Lihat ke Halaman Asli

Boyke Abdillah

Hanya manusia biasa

Sinetron Politik yang Tak Kunjung Usai

Diperbarui: 17 Juni 2015   11:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Seolah persoalan tak pernah habisnya di negeri ini. Hilang satu, muncul lagi masalah lain. Sepertinya, masalah baru sengaja dimunculkan untuk melenyapkan masalah lama yang tak kunjung selesai. Persis sinetron yang digandrungi ibu-ibu yang kurang kerjaan. Ada tokoh protagonis, ada tokoh antagonis, ada pemeran pembantu yang memeriahkan jalan cerita, dan ada masalah yang dibesar-besarkan, tentu saja masalahnya tak lain adalah soal uang, harta, dan kekuasaan.  Mereka beradu peran dengan akting yang 'luar biasa'. Si protagonis yang dielu-elukan seakan menghadapi peristiwa pelik, dizalimi, dan tak bisa menentukan sikap. Si Antagonis merasa di atas angin merasa tidak bersalah, dan tanpa beban.

Kongkritnya saya bicara apa? Oke, strike to the point. Saya membicarakan tentang peristiwa yang lagi hangat-hangatnya. Perseteruan antara KPK dan Kepolisian atau yang dikenal Cicak versus Buaya. Saat ini sudah memasuki season 3. Kalau ada 1, 2, dan 3, tentu memungkinkan untuk 4, 5, 6 dan seterusnya. Mungkin tak mau kalah dengan sinetron lawas, Tersanjung, yang punya 7 Season, atau Tukang Bubur Naik Haji.

Sebagai rakyat tak jelas, saya bosan. Kok, dramanya enggak ada habis-habisnya? Selalu berkembang dan berkembang, dan masalah baru yang timbul membuat jalan cerita semakin ruwet dan berkelindan dan berputar-putar disitu saja. Untuk season kali ini, penetapan seorang BG yang dituduhkan tersangka oleh KPK, untuk menjadi Kapolri, telah menyita banyak perhatian dan energi. Masalah yang lain dibongkar-bongkar. KPK dan orang-orangnya ditelanjangi, dicari-cari kesalahannya. Orang-orang yang doyan sinetron politik sudah tahulah jalan ceritanya seperti apa, tak perlu lagi saya bahas. Entar saya kayak ibu-ibu nyinyir kecanduan sinetron.

Satu hal yang saya amati terbukti bahwa yang menjadi tokoh-tokoh dalam drama ini ternyata pertarungan mereka tidaklah untuk kemaslahatan atau kepentingan rakyat. Itu yang saya lihat. Mereka bertarung untuk kepentingan golongan mereka sendiri. Ego sektoral mereka mengemuka untuk saling menjatuhkan. Lihat saja apa yang terjadi. Sekarang muncul lagi berita 21 penyidik KPK akan dijadikan tersangka oleh kepolisian. Eh, masalah-masalah lain menjadi muncul pulak. Di berita tadi pagi di salah satu TV, katanya Suryadarma Ali, dan Anas juga akan mengajukan praperadilan. Kok bisa jadi gini ya?

Kalaulah pihak-pihak yang bertikai, lebih mengutamakan kepentingan bangsa dan negara, dan pihak-pihak yang jadi tukang kipas nyadar diri, pasti tak akan sepelik ini jadinya. Lebih Mengerahkan pikiran dan tenaganya untuk kepentingan dan kemaslahatan bangsa dan negara, bukan untuk kepentingan/ ego sektoral. Ada banyak hal yang harus dikerjakan untuk negeri ini, dan itu membutuhkan energi dan perhatian yang lebih besar dan intens.

Polisi dan KPK punya peranan penting. Kalau nggak ada polisi, apa jadinya keamanan dan ketertiban negeri ini? Begitu juga KPK. Lembaga ini hadir karena penyakit korupsi sudah mewabah di Indonesia yang merusak sendi-sendi kehidupan. Kalau keduanya bersinergi, tentu akan membuat negara ini jauh lebih baik. Kita tentu mengharapkan yang demikian. Negara-negara lain sudah semakin maju, kita memberantas korupsi saja masih belum bisa. Malah pihak yang diharapkan memerangi korupsi asyik gontok-gontokan

Memang harus dikui, mengurus 240 juta jiwa itu bukan pekerjaan mudah, tapi bukannya tidak mungkin kalau semuanya kompak dan bersatu padu dan punya niat memajukan negeri. Atau kah ini merupakan karma dari apa yang diucapkan oleh Bung Hatta? Dulu ketika disidang di pengadilan di Netherland, hakim pernah menanyai Hatta. Apakah engkau dan rekan-rekan seperjuanganmu mampu mengurus sebuah negara?

Hatta langsung menjawab, mampu atau tidak, itu bukan urusan kalian. Kami lebih memilih pulau-pulau di nusantara tenggelam di dasar samudera daripada menggunakan embel-embel Hindia Belanda!

Kedengarannya heroik, bukan? Semoga tidak menjadi karma, walaupun sekarang  mulai terlihat dan membayang, bila tidak diberantas, negeri ini akan tenggelam dalam samudera masalah yang tak kunjung usai, salah satunya korupsi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline