Lihat ke Halaman Asli

Otonomi Khusus Papua Untuk Siapa?

Diperbarui: 15 Oktober 2015   08:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam teori kybernologi yang dikemukakan oleh Prof Dr. Taliziduhu Ndraha (mendiang mantan Rektor Universitas Padjadjaran), telah diilutrasikan dengan sangat mudah untuk dipahami bahwa suatu penyelenggaraan pemerintahan baik di tingkat pusat maupun di daerah adalah ibarat perjalanan sebuah kapal penumpang yang sedang berlayar. Dalam pelayaran kapal tersebut mengalami banyak masalah dan tantangan serta keberhasilan-keberhasilan mengatasi masalah tersebut. Apabila suatu ketika Kapal tersebut mendapatkan sebuah tantangan alam atapun bencana sehingga kapal tersebut akan segera karam/ tenggelam, maka sang Nahkoda dan awak kapal harus mendahulukan untuk menolong dan menempatkan para penumpang dalam yang kondisi lemah dan tidak mampu menyelamatkan diri sendiri sebagai prioritas untuk diselamatkan terlebih dahulu dengan peralatan keselamatan yang tersedia. Perahu-perahu sekoci serta baju pelampung akan diperuntukan bagi para lanjut usia, wanita hamil atau orang sakit/ cacat dan anak-anak dibawah usia 12 Tahun. Setelah semua orang yang dalam kategori “paling lemah dan tak berdaya” itu dapat dipastikan aman dan selamat, barulah penumpang lainnya seperti wanita dan pria muda dan orang dewasa umumnya mendapat alokasi peralatan keselamatan yang lain seperti baju pelampung dan/atau bantal berenang namun tanpa sekoci karena mereka dapat bertahan dengan kekuatan mereka untuk mengapung sambil menunggu untuk diselamatkan kapal penolong lain bersama-sama.

Dari ilustrasi diatas bila dibawa ke dalam konteks pemerintahan di Tanah Papua, maka Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua yang ‘diteken’ oleh Presiden Megawati Soekarnoputri adalah ibarat sebuah kapal baru di Tanah Papua untuk menggantikan kapal-kapal yang telah tenggelam sebelumnya yaitu Kapal Orde Baru dan Kapal Reformasi. Sang Nahkdoda, para Mualim dan awak kapal hingga yang paling kecil jabatannya adalah perangkat pemerintah mulai dari Gubernur hingga kepala kampung. Perjalanan kapal Otsus ini telah mengalami banyak hambatan dan kendala pada dekade pertama perjalanannya dari dua setengah dekade rencana pelayaran dan sedang mengalami bencana. Beberapa kendala mendasar adalah Perdasi dan Perdasus yang baru ditetaskan sejak tahun 2008 hingga 2012 karena perlu adanya lembaga pertimbangan produk hukum diatas yaitu MRP yang juga baru terbentuk di tahun 2005. Banyak juga Perdasi/Perdasus yang belum diratifikasi menjadi Perda kab/kota sehingga alokasi dana Otsus dalam APBD Kab/Kota belum mengakomodir pelaksanaan Otsus hingga ke tingkat masyarakat. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi serta Komisi Hukum Ad hoc juga mestinya telah dibentuk agar implementasi Otsus dapat berjalan lancar.

Kekurangan-kekurangan diatas telah mengakibatkan pemanfaatan dana yang hadir karena adanya kewenangan khusus tersebut menjadi tidak terstruktur dengan baik. Sasaran pemanfaatannya sendiri tidak dapat dipetakan sesuai alokasi yang seharusnya seperti anggaran kesehatan seharusnya 15% ataupun pendidikan sebesar 30% dari keseluruhan dana Otonomi Khusus karena belum ada pembagian langsung kepada sektor prioritas program lewat sebuah rencana strategis dalam grand design pelaksanaan. Hal seperti ini telah terjadi sehingga anggaran lebih banyak direncanakan dan mengalir ke program-program dan kegiatan-kegiatan pembangunan daerah sebagai pengisi celah kekurangan atau sekedar ditambahkan pada kegiatan yang sudah biasa dibiayai oleh DAU dan DAK atau pendanaan lain yang diberikan ke daerah. Sebagai contoh adalah pembelanjaan dana Otsus untuk pembelian Kendaraan Operasional dan Pelayanan SKPD di Provinsi atau Kab/Kota seperti Bus, Truck dan kendaraan lainnya untuk kepentingan aksesibilitas dan mobilitas masayarakat, namun yang pada prakteknya malah jarang digunakan oleh masyarakat. Selain itu, pembangunan fasilitas-fasilitas umum dan pelayananan pemerintah seperti Kantor Kampung/Balai Desa serta jalan/ jembatan kampung dan sarana prasarana kampung yang sudah seharusnya menjadi tugas rutin pemerintah daerah juga banyak menelan dana Otsus. Program PNPM Mandiri Respek (sejak 2006) yang menggunakan dana Otsus serta direncanakan dan dikerjakan secara swakelola oleh masyarakat di kampung-kampung untuk membangun fasilitas umum dan memecahkan masalah di kampung-kampung pada hasilnya kurang optimal dan belum bermanfaat bagi masyarakat itu sendiri karena tidak menyentuh langsung kebutuhan dasarnya yaitu penguatan dan perubahan pola hidup serta peningkatan variasi mata pencaharian untuk merubah taraf hidupnya. Hal-hal diatas hanya contoh-contoh kecil dari alokasi penggunaan dana otsus yang kurang efekif dan efisien, tidak tepat sasaran serta tidak dimanfaatkan oleh rakyat itu sendiri untuk merubah kondisi kehidupan mereka.

Perlu untuk selalu diingatkan bahwa persentasi angka kemiskinan di Provinsi Papua dan Papua Barat masih tertinggi secara nasional dan Indeks Pembangunan Manusia masih pada posisi paling buncit di Indonesia. Pemanfaatan dana otonomi khusus yang belum tepat sasaran telah menyebabkan hilangnya ciri khusus pengalokasian dana yang seharusnya menyentuh titik terlemah masyarakat di Tanah Papua yang harus dikuatkan sebagai hakekeat pemberian Otonomi ini, yaitu mereka yang paling miskin, terbelakang dan terpinggirkan. Perlu dimaknai disini bahwa Otonomi Khusus hadir sebagai konsekuensi akhir dari berbagai tuntutan masyarakat Papua untuk ‘merdeka’ baik secara politis maupun secara sosial-ekonomi dan budaya. Aksi-aksi rentetan untuk menuntut perhatian pemerintah agar memberikan status tertentu selepas awal reformasi pasca tahun 1998 adalah dasar mengapa Otonomi Khusus diberikan oleh pemerintah pusat. Hal ini yang harus dipahami benar oleh Eksekutif dan Legislatif serta semua pimpinan aparatur pemerintahan di Tanah Papua dalam merencanakan dan melaksanakan program dan kegiatan berbasis otonomi khusus.

Kebijakan-khusus seperti afirmasi (keberpihakan), pemberdayaan, pendampingan dan perlindungan harus segera dilakukan terhadap sebagian besar masyarakat asli Papua yang sudah sekian lama hidup dibawah garis kemiskinan dan ketidakmampuan. Hal ini dapat dilakukan dengan terobosan-terobosan khusus dalam program-program pengentasan kemiskinan. Bantuan langsung dan cepat dirasakan manfaatnya serta pembinaan agar masyarakat Papua yang paling miskin dan terbelakang dapat cepat maju dan mandiri perlu dilakukan secepatnya. Contohnya dapat disesuaikan dengan 4 (empat) bidang prioritas dalam otonomi khusus seperti untuk bidang infrastruktur yaitu pembangunan rumah layak huni sebagai tempat berteduh dan pencetakan kebun komoditi unggulan diatas hak ulayat masyarakat sendiri. Pada bidang pendidikan yaitu pemberian insentif dan pembiayaan pada pelayanan pendidikan yang inovatif di tingkat dasar untuk mengejar ketertinggalan dan membangun kemampuan dan kompetensi yaitu untuk murid usia sekolah yaitu pada kelas 1 sampai kelas 3 Sekolah Dasar di daerah terpencil dan terisolasi hendaknya dipusatkan pada penguatan 3M yaitu membaca, menulis dan menghitung. Untuk bidang kesehatan yaitu dengan dukungan pendanaan pada pelayanan kesehatan bergerak yang pro aktif dan reguler pada daerah-daerah terpencil dan kantong-kantong kemiskinan serta  jaminan kesehatan  atau bantuan berobat gratis pada penyakit-penyakit menular endemic dan kronis. Pelayanan pendidikan dan kesehatan pada wilayah-wilayah terisolasi dapat memanfaatkan Sarjana lokal dan SDM terdidik asal setempat (lulusan SMU/SMK) dan petugas-petugas organik seperti aparat kemanaan setempat dengan insentif dari pemerintah daerah.

Khusus untuk sektor ekonomi kerakyatan yaitu pemberian bantuan modal usaha dalam berbagai bentuk secara cuma-cuma, pemberian bibit untuk budidaya pertanian, peternakan, perkebunan dan perikanan serta pembinaan dalam pengolahan bahan baku produknya menjadi bahan setengah jadi atau bahan jadi. Untuk pemasaran produk hasil perikanan dan pertanian dalam arti luas harus dilakukan pembinaan agar masyarakat Papua sendiri dapat menjadi pedagang antara atau distributor bagi produk  dari kampung mereka. Hal-hal diatas hanya contoh dari banyak hal yang harus dilakukan agar pemanfaatan dana otonomi khusus dan kewenangan membangun daerah dapat dilakukan dan berhasil membangun manusia Papua yang paling miskin, lemah dan tak berdaya sebagai prioritas utama dengan tepat sasaran. Mereka yang paling miskin di tiap kampung dan distrik hendaknya diidentifikasi dan diberikan prioritas mendapatkan semua bantuan langsung dari beberapa bidang diatas dan dilaksanakan oleh SKPD teknis mulai dari provinsi sebagai koordinator dan SKPD serupa di Kabupaten/Kota sebagai pelaksana. Kiranya kisah ilustrasi Kapal diawal penulisan ini dapat dipahami dan dilaksanakan untuk mempersempit gap kemiskinan dan kesenjangan sosial di Tanah Papua.

Boyke Semuel Jufuway, SH, MPP. (Artikel ini telah terbit di Cenderawasih Pos di Papua edisi 16 Maret 2013)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline