Lihat ke Halaman Asli

Boydo Saragih

Pemerhati Hukum

Mati di Tangan Etika: Kasus BEM FISIP UNAIR dan Kerapuhan Kebebasan Berpendapat Mahasiswa

Diperbarui: 30 Oktober 2024   20:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber gambar: Tempo

Kebebasan berpendapat merupakan hak fundamental yang dijamin dalam berbagai instrumen hukum nasional dan internasional. Di  Indonesia, Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat." Jaminan ini diperkuat oleh UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, yang menjelaskan bahwa hak untuk berekspresi adalah bagian tak terpisahkan dari hak asasi manusia. Dalam ruang lingkup akademis, kebebasan ini tidak hanya berarti penyampaian pendapat di ruang publik, tetapi juga mencakup hak mahasiswa untuk menyuarakan aspirasi dan kritik terhadap kebijakan, baik di dalam kampus maupun terhadap pemerintah, sebagaimana dijelaskan oleh Taufik & Sya'ban (2020) bahwa kebebasan berekspresi adalah inti dari pendidikan demokratis di lingkungan akademik.

Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) menyatakan bahwa setiap orang memiliki hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi, termasuk hak untuk mencari, menerima, dan menyebarkan informasi tanpa ada pembatasan. Demikian pula, Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) Pasal 19 ayat (2) menyatakan bahwa hak atas kebebasan berpendapat tanpa campur tangan pihak mana pun merupakan hak yang harus dilindungi. Ketentuan ini menegaskan bahwa, sebagai bagian dari komunitas akademis, mahasiswa memiliki kebebasan untuk mengemukakan ide dan kritik yang mereka yakini penting untuk perubahan. Kebebasan berekspresi dalam konteks akademis haruslah dipahami sebagai alat untuk mendukung pertumbuhan intelektual dan sosial yang sehat.

Secara normatif, hukum menetapkan kebebasan sebagai hak fundamental; namun, di lingkungan akademik, kebebasan ini sering kali dikendalikan oleh etika kampus yang mencakup norma dan tata tertib tertentu. Etika akademik mengatur perilaku untuk mempertahankan harmoni dan profesionalisme di kampus, tetapi jika etika ini menjadi alat untuk membatasi kebebasan, maka ia bertentangan dengan prinsip kebebasan berpikir yang menjadi inti pendidikan akademik. Misalnya, Mill (1859) dalam On Liberty menyatakan bahwa "pembatasan kebebasan hanya bisa dibenarkan jika melanggar hak orang lain secara nyata."

Peran etika, yang seharusnya menjaga keharmonisan, justru dapat menjadi instrumen kontrol sosial yang mengekang kebebasan jika digunakan secara subyektif. Dalam studi Ethics and Academic Freedom oleh Fish (1994), disebutkan bahwa "etika yang berlebihan di lingkungan akademik dapat menjadi alat yang berbahaya jika diterapkan tanpa pedoman yang objektif." Hal ini relevan dalam kasus BEM FISIP UNAIR, di mana etika kampus menjadi alasan untuk membatasi kebebasan berpendapat mahasiswa, sebuah tindakan yang bisa dianggap melanggar prinsip hukum dan demokrasi.

Kasus BEM FISIP UNAIR menjadi titik terang atas tantangan yang dihadapi kebebasan berpendapat di Indonesia. Ketika BEM FISIP UNAIR mengkritik pemerintah, pihak kampus merespons dengan membekukan organisasi tersebut. Meski pembekuan ini kemudian dibatalkan melalui proses mediasi, tindakan awal pembekuan menciptakan preseden yang berbahaya bagi demokrasi kampus. Tindakan pembekuan atas dasar "melanggar etika kampus" mencerminkan lemahnya perlindungan kebebasan berpendapat di Indonesia, di mana institusi akademik malah mempersempit ruang ekspresi intelektual.

Pembekuan ini memicu pertanyaan mendasar: apakah kritik yang dilontarkan BEM FISIP UNAIR benar-benar melanggar etika, ataukah kampus menggunakan etika sebagai alat untuk mengekang kebebasan? Dalam banyak kasus, pembatasan terhadap kritik sering kali dianggap melanggar prinsip "freedom of speech" yang sangat penting bagi kehidupan akademik yang sehat. Batasan yang bersifat ambigu seperti etika kampus dapat menjadi alat represi apabila tidak didefinisikan secara jelas. Hal ini juga menimbulkan tantangan bagi kebebasan akademik di Indonesia, di mana batasan etika bisa menjadi senjata untuk membungkam kritik dan perbedaan pendapat.

Untuk memahami lebih dalam kasus ini, penting untuk merujuk pada kasus serupa khususnya di Amerika Serikat. Salah satu contoh yang relevan adalah kasus di University of California, Berkeley, ketika mahasiswa di sana mengkritik kebijakan pemerintah dan kampus merespons dengan membatasi akses ke kegiatan organisasi tersebut (Hernandez, 2018). Kendati demikian, keputusan ini dibatalkan setelah munculnya protes dari kelompok hak asasi manusia yang menyatakan bahwa pembatasan tersebut melanggar prinsip kebebasan berpendapat dalam universitas. Kebebasan berekspresi di kampus harus dijamin, dan tindakan yang membatasi hak ini harus dihindari.

Kasus di UC Berkeley menunjukkan bagaimana universitas di negara dengan sejarah panjang, kebebasan berpendapat tetap menghadapi tantangan serupa, tetapi biasanya ada mekanisme hukum yang lebih kuat untuk mengembalikan hak tersebut jika terjadi pelanggaran. Di Indonesia, mekanisme ini tampaknya masih lemah, dan tindakan represif terhadap kritik mahasiswa dapat menjadi hal biasa jika tidak ada perbaikan terhadap instrumen hukum dan penegakan etika yang lebih adil.

Ke depan, kebebasan berpendapat di Indonesia membutuhkan perlindungan yang lebih kokoh, terutama di lingkungan akademik yang seharusnya menjadi wadah ekspresi dan inovasi intelektual. Kampus, sebagai pusat ilmu pengetahuan, harus mampu menjadi ruang yang terbuka untuk kritik dan dialog konstruktif tanpa batasan yang mengancam kebebasan berpendapat. Agar kampus dapat memainkan peran tersebut, perlu ada pemahaman yang jelas antara batasan etika dan kebebasan berbicara yang dilindungi oleh hukum. Dalam konteks ini, peraturan kampus yang terlalu ketat justru dapat menimbulkan ketakutan dan menurunkan kualitas diskusi akademis.

Studi dari Freedom House (2020) menunjukkan bahwa "pembatasan kebebasan berpendapat di lingkungan akademik menghambat kemampuan mahasiswa untuk berpikir kritis." Maka, demi masa depan demokrasi di Indonesia, penting bagi pemerintah dan institusi akademik untuk melindungi kebebasan berpendapat mahasiswa sebagai bagian dari hak asasi manusia. Revisi regulasi dan peraturan kampus yang lebih menjunjung tinggi kebebasan berbicara sangat penting untuk membangun iklim akademis yang sehat dan demokratis.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline