Baru-baru ini, rendang kembali dinobatkan sebagai makanan terlezat di dunia versi CNN. Itu artinya, makanan yang berasal dari ranah Minang ini sudah dua kali memperoleh predikat itu. Sebagai orang Indonesia dan khususnya Urang Awak, tentu saja senang karena makanan Indonesia bisa diterima masyarakat Internasional.
Rasanya tidak ada orang Indonesia yang tidak mengenal rendang. Juga barangkali sebagian besar sudah pernah mencicipinya, paling tidak ketika makan di rumah makan Padang yang tersebar di seantero Nusantara. Atau bisa jadi pernah membuatnya sendiri (tentu saja tidak tiap hari ya, karena harga daging yang terbilang mahal untuk ukuran kantong masyarakat kebanyakan). Coba tanya tukang daging, berapa harga daging sekilo sekarang? Yakin deh, pasti masih di atas 100 ribu. Jadi kalo bikin rendang, paling pada momen-momen tertentu, seperti menyambut Ramadan, Idul Fitri, atau pada kesempatan bagi-bagi daging gratis di Idul Adha. Baru deh masyarakat arus bawah, bisa menikmati daging dengan potongan besar-besar.
Rendang, selain rasanya yang enak, aromanya itu lho, yang bikin nggak tahan. Bisa terserang lapar mendadak. Walau bentuknya coklat dekil kehitaman, atau sebut saja eksotis gitu, ya, tetap saja mengugah selera. Benar nggak?
Tanggal 16-17 Juli yang lalu, diadakan lomba memasak rendang se-Kota Padang, bertempat di Taman Melati, depan Museum Adityawarman. Sebenarnya lomba bikin rendang ini sudah menjadi agenda rutin pihak dinas pariwisata. Setahu saya tiap tahun digelar. Tapi saya sendiri belum pernah menyaksikan event ini. Toh, saya pikir buat apa sih melihat orang bikin rendang, kayak nggak pernah saja bikin rendang. Tanggal 16 kemarin itu, entah kenapa ingin melihat-lihat kayak apa sih lombanya? Seru juga kali ya, melihat ratusan peserta yang memasak rendang di alam terbuka?
Di sana pengunjung bisa melihat cara memasak dan mengolah makanan terlezat di dunia mulai dari proses pembuatannya yang disebut marandang, dan filosofi dari setiap unsurnya seperti daging yang mencerminkan prosperity (kesejahteraan), rempah-rempah mencerminkan enhancement (peningkatan) dan santan kelapa sebagai integrator (pemersatu) dan cabai merah untuk good lesson (pelajaran baik). Semua itu bisa dilihat dari dekat. Tapi itu bukan kata saya. Kalimat di atas saya kutip di sini.
Benar saja, baru saja memasuki area lomba, aroma rendang sudah menguar kuat memenuhi udara di sekeliling area. Betapa tidak, ada sekitar 104 kelurahan di kota Padang mengutus pesertanya, tiap peserta terdiri dari beberapa orang, belum lagi para suporternya. Pada saat saya datang, lomba sudah dimulai. Sebagian besar peserta sibuk mengaduk-aduk rendang yang masih dalam bentuk kalio, tapi ada juga sebagian kecil, rendangnya hampir kering dan menghitam di kuali. Ketika saya tanya sama salah satu peserta, jam berapa lombanya dimulai, katanya jam 9 pagi. Itu artinya kedatangan saya, 1 jam setelah lomba dimulai.
Nah, disitu saya agak heran, kok, ada peserta yang hampir selesai? Bukannya bikin rendang itu lama bisa beberapa jam. Tapi kok ada yang hampir selesai? Jangan-jangan udah dipersiapkan dari rumah, sehingga di sana tinggal mengaduk-aduk doang. Ah, saya nggak boleh suudzon gitu. Toh, ada juga peserta yang rendangnya belum jadi, masih seperti bentuk gulai begitu. Oh, ternyata, kompor gasnya bermasalah. Nyala apinya terlalu kecil. Bahkan ada yang pakai kompor minyak tanah. Untung nggak ada yang pakai tungku. Coba semuanya pakai tungku, dijamin asap pada ke mana-mana.
Bisa kebayang kan, bagaimana aroma rendang menggoda hidung? Tapi yang lebih menariknya bukan itu saja, hampir semua pesertanya memang ibu-ibu, berpakaian ala bundo kanduang dan pakai celemek. Bahkan ada yang pakai kacamata hitam buat menambah gaya penampilan.
Dari satu tempat ketempat lain, saya perhatikan rendang yang mereka buat, gradasi warnanya bervariasi. Ada yang coklat tua, coklat muda, dan ada yang menghitam. Ketika saya tanya salah satu peserta, katanya itu dipengaruhi lama waktu memasak, jumlah dan aneka bumbu yang dipakai. Saya cuma manggut-manggut sok mengerti. Dan ketika saya perhatikan lebih saksama (jiiiah...bahasanya!), rata-rata alat masak yang dipakai tidak ada yang dengan kuali besi, padahal konon, rasa rendang menjadi lebih mantap menggunakan kuali besi.
Tidak hanya lomba masak rendang yang digelar, tapi juga ada semacam bazaar kuliner yang berbaris di tengah lapangan. Ada yang jualan sate, minuman, dan produk makanan khas Minang, dan juga stand pizza rendang yang bernama Dzinx Pizza Rendang. Bisa dibayangkan betapa lezatnya perpaduan antara pizza dengan topping rendang? Hmm, jadi tambah lapar, kan? Sstt, jangan bilang-bilang ya, pemilik Dzink Pizza Rendang ini teman kuliah saya dulu lho yang sekarang berbisnis kuliner. Dan hebatnya lagi teman saya ini meraih juara 2 festival kuliner kali ini (semoga makin sukses dengan bisnis kulinernya, ya, Yebbie).
Pada acara ini saya juga sempat melihat ada beberapa bule Arab yang bersileweran di arena. Oh, ternyata mereka adalah da'i dari timur tengah yang kebetulan menghadiri event pertemuan internasional da'i dan ulama serta "Musabaqah Hifzhil Quran dan As Sunah Nabawiyah" yang digelar tanggal 17-20 Juli lalu. Festival Kuliner kali ini juga untuk memeriahkan event internasional tersebut.
Untuk melihat bagaiman keseruan lomba marandang ini, bisa melihat video di bawah ini.