesia.

Dan bentuk pilihan tersebut harus dinyatakan secara jelas dan tegas dalam bentuk praktik nyata ditengah tengah masyarakat. Sehingga sudah tiba saatnya bagi segenap elemen kepemimpinan di tengah tengah masyarakat untuk bekerja layaknya sebuah prosa yang diucapkan dengan pikiran yang masuk akal sehingga dapat diterima oleh segenap anak bangsa, ketimbang sebuah puisi yang lebih melibatkan perasaan sehingga melibatkan gaya bahasa tinggi dengan penuh kalimat bersayap yang terkadang membingungkan bagi pendengarnya yang memiliki keterbatasan dalam memahami makna yang tersirat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline